Malang Raya

Diskusi Membedah Survei dan QC, Otak Atik Data Artinya Menggali Lubang Kubur Sendiri

Quick Count (QC) pemilihan presiden (pilpres) tahun ini cukup heboh dengan perdebatan panjang.

Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: Zainuddin

SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Quick Count (QC) pemilihan presiden (pilpres) tahun ini cukup heboh dengan perdebatan panjang.

Ads lembaga survei yang di QC memenangkan Prabowo-Sandi.

Sedang lembaga lain memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Sehingga bagian hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang menggelar diskusi ilmiah ‘Membedah Metodologi Survei dan Quick Count Lembaga Survei Politik’, Jumat (3/5/2019).

Penelisnya Wawan Sobari PhD, pengamat politik UB, Ratno Sulistiyanto, Direktur Eksekutif Indopol Survei Jakarta, Dr Moh Ali Sya'faat SH MH, pengamat hukum tata negara dan Nurjanah PhD, dosen statistik UB.

Penelis pertama adalah Ratno, praktisi.

“Saya senang ini ditindaklanjuti di daerah. Jika dikatakan abal-abal, saya akan tuntut dosen statistik saya.”

“Karena itu, saya akan menunjukkan dapur dan bagaimana survei dan QC,” jelas Ratno di forum itu.

Dikatakan survei dan QC adalah dua hal berbeda. Survei yaitu menduga atau memprediksi. Sedang QC menghitung.

Sejauh ini, hasil QC kebanyakan sama dengan hasil real count jika metodologinya benar sebagaimana di hajatan pilres periode-periode sebelumnya.

Dikatakan, survei bisa dilakukan sebulan atau mendekati pelaksanaan untuk menanyakan kecenderungan kemana.

Dalam survei, silent voter kadang tak muncul. Tapi muncul saat pemilihan.

Dikatakan, adanya QC juga sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam memantau pemilu.

Untuk melakukan survei, pihaknya tak mungkin melakukan rekayasa atau mengotak atik angka saat QC. Sebab itu berarti menggali kubur sendiri.

“Padahal sumber menghidupi anak istri dari survei,” jawab Ratno.

Dikatakan untuk mempertanggungjawabkan validasi data, pihaknya cukup ketat dan berlapis.

Untuk mempermudah pelaksanaan di lapangan, 10 responden ditangani satu surveyor.

Di atas surveyor juga ada atasannya serta korlap.

Dikatakan, surveyor yang pas adalah mahasiswa. Ia biasanya memilih yang militan karena tidak mau ada rekayasa data.

Biasanya satu hari, surveyor mencari data di RT RW dan empat harinya ke lapangan kemudian ke klinik untuk validasi data.

Karena itu kadang ada responden yang ditelpon ulang untuk validasi data.

Sedang untuk mendeteksi kredibelitas lembaga survei, yang perlu dilihat adalah kantor dan kapasitas personalnya, metodologinya, organisasi dan track recordnya.

Sedang Wawan Sobari melihat adanya QC menjawab keingintahuan publik akan hasil pemilu.

Hasil data cepat bisa dibandingkan saat akhir penghitungan KPU.

Disebutnya, pada pilres 2014, hasil real count KPU dengan hasil QC LP3S, sebuah lembaga survei hampir sama.

Sementara saat ini penghitungan suara di KPU sudah mencapai 60 persen.

Dikatakan sudah ajeg atau mantap jika sudah mencapai 95 persen.

Sedang Nurjanah, dosen statistik UB mengaku tergugah jadi panelis karena kegaduhan di saat QC pilres.

“Sebab orang percaya angka, data, metodologi. Padahal di metodologi juga banyak lipatan. Jangan mudah percaya angka. Maka keluarkan dulu pikiran subyektifnya,” kata dia.

Maka dari data bisa dikritisi ‘perutnya’. Awalnya dengan melihat populasi.

Jika tak ada populasi, maka akan gampang disalahgunakan datanya.

Saat survei atau melakukan QC, hindari melakukan sampling pada orang-orang yang dikenal.

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved