Sidoarjo

Pabrik Kena Lumpur Lapindo, Mantan Direktur Kini Jadi Sopir

Sejak usahanya terkubur, Andi memilih menjadi sopir pribadi bagi temannya.

Editor: Aji Bramastra
tribunnews
Aksi teatrikal seniman menggambarkan penderitaan rakyat Porong dan Tangulangin akibat insiden Lapindo Brantas. 

Tragedi lumpur Lapindo telah membalik hidupnya. Andi Susila (49), yang dulu bos perusahaan furniture, kini harus merasakan hidup menjadi sopir pribadi dan juga pedagang beras.

Setelah memarkir sepeda motor matic-nya, Andi Susila bergegas masuk rumah Marcus Johny Rany di Jl Monginsidi, Sidoarjo, Senin (18/5/2015).

Di rumah Marcus sudah berkumpul belasan orang. Mereka duduk dan ngobrol di kursi ruang tamu sembari menikmati hidangan ringan.

Sore itu, mereka menggelar pertemuan lanjutan. Agendanya masih seputar perburuan harta ratusan miliar rupiah, yang terkubur di dasar lumpur.

Inilah para pengusaha korban lumpur yang belum juga mendapat ganti rugi dari Lapindo sejak 2006.

Ya, Andi dan orang-orang yang berkumpul itu adalah Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Sidoarjo (GPKLS).

Marcus Johny Rany yang hari itu menjadi tuan rumah adalah pemilik pabrik furniture PT Oriental Samudera Karya di Tanggulangin yang sudah lenyap tertelan lumpur.

Andi Susila yang baru datang itu lalu mengambil posisi duduk di sebelah Tri Budiono.

Bagi Andi, di antara teman-teman sesama pengusaha korban Lapindo, Tri Budiono-lah yang paling akrab dengannya.

Andi menyebut Tri Budiono sebagai teman sekaligus juragan. Sejak usahanya terkubur, Andi memilih menjadi sopir pribadi bagi temannya.

Khususnya untuk menyopiri dan menemani kegiatan bisnis Tri Budiono di luar luar kota.

“Saya beruntung masih dibantu sama pak Tri,” kata Andi sambil menepuk bahu Tri Budiono.

Sebelum lumpur Lapindo muncrat, Andi adalah pemilik PT Yamaindo Perkasa, perusahaan yang memproduksi aneka furniture berbahan rotan.

Lokasi pabriknya berada di Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Saat ini, lokasi itu sudah menjadi gunung lumpur setinggi lebih dari 12 meter.

PT Yamaindo Perkasa berkibar sejak 1994. Perusahaan itu dibangun Andi bersama rekannya. “Asetnya waktu itu sekitar 12,3 miliar,” imbuhnya.

Saat masih berjaya, perusahaan Andi ini bisa meraup omset hingga 12.000 dolar AS per hari.

Bila dikurskan dengan nilai tukar rupiah di tahun itu yang sekitar Rp 2.200 per-dolar AS, maka angkanya setara dengan Rp 26,4 juta per hari.

Tapi, lumpur Lapindo datang dan mengubur semuanya. Tak sampai setahun sejak lumpur muncrat dari pengeboran Lapindo Brantas Inc, perusahaan Andi tenggelam.

Pabrik yang dirintis selama 12 tahun itu pun hilang. ”Saya sempat merintis lagi dengan pindah tempat,” imbuhnya.

Pada 2008, dengan menggunakan modal yang tersisa dan dengan memanfaatkan aset-aset pribadi, Yamaindo kembali beroperasi di kawasan Kecamatan Buduran.

Tetapi, modal yang dimiliki untuk kembali bangkit, tidak banyak. Ganti rugi yang diharapkan, nilainya sangat jauh harapan. Itupun belum semua diterima.

Untuk membangkitkan perusahaannya, Andi sampai merelakan dua rumah, tiga mobil, serta dua unit usaha berupa toko dijual.

“Selain buat modal, semua itu juga terpaksa saya jual untuk menghidupi keluarga,” ucapnya.

Selama tiga tahun berjalan, rintisan usaha itu tidak berkembang. Pada 2011 Yamaindo kembali kolaps.

Berawal dari ketidakmampuan berproduksi sesuai kapasitas, perusahaan itu akhirnya bangkrut.

Begitu pabrik barunya bangkrut, Andi mulai bingung. Kepada Dwi Cahyani alias Yeyen, bos PT Victory Rottanindo yang juga salah satu korban luapan lumpur Lapindo, Andi memohon diberikan pekerjaan.

“Pekerjaan apa saja saya mau, yang penting halal,” sebut bapak tiga anak ini.

Keluhan dan permohonan Andi ini membuat Yeyen nelangsa. Kepada sesama pengusaha lain yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Korban Lumpur Sidoarjo (GPKLS), Yeyen memintakan pekerjaan untuk Andi.

“Kebetulan pak Tri Budiono sedang butuh driver. Langsung saja dia bersedia membantu saya,” tutur Andi.

Tetapi, mental pengusaha masih kental mengalir di darah pria asal Banten ini.

Dia sadar, tak bisa lama-lama bekerja sebagai sopir. Untuk bangkit, dia harus membangun usaha sendiri.

Karenanya, sejak dua bulan belakangan, Andi memutuskan berhenti jadi sopir.

Dengan jaminan rumah satu-satunya, Andi mendapat pinjaman dari bank. Uang itu dipakainya untuk membangun usaha baru, berbisnis beras.

“Kalau dasarnya pengusaha, tentu tidak betah lama-lama ikut orang. Karena itu, setelah ada modal sekarang saya mulai coba usaha yang baru. Berdagang beras. Yang jelas, sambil membangun usaha yang baru, tetap berusaha memperjuangkan hak yang seharusnya saya terima dari Lapindo ataupun pemerintah,” pungkas Andi. ( Eben Haezer Panca )

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved