Malang Raya
Pakar Otoda Universitas Brawijaya Sebut Status WTP Bukan Jaminan, Ini Pesan Bagi Warga Malang
"Namun mengamati kasus yang saat ini tengah diusut KPK di Kota Malang, pertanggungjawaban politik ini juga terjadi kongkalikong."
Penulis: Benni Indo | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM, LOWOKWARU - Opini BPK terkait Informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan lembaga pemerintahan atau lembaga milik negara kini bisa dikatakan tidak menjamin ada atau tidaknya unsur korupsi di lembaga bersangkutan.
Direktur Pengembangan Otonomi Daerah (PP Otoda) Universitas Brawijaya, Ngesti D. Prasetyo menyerukan agar masyarakat ataupun pejabat tidak terpaku pada hasil audit berlabel wajar tanpa pengecualian (WTP).
Menurutnya, predikat WTP tidak menjamin kalau pemerintah daerah menjadi bersih.
Hal itu merujuk pada Kota Malang. Setelah mendapat predikat WTP, Kota Malang ‘diserbu’ KPK ada pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka.
“WTP tidak jaminan.” Ujarnya singkat.
Diterangkannya, keuangan negara pertanggunjawabannya ada tiga. Pertama pertanggungjawaban administrasi, kedua polirik dan yang terakhir adalah soal hukum.
Status WTP hanya sebatas pertanggungjawaban administrasi. Menurutnya, pertanggungjawaban administrasi bisa dikondisikan karena hanya bertumpu pada kelengkapan berkas.
Kemudian yang perlu diperhatikan juga pertanggungjawaban politik.
Pertanggungjawaban politik terjadi ketika eksekutif melaporkan ke legeslatif terkati sejumlah penganggaran.
Namun mengamati kasus yang saat ini tengah diusut KPK di Kota Malang, pertanggungjawaban politik ini juga terjadi kongkalikong.
Kemudian soal pertanggungjawaban hukum. Ngesti melanjutkan, pertanggungjawaban hukum saat ini sangat penting untuk disampaikan kepada masyarakat.
Hal itu perlu dilakukan sebagai bentuk transparansi.
“Ketika KPK sudah menangkap dua orang dan menetapkannya sebagai tersangka, bagaimana kemudian tersangka mempertanggungjawabakannya di hadapan hukum,” ujarnya.
Ada tiga solusi yang ia tawarkan untuk perubahan ke depannya.
Pertama, agar masyarakat tidak melulu melakukan transaksional politik. Dengan begitu, pejabat baik di legislative maupun eksekutif bisa konsentrasi kerja.
Kedua, kuncinya legislatif. Kendornya pengawasan yang saat ini terjadi akibat transaksional itu tadi.
Ngesti mendorong agar legislatif lebih akuntable.
“Jalankan di situ. Apalagi sekarang tunjangan sudah berubah,” ujarnya,.
Terkahir, adalah leadership. Dibutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan.
Dengan begitu, dukungan warga juga akan berimplikasi pada roda pemerintahan.
“Jangan seperti saat ini, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak maksimal karena anggaran tidak terarah,” ulasnya.
Berkaca pada kasus yang saat ini membelit Pemkot Malang dan Batu, menurut Ngesti perlu adanya system e budgeting dan e government agar keuangan dan kinerja pejabat bisa terpantau sehingga menjauhkan dari praktik korupsi.
Mantan Penyidik KPK yang saat ini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Kota Batu Nur Chusniah mengatakan kalau secara umum pemerintah daerah sering memainkan peran melakukan tindak pidana korupsi di sektor pengadaan barang jasa.
Potensi itu muncul ketika di seluruh Indonesia diterapkan system otonomi daerah. Berdasarkan pengalamannya selama di KPK, Chusniah juga kerap mengusut kasus-kasus korupsi pada pengadaan barang dan jasa.
“Secara umum, sesudah ada Otoda. Di seluruh Indonesia ini ada potensi. Hampir semua daerah,” ungkapnya.
Hal itu bisa terjadi akibat lemahnya pengawasan.
Di sisi lain, juga lemahnya kontrol diri dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Untuk itu, Chusniah mengajak agar masyarakat ikut menjadi pengawas. Untuk mengarah ke sana, memang perlu adanya transparansi.
"Peran serta masyarakat tidak hanya di penegak hukum saja, tetapi juga masyarakat sipil,” tutupnya.