Nasional

Pakar Hukum Malang Raya Anggap Anggota DPR yang Membuat Hak Angket untuk KPK Sedang Panik

Menurutnya, kepanikan itu akibat ketakutan anggota DPR kalau namanya bisa diketahui publik terkait kasus korupsi E-KTP.

Penulis: Benni Indo | Editor: Zainuddin
SURYAMALANG.COM/Benni Indo
Dr Anwar Cengkeng (tengah) memberi keterangan terkait hak angket DPR untuk KPK di aula Pascasarjana Universitas Widyagama, Sabtu (29/4/2017). 

SURYAMALANG.COM, LOWOKWARU – Para akademisi hukum tata negara di Kota Malang mengeluarkan pernyataan sikap terkait keputusan DPR RI yang membuat hak angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Para akademisi prihatin terhadap sikap anggota DPR RI yang mengambil keputusan hak angket. Ahli hukum tata negara Universitas Widyagama yang juga anggota Ahli HTN HAN, Dr Anwar Cengkeng menyebut Fahri Hamzah sedang panik sehingga tergesa-gesa mengetuk palu.

Menurutnya, kepanikan itu akibat ketakutan anggota DPR kalau namanya bisa diketahui publik terkait kasus korupsi E-KTP.

“Ibarat orang tenggelam, mereka berupaya menarik apapun agar selamat, termasuk instrumen hak angket ini,” terang Anwar kepada SURYAMALANg.COM, Sabtu (29/4/2017).

Dia menilai hak angket yang diputuskan DPR menyalahi aturan. Berdasar pasal 79 ayat (1) UU 17/2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, DPR DPR memang mempunyai hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

Namun, hak angket itu bukan untuk KPK. Sebab, KPK berada di luar eksekutif. Menurut Anwar, sikap DPR sudah menyalahi wewenang.

Dalam pasal 79 ayat (3) UU itu dijelaskan pelaksanaan UU dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian. KPK tidak termasuk lembaga nonkementrian.

Lembaga non-kementrian yang dimaksud adalah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Badan Ekonomi Kreatif (BEK), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Lembaga Administrasi Negara (LAN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).

“Langkah DPR melanggar hukum. Seharusnya mereka tahu soal UU. Yang buat UU kan mereka,” ujarnya.

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved