Sumenep

Luar Biasa, Keterbatasan Tak Menghalangi, Guru Difabel Ini Abdikan Dirinya Selama 22 Tahun

Berkat ketekunan dan kesabarannya tersebut, Pak Hasa pernah mendapatkan anugerah Dompet Dhuafa Award tahun 2015 bidang pendidikan.

Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM/Khairul Amin
Hasanuddin (42) warga Dusun Duko, Desa Batang-batang Laok, Sumenep tak putus asa mengabdi sebagai guru 

SURYAMALANG.COM, SUMENEP- Mengabdikan diri selama 22 tahun dengan keterbatasan fisik (difabel) bukan perkara mudah.

Namun Hasanuddin (42) warga Dusun Duko, Desa Batang-batang Laok, Sumenep, bisa melakukan hal tersebut.

Hasa, sapaan akrab laki-laki dua anak ini penuh keramahan saat SURYAMALANG.COM mengunjungi kediamannya, Minggu (4/2/2018).

“Silahkan masuk mas, maaf tempatnya kotor,” terang Hasa sambil mengambil satu buah gelas kosong yang ada di meja.

Pak hasa tinggal dirumah sangat sederhana.

Meskipun rumahnya sudah berbentuk bangunan, namun tidak ada satupun hiasan yang nempel bagian depan rumah.

Hanya tampak satu foto Pak Hasa bersama istri dan kedua anaknya.

Sementara bagian lantai rumah hanya berupa plesteran semen.

Dari keterangan Pak Hasa, dia sudah mengajar sejak tahun 1995 di MI Hidayatus Sibyan, Jalan Banuaju, Batang-batang Laok, Sumenep, Jawa Timur.

Pak Hasa mengajar mata pelajaran metematika, bahasa daerah, juga agama untuk kelas 1-4.

Honor yang diterimanya juga kecil, sering tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Bilang cukup sih enggak mas, seringnya saya ngutang ke tetangga,” ungkap Pak Hasa.

Selain mengajar, Pak Hasa juga membuka les private secara gratis di rumahnya.

Les dilakukan setiap Jumat sore, dihadiri antara 3-5 siswa.

Berkat ketekunan dan kesabarannya tersebut, Pak Hasa pernah mendapatkan anugerah Dompet Dhuafa Award tahun 2015 bidang pendidikan.

“Alhamdulillah, saya menjadi lebih semangat mengabdi dengan penghargaan tersebut,” ungkap pria menggunakan peci hitam tersebut.

Ia mengisahkan, karena anugerah tersebut digelar di Jakarta, ia harus kesana dengan naik pesawat terbang.

“Pengalaman pertama naik pesawat, saya takut saat pesawat belok, seperti mau jatuh,” unkapnya sambil tersenyum.

Sepulang mengajar, Pak Hasa mengisi waktunya dengan mengerjakan kerajinan tangan gelang juga kalung yang terbuat dari manik-manik.

Setiap satu gelang pak hasa mendapatkan upah Rp 250 rupiah.

Satu gelang bisa Pak Hasa selesaikan paling cepat 30 menit.

“Murah sih mas, tapi dari pada diem ya dikerjakan saja, hasilnya untuk uang jajan anak-anak,” terang laki-laki menggunakan baju putih tersebut.

Menurut Moh Hosnan (34), Kepala Sekolah tempat Pak Hasa mengajar, Pak Hasa adalah sosok guru panutan dan pantang menyerah.

“Ia termasuk guru yang sabar mas, walaupun terbatas secara fisik, semangat mengajarnya tinggi, patut di contoh,” terangnya.

(Khairul Amin)

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved