Musik Indie

Kesasar di Jalur Indie, Silampukau Ingin Kembalikan Folk Surabaya

Di jalur indie, bukan band yang menghidupi musisi. Tapi musisi yang menghidupi band

Penulis: eko darmoko | Editor: eko darmoko

SURYAMALANG.COM – Adalah Silampukau yang berani melawan arus. Silampukau tak hanya sekadar berjihad di jalur musik saja, namun band beraliran folk asal Surabaya ini lumayan percaya diri dengan musik yang mereka kidungkan. Di saat Surabaya digempur musik-musik beraliran cadas, Silampukau justru tampil minimalis dengan bersenjatakan gitar akustik.

“Dulu, sebelum ada Log Zhelebour, Surabaya adalah markas musik folk. Gombloh, Leo Kristi, dan Franky Sahilatua misalnya. Mereka adalah pendekar folk Surabaya,” kata Kharis Junandharu, personil Silampukau, Senin (23/2/2015).

“Namun, kemunculan Log Zhelebour mengubahnya. Surabaya bergeser menjadi kota yang identik dengan musik cadas (rock),” sambung Kharis yang pernah menimbah ilmu di Jurusan Sastra Indonesia Unair ini.

Bermula dari sinilah, Silampukau berambisi untuk mengembalikan citra Surabaya sebagai markasnya musik folk, musik rakyat yang penuh dengan kesederhanaan, kepolosan, dan jujur apa adanya. Silampukau juga ingin memberikan ‘alternatif’ lain kepada pendengar musik, khususnya muda-mudi Surabaya, yang sudah kadung dicekoki musik-musik alay yang gentayangan di stasiun televisi belakangan ini.

Alkisah, Silampukau menetas pada 2008 silam. Kharis yang sebelumnya pernah menggawangi beberapa band, termasuk band keroncong Miniboyo Concours, memutuskan untuk membentuk band folk. Bertemulah dia dengan Eki Tresnowening, personil band Stunning Bird. Kharis dan Eki pun mendirikan Silampukau dan merekam single berjudul ‘Berbenah’.

Tentu saja, rekaman single ini dilakukan secara swadaya. Ya, sebagai band indie, duo Kharis-Eki harus rela merogoh koceknya untuk membiayai proses rekaman. Nah, inilah cobaan dahsyat musisi yang berjihad di jalur indie. Tanpa major label atau produser, mereka harus berkarya dengan dana pas-pasan. Namun, bukan berarti dengan musik yang pas-pasan juga.

“Di jalur indie, bukan band yang menghidupi musisi. Tapi musisi yang menghidupi band. Kebutuhan musik (recording, mastering, dan mixing) ditopang dari penghasilan musisi di luar dunia musik,” timpal Eki Tresnowening.

Asal tahu saja, Kharis dan Eki adalah pekerja serabutan yang mencoba menaklukkan kerasnya kota bernama Surabaya. Kharis adalah makelar mobil, komputer, dan merintis berjualan batu akik. Sedangkan Eki adalah ilustrator di sebuah perusahaan kontraktor interior.

Di balik pekerjaan yang mereka geluti, toh mereka tetap jihad di jalur musik indie, dan berusaha singgah dari panggung ke panggung—bersenandung memanjakan kuping pendengar Silampukau.

“Kami tidak bosan bikin lagu, meskipun di jalur indie. Bikin lagu memang mudah, yang susah adalah menjualnya,” kata Eki terkekeh.

Di awal penetasannya pada 2008, Silampukau tak hanya merilis single ‘Berbenah’ saja. Namun mereka juga merekam album mini secara live bertajuk ‘Sementara Ini’ yang berisikan empat lagu; Cinta Itu, Hey, Sampai Jumpa, dan Pagi. Single ‘Berbenah’ dan album ‘Sementara Ini’ digratis-unduhkan melalui internet di halaman soundcloud.

Di 2015 ini, melalui perjuangan yang keras, Silampukau merekam full album berjudul ‘Dosa, Kota, dan Kenangan’ yang berisi 10 lagu. Meskipun belum dilaunching, namun beberapa lagu sudah bocor dan bisa dinikmati di halaman youtube, misalnya lagu ‘Puan Kelana’. Video ‘Puan Kelana’ ini adalah rekaman aksi panggung Silampukau saat tampil di acara Folk Music Festival 2014 dalam Sunday Market di Surabaya Town Square (Sutos).

Sebagaimana nasib band indie yang akrab dengan keterbatasan dana, Silampukau pun merekam album ‘Dosa, Kota, dan Kenangan’ secara gotong-royong. Proses recording memakan waktu sekitar satu bulan, kemudian mastering dan mixing memakan waktu sekitar tiga bulan.

“Kami gotong royong dan mengandalkan pertemanan dalam proses album ini. Ada teman yang berkenan membantu proses mastering dan mixing. Album ini nantinya kami jual dalam bentuk CD dan digital,” kata Kharis tanpa menyebutkan harga untuk album ini. “Yang jelas (harganya) murah dan terjangkau. Launching ‘Dosa, Kota, dan Kenangan’ rencananya April mendatang. Semoga tidak molor,” lanjut Kharis dengan intonasi penuh harap.

Berbeda dengan mini album terdahulu yang direkam secara live, di album ‘Dosa, Kota, dan Kenangan’ ini direkam secara track. Rekamannya kebanyakan dilakukan di rumah. Kharis dan Eki yang mengisi vokal dan gitar akustik, juga dibantu tiga additional player. Mereka adalah Doni Setiohandono (akordion), Erwin B Saputra (drum), dan Rhesa Filbert (bass).

Ketiga additional player ini juga sering membantu penampilan Silampukau di setiap konser bertema full band. Dalam dunia panggung, Silampukau nyaris tak pernah putus. Setidaknya, dalam satu bulan, minimal mereka tampil satu kali. Tak hanya di Surabaya saja, mereka juga sempat berdendang di luar kota. Akhir tahun lalu, Silampukau tampil di Indonesian Netaudio Festival #2 di Bandung.

“Kalau pentas di luar kota, transport dan akomodasi ditanggung pengundang. Kami juga dapat fee, tapi nggak banyak sih,” kata Kharis. “Lebih sering kami dapat ucapan ‘suwun’ setelah konser,” kelakar Eki sambil tersenyum.

Musik memang segala-galanya bagi Silampukau—meskipun musik belum bisa menghidupi personilnya. Kharis dan Eki yang terinspirasi oleh band folk asal Irlandia, The Dubliners, serta penyanyi asal Perancis, George Brassens ini punya ambisi. Uniknya, ambisi ini bukan dalam hal materi.

“Tidak muluk-muluk sih. Ambisi ini misalnya, musik folk kami bisa diterima banyak orang. Kami ingin mengembalikan Surabaya menjadi kota folk lagi. Kami bermimpi, ada pengamen yang menyanyikan lagu-lagu kami,” cetus Kharis.

Disinggung soal adanya keinginan digandeng produser atau major label dan meninggalkan jalur indie, Kharis dan Eki hanya bisa tersenyum. “Mana ada produser yang mau membiayai kami. Kalau dipegang produser atau major label, pasti mereka banyak nuntut. Sedangkan kami bermusik untuk kebebasan, ” papar Eki yang pernah kuliah di jurusan Psikologi Ubaya ini.

Ditambahkan Kharis dan Eki, mereka akan terus bermusik dengan segala keterbatasan di jalur indie—sebagaimana kicauan burung Silampukau atau yang kini akrab disebut Kepodang. Kharis dan Eki sengaja menamai bandnya dengan nama Silampukau, dengan tujuan ingin membikin merdu dunia ini lewat kicauan-kicauannya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved