Malang Raya
Potensi Gempa dan Tsunami Mahadahsyat di Selatan Jawa Tinggal Tunggu Waktu, Bisa Terjadi Kapan Saja
Potensi Gempa dan Tsunami Mahadahsyat di Selatan Jawa Tinggal Tunggu Waktu, Bisa Terjadi Kapan Saja. Berikut Penjelasan Geoscientist UB Malang
Penulis: Mochammad Rifky Edgar Hidayatullah | Editor: eko darmoko
SURYAMALANG.COM, LOWOKWARU - Kabar gempa dan tsunami mahadahsyat yang akan melanda selatan Pulau Jawa kini sedang marak diperbincangkan di media sosial maupun di dalam pemberitaan di berbagai macam media.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) akhinya memberikan rilis pada tanggal 21 Juli 2019 mengenangi isu tersebut.
Dalam rilisnya, BKMG menyebut bahwa hal itu merupakan potensi dan bukan lagi menjadi prediksi.
Untuk itu, BMKG mengimbau kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpancing isu yang beredar.
Menanggapi hal tersebut, Geoscientist dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Prof Adi Susilo PhD memberikan tanggapan mengenai isu gempa dan tsunami tersebut.
Menurutnya, bencana itu bisa saja terjadi, karena di selatan Pulau Jawa merupakan jalur pertemuan antara lempeng benua dengan lempeng samudera.

Prof Adi menjelaskan, jika selama ini lempeng benua yang ia sebut lempeng Eurasia tersebut mendorong terus menerus lempeng samudera atau lempeng Indo-Australia.
Pergerakan dari lempengan tersebut diperkirakan mencapai 6-7 Cm per tahun.
"Kami tidak membantah bahwa potensi gempa dan tsunami itu akan terjadi. Sebenarnya, tujuan itu ialah bentuk kewaspadaan saja kepada masyarakat," ucapnya ketika ditemui SURYAMALANG.COM, Kamis (25/7/2019).
Prof Adi menjelaskan, jika material yang ada di kerak bumi itu bentuknya elastis.
• INFO PENTING Tentang Viral Ancaman Gempa dan Tsunami Mahadahsyat di Selatan Pulau Jawa
• Viral Kabar Selatan Jawa Akan Diguncang Gempa dan Tsunami Mahadahsyat, Ini Penjelasan BMKG
Apabila lempeng itu bergeser, maka akan terjadi gempa tektonik seperti yang terjadi di Pulau Bali beberapa hari yang lalu.
"Material ini bukan yang gampang patah, itu sifatnya elastis. Nanti pelan-pelan lempeng eurasia itu akan menekan terus lempeng indo-australia karena berat jenisnya lebih besar lempeng eurasia," terangnya.
Pergerakan ini diakibatkan oleh mantel konveksi yang ada di dalam perut bumi.
Kata Prof Adi, mantel konveksi itulah yang menggerakkan area yang berada di atasnya.
Dan pergerakan itu akan terus menerus terjadi, karena material yang berada di atas mantel bumi sifatnya elastis.
"Tahu lava yang ada di Hawai? Itu kan materialnya elastis seperti pasta gigi. Ya itulah bentuknya. Tapi untung saja, berdasakan penelitian di lapangan di daerah selatan Jawa tidak ditemukan gunung berapi aktif yang ada di bawah laut," ujarnya.
Prof Adi berujar, masyarakat di Indonesia khususnya Pulau Jawa harus bersyukur, lantaran saat ini sering terjadi gempa di wilayah selatan Jawa.
Hal itu dampaknya positif, lantaran apabila tidak terjadi gempa sama sekali, maka bisa dipastikan akan terjadi gempa yang cukup besar.
Ia mencontohkan, bahwa gempa yang terjadi di Pulau Bali beberapa hari belakangan ini mendekati gempa dan tsunami yang terjadi di Rajegwesi Banyuwangi 1994 silam.
Dengan adanya gempa kecil-kecil ini, energi yang ada di kerak bumi tersebut menjadi terlepas sedikit demi sedikit.
"Kapan gempa dan di mana tempatnya tidak akan ada yang tahu, hanya orang-orang itu memperkirakan berdasakan sejarahnya saja," ujarnya.
Maka dari itu, ia meminta kepada masyarakat untuk tidak takut.
Masyarakat diingatkan untuk tidak khawatir, dan tetap meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi ini.
Prof Adi juga meminta kepada pemerintah untuk membuat buku panduan terkait kebencanaan yang nantinya bisa diberikan kepada anak-anak sekolah maupun masyarakat.
"Jangan sampai resah dan jangan sampai panik. Masyarakat bisa lakukan evakuasi mandiri. Misalnya saja kejadian tsunami bisa dilihat dari surutnya air laut. Kalau surutnya di luar batas kewajaran. Ya bisa langsung menyelamatkan diri melalui jalur evakuasi atau mencari tempat yang lebih tinggi, meski tidak semua tanda-tanda tsunami dilihat dari surutnya air laut," ujarnya.
Dekan MIPA UB itu juga menjelaskan cara menanggulangi potensi ancaman tsunami, yakni dengan memasang barier alam seperti hutan mangrove.
Dengan itu, akan melemahkan gelombang tsunami karena pohon mangrove bisa dijadikan sebagai penghalang.
"Sebenarnya masih banyak tumbuhan lain yang bisa dijadikan penghalang. Karena apabila membuat barier rekayasa seperti tembok benton di Jepang itu akan banyak membutuhkan biaya," tandasnya.
Sementara itu, dilansir dari Kompas.com, berdasarkan informasi yang beredar, potensi gempa dan tsunami di selatan Pulau Jawa berdasarkan kajian yang disampaikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Pakar tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko mengatakan, kajian soal ini memang disampaikan oleh BPPT dalam agenda Table Top Exercise (TTX) atau gladi ruang untuk rencana gladi lapang penanganan darurat tsunami.
Berdasarkan kajian itu, Widjo Kongko mengungkapkan, wilayah Pantai Selatan (Pansela) Jawa-Bali berpotensi mengalami gempa megathrust dengan magnitudo 8,8.
Menurut dia, mengacu pada besarnya kekuatan gempa yang berpotensi terjadi di pantai selatan Jawa-Bali ini berpotensi memicu gelombang tsunami setinggi 20 meter dengan jarak rendaman sejauh 3-4 kilometer.
"(Wilayah) Pansela Jawa-Bali, berpotensi gempa dari zona megathrust lebih dari 8,8 dan menimbulkan tsunami," ujar Widjo, Kamis (18/7/2019).
• Suami Berburu Kodok, Istri Menyusui Anak di Kamar Bikin Tetangga Pria Nafsu dan Nekat Berbuat Jahat
• Anggunnya Ayu Ting Ting Hadiri Kondangan Berbalut Kebaya Kutu Baru, Mirip Punya Nagita Slavina
• Khayalan Luna Maya Kelak Jadi Ibu Sebelum Faisal Nasimuddin Ngajak Menikah, Maunya Dipanggil Ini
• Fakta Mencengangkan Tentang LGBT di Tulungagung, Gubernur Jatim Khofifah Sampaikan Ucapkan Hal Ini
Tentang Viral Ancaman Gempa dan Tsunami
Pulau Jawa bagian selatan dikabarkan akan diguncang gempa mahadahsyat dan berbuntut tsunami. Kabar ikhwal potensi gempa bumi dan tsunami ini viral di media sosial.
Viralnya kabar ini karena dalam narasi yang beredar ada potensi gempa besar mencapai magnitudo 8,8 dan tsunami di Yogyakarta mencapai 20 meter.
Kabar tersebut meresahkan warga yang tinggal di wilayah Pantai Selatan Jawa.
Berita ini juga menuntut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono untuk menjernihkan permasalahan.
"Jawaban saya adalah bahwa kita harus jujur mengakui dan menerima kenyataan bahwa wilayah kita memang rawan gempa dan tsunami," ungkapnya melalui pesan singkat, Sabtu (20/07/2019).
"Khususnya wilayah selatan Jawa, keberadaan zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia merupakan generator gempa kuat sehingga wajar jika wilayah selatan Jawa merupakan kawasan rawan gempa dan tsunami," tegasnya.
Untuk diketahui, wilayah Samudra Hindia selatan Jawa memang sudah sering kali terjadi gempa besar dengan kekuatan di atas M 7,0.
Daryono juga mencatat sejarah daftar gempa besar seperti gempa Samudra Hindia.
Dalam catatan BMKG, gempa besar di Selatan Jawa pernah terjadi tahun 1863,1867, 1871, 1896, 1903, 1923, 1937, 1945,1958, 1962, 1967, 1979, 1980, 1981, 1994, dan 2006.
"Sementara itu tsunami Selatan Jawa juga pernah terjadi pada tahun 1840, 1859, 1921, 1994, dan 2006," ujar Daryono.
"Ini bukti bahwa informasi potensi bahaya gempa yang disampaikan para ahli adalah benar bukanlah berita bohong," tambahnya.
Meski begitu, Daryono menegaskan bahwa besarnya magnitudo gempa yang disampaikan para pakar adalah potensi bukan prediksi.
"Sehingga kapan terjadinya tidak ada satupun orang yang tahu," tegas Daryono.
"Untuk itu dalam ketidakpastian kapan terjadinya, kita semua harus melakukan upaya mitigasi struktural dan non struktural yang nyata dengan cara membangun bangunan aman gempa, melakukan penataan tata ruang pantai yang aman dari tsunami, serta membangun kapasitas masyarakat terkait cara selamat saat terjadi gempa dan tsunami," imbuhnya.
Daryono menyebut ini adalah risiko tinggal dan menumpang hidup di pertemuan batas lempeng.
"Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka inilah risiko yang harus kita hadapi," tutur Daryono.
Dia juga mengatakan, masyarakat tidak perlu cemas dan takut.
Lebih lanjut, Daryono menyebut bahwa semua informasi potensi gempa dan tsunami harus direspons dengan langkah nyata dengan cara memperkuat mitigasi.
"Dengan mewujudkan semua langkah mitigasi maka kita dapat meminimalkan dampak, sehingga kita tetap dapat hidup dengan selamat, aman, dan nyaman di daerah rawan gempa," kata Daryono.
"Peristiwa gempa bumi dan tsunami adalah keniscayaan di wilayah Indonesia, yang penting dan harus dibangun adalah mitigasinya, kesiapsiagaannya, kapasitas stakeholder dan masyarakatnya, maupun infrastruktur untuk menghadapi gempa dan tsunami yang mungkin terjadi," pungkasnya.
• Kronologi Wanita Difitnah Rela Digilir Banyak Cowok Demi Lunasi Utang Rp 1 Juta, Satgas Turun Tangan
• Khayalan Luna Maya Kelak Jadi Ibu Sebelum Faisal Nasimuddin Ngajak Menikah, Maunya Dipanggil Ini
• Foto Jadul Syahrini Sukes Jadi Sorotan, Istri Reino Barack Dulu Punya Rambut Warna Warni yang Cetar
Megathrust Konon Bisa Memicu Tsunami Raksasa
Dua kali dalam sebulan terakhir, istilah megathrust populer, dikaitkan dengan guncangan gempa di Jakarta dan potensi Pandeglang yang dalam skenario terburuk mencapai ketinggian 57 meter.
Namun, apa sebenarnya megathrust itu sendiri serta wilayah Indonesia mana yang berpotensi terdampak?
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono, mengungkapkan, megathrust bisa diartikan sesuai dengan kata penyusunnya.
"Thrust" merujuk pada salah satu mekanisme gerak lempeng yang menimbulkan gempa dan memicu tsunami, yaitu gerak sesar naik.
Dengan demikian, megathrust bisa diartikan gerak sesar naik yang besar.
Mekanisme gempa itu bisa terjadi di pertemuan lempeng benua.
Dalam geologi tektonik, wilayah pertemuan dua lempeng ini disebut zona subduksi.
Menurut Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, zona megathrust terbentuk ketika lempeng samudera bergerak ke bawah menunjam lempeng benua dan menimbulkan gempa bumi.
"Zona subduksi ini diasumsikan sebagai sebuah zona “patahan naik yang besar” atau populer disebut zona megathrust," kata Daryono kepada Kompas.com, Sabtu (7/4/2018).
Jalur subduksi cukup panjang dengan kedalaman sekitar 50 kilometer, mencakup seluruh bidang kontak antarlempeng.
Zona megathrust di Indonesia bukan hal baru karena sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan.
Sebagai sebuah area sumber gempa, maka zona ini dapat memunculkan gempa bumi dengan berbagai magnitudo dan kedalaman.
Gempa megathrust dianggap menakutkan karena dianggap selalu bermagnitudo besar dan memicu tsunami.
"Namun demikian, data menunjukkan sebagian besar gempa yang terjadi di zona megathrust adalah gempa kecil dengan kekuatan kurang dari 5,0," kata Daryono.
Menurut Daryono, yang terlibat dalam Pusat Studi Gempa Nasional (PUSGEN) 2017, di Indonesia terdapat 16 titik gempa megathrust yang tersebar di sejumlah titik, yaitu:
1. Aceh-Andaman
2. Nias-Simeulue
3. Kepulauan Batu,
4. Mentawai-Siberut
5. Mentawai–Pagai
6. Enggano
7. Selat Sunda Banten
8. Selatan Jawa Barat
9. Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur
10. Selatan Bali
11. Selatan NTB
12. Selatan NTT
13. Laut Banda Selatan
14. Laut Banda Utara
15. Utara Sulawesi
16. Subduksi Lempeng Laut Filipina
Daryono mengungkapkan, berdasarkan kajian kegempaan, setiap zona suibduksi punya potensi gempa yang berbeda-beda.
Besarnya gempa yang kemudian terjadi tak bisa diprediksi dan sangat bergantung pada gerak serta kedalamannya.
"Khusus segmen megathrust di selatan Jawa Barat dan Banten, wilayah ini memiliki potensi magnitudo maksimum M 8,8," katanya.
Tidak setiap gempa megathrust menimbulkan tsunami.
Tsunami punya syarat, yaitu gempa besar, hiposenter dangkal dan gerak sesar naik.
Para ahli dan instansi terjadi tanggap darurat bencana terus melakukan penelitian dan pembaharuan data peta kerawanan gempa.
Jika terjadi gempa yang magnitudonya lebih besar dari gempa-gempa yang pernah terjadi sebelumnya, maka akan mengubah titik-titik kerawanan.
Untuk itulah perlumya dilakukan pemutakhiran Peta Sumber dan Bahaya Gempa di Indonesia pada periode waktu tertentu.
Pakar Tsunami
Informasi mengenai potensi gempa dan tsunami di wilayah Pantai Selatan Jawa dengan ketinggian 20 meter menyebar di media sosial.
Berdasarkan informasi yang beredar, potensi gempa dan tsunami itu berdasarkan kajian yang disampaikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Informasi ini salah satunya diunggah oleh akun Instagram, @makassar_iinfo, Rabu (17/7/2019).
Unggahan ini pun mendapatkan respons dari publik yang mempertanyakan lebih jauh mengenai informasi tersebut.
Kompas.com mengonfirmasi hal ini kepada pakar tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko.
Ia mengatakan, kajian soal ini memang disampaikan oleh BPPT dalam agenda Table Top Exercise (TTX) atau gladi ruang untuk rencana gladi lapang penanganan darurat tsunami.
Berdasarkan kajian itu, Widjo Kongko mengungkapkan, wilayah Pantai Selatan (Pansela) Jawa-Bali berpotensi mengalami gempa megathrust dengan magnitudo 8,8.
"(Wilayah) Pansela Jawa-Bali, berpotensi gempa dari zona megathrust lebih dari 8,8 dan menimbulkan tsunami," ujar Widjo saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/7/2019).
Menurut dia, mengacu pada besarnya kekuatan gempa yang berpotensi terjadi di pantai selatan Jawa-Bali ini berpotensi memicu gelombang tsunami setinggi 20 meter dengan jarak rendaman sejauh 3-4 kilometer.
"Gelombang tsunami 30 menit sampai di Pansela DIY," ujar Widjo.
Dilansir dari Antara, karena datangnya gelombang tsunami memerlukan waktu sekitar 30 menit, Widjo mengatakan masyarakat hanya memerlukan waktu 25 menit untuk evakuasi.
"Jika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) membutuhkan waktu lima menit sejak gempa untuk menyampaikan peringatan dini, maka masyarakat hanya memiliki waktu sekitar 25 menit untuk melakukan evakuasi atau tindakan antisipasi lain," ujar Widjo kepada Antara.
Berdasarkan informasi awal yang disampaikan BMKG, ada data tentang parameter gempa dan dilanjutkan dengan peringatan dini waktu tiba tsunami.
Pada pemaparan kajian ini, Widjo mengaku memperoleh informasi dari referensi Buku Peta Sumber Gempa 2017 Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Ia mengungkapkan, kajian ini dilakukan dalam rangka pembekalan peserta TTX BPBD DIY.
Sekilas Riwayat & Potensi Gempa Besar Pemicu Tsunami di Selatan Jawa
Gempa yang terjadi di samudra Hindia selatan Jawa kerap terjadi karena berada di zona subduksi.
Saat permukaan laut berubah karena gempa bumi, tak jarang hal ini menyebabkan tsunami yang dapat merambat ke segala arah.
Namun, bagaimana sejarah mencatat gempa atau pun tsunami di kawasan tersebut?
Eko Yulianto, pelacak jejak tsunami purba dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan tidak ada catatan sejarah tentang tsunami besar di selatan Jawa.
"Yang tercatat tahun 1800-an dan 1921, tapi itu tsunami kecil, ada dua kali," kata Eko yang dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (15/2/2019).
Pria yang menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI itu mengatakan, selama penelitian yang dilakukannya belum ditemukan tsunami yang lebih tua dan besar dari dua fenomena tersebut.
"Selain dua yang itu tadi, enggak ada catatan sejarah (tentang tsunami di selatan Jawa)," ungkapnya.
Eko mengatakan, di setiap zona subduksi yang ada di Indonesia kebanyakan memiliki riwayat tsunami besar. Misalnya di Maluku, utara Indonesia, dan lainnya.
"Biasanya kisah tentang tsunami besar di Indonesia itu menjadi mitos yang terus berkembang," ujarnya.
Berbicara tentang tsunami besar, Eko menjelaskan ini bukan persoalan ketinggian suatu tsunami. Akan tetapi berdasarkan kekuatan gempa.
"Kalau gempa raksasa atau great earthquake yang (kekuatannya) di atas 9,0," ungkap Eko.
Gempa dengan kekuatan lebih dari 9,0 menurutnya dapat memicu tsunami besar.
Geolog lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, karena daerah selatan Jawa merupakan kawasan zona subduksi, besar kemungkinan akan terjadi gempa-gempa berkekuatan besar yang bisa menimbulkan tsunami.
"Gempa dan tsunami pasti akan terjadi di selatan Jawa, tapi tidak dapat diprediksi kapan itu terjadi," ucapnya.
Hal yang perlu diingat, Indonesia dikelilingi oleh cincin api dan juga zona subduksi yang dapat memicu gempa bumi sewaktu-waktu, bahkan setiap hari selalu ada gempa di Indonesia.
Zona subduksi di Indonesia mulai dari pantai barat Sumatera ke selatan Jawa, kemudian ke Nusa Tenggara, belok ke wilayah Maluku, barat Sulawesi, sampai utara Papua.
"Karena Indonesia ada di zona subduksi, meskipun dalam catatan sejarah selama ini tidak tercatat tsunami, apalagi tsunami besar yang dipicu gempa raksasa, tapi kemungkinan dulunya pernah terjadi dan akan terjadi lagi," ungkap Eko.
"Hanya persoalannya, karena dokumen sejarahnya tidak ada kemudian penelitian geologi dan sebagainya belum pernah dilakukan, sehingga kita tidak mendapatkan informasi yang terkait dengan gempa dan tsunami besar, misalnya," tutup Eko.