Selebrita
Misteri Mati Suri Paramitha Rusady 12 Tahun Lalu Terbongkar, Sempat Tak Sadarkan Diri Selama 2 hari
Misteri Mati Suri Paramitha Rusady 12 Tahun Lalu Terbongkar, Sempat Tak Sadarkan Diri Selama 2 hari
Penulis: Frida Anjani | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM - Misteri pengalaman mati suri aktris Paramitha Rusady yang terjadi 12 tahun lalu terbongkar.
Artis yang terkenal pada tahun 90an itu pun sampai tak sadarkin diri selama 2 hari saat mengalami mati suri 12 tahun yang lalu.
Diketahui, Paramitha Rusady mengalami mati suri saat dalam perjuangan hidup dan mati ketika melahirkan putra pertamanya, Adrian Tegar Maharaja Bago.

• Rosa Meldianti Klaim Lebih Tenar dari Nikita Mirzani, Hotman Paris: Bukannya Nikita Lebih Ngetop?
• Rahasia Sehat Ahok Saat di Penjara Terungkap, Sosok Dokter Berhijab dari Aceh Penolong Suami Puput
Pengalaman mati suri sering kali dikaitkan dengan kisah misterius yang menyelimuti para orang-orang yang pernah mengalaminya, salah satunya adalah artis Paramitha Rusady.
Namun sebenarnya fenomena mati suri tak melulu harus dipandang dari segi mistis.
Ada penjelasan medis tentang mati suri seperti yang dialami oleh Paramitha Rusady.
Fenomena mati suri ini ternyata juga pernah dialami oleh Paramitha Rusady.
Mati suri, peristiwa ketika seseorang hidup kembali setelah dinyatakan mati, juga berkaitan dengan kondisi tubuh atau kesehatan seseorang.
Lama tak terdengar kabar, artis dan penyanyi Paramitha Rusady sempat mengisahkan pengalaman mati surinya 12 tahun lalu.
Tepatnya pada 24 Mei 2007 lalu, Pramitha Rusady bertaruh nyawa untuk melahirkan Adrian Tegar Maharaja Bago.
Berbeda dengan pengalaman melahirkan yang dialami wanita lainnya, Paramitha Rusady sempat mengalami mati suri selama dua hari setelah melahirkan.
"Saya pernah melahirkan dalam keadaan mati suri. Waktu itu pilihannya hidup atau mati," tutur Paramitha Rabu, 3 Desember 2014 lalu melansir dari NOVA.id.
Selama dua hari, Paramitha diketahui tak sadarkan diri.
"Saya tahu belakangan. Lama ya, itu dua hari. Dulu sempat geger waktu melahirkan. Traumatik itu ada," ujarnya.
Pengalaman mati suri yang dialami Paramitha Rusady ini diakibatkan oleh plasenta sang bayi yang menempel pada dinding rahim saat proses persalinan.
Peristiwa plasenta menempel pada dinding rahim ini disebut juga dengan plasenta akreta.

• Beda Sama Igun yang Cintanya Ditolak, Ayu Ting Ting Tanggapi Pria yang Lamar dengan Hafalan 30 Juz
• Tak Hanya Muzdalifah, Inul Daratista Juga Punya Rumah Berlapis Emas, Intip Rak Kaca Emas Super Mewah
Plasenta akreta adalah kondisi kehamilan serius yang terjadi ketika plasenta tumbuh terlalu dalam ke dinding rahim.
Adanya plasenta akreta, sebagian atau semua plasenta tetap melekat, hal ini dapat menyebabkan kehilangan darah yang parah setelah melahirkan dan kemungkinan bisa terjadi kerusakan pada rahim atau organ lainnya.
Kondisi ini sangat berisiko menyebabkan pendarahan hebat pasca melahirkan.
Penyebab plasenta akreta ini belum diketahui lebih tepatnya, namun beberapa diantaranya diakibatkan oleh melahirkan di usia lebih dari 35 tahun, plasenta previa (plasenta sebagian atau seluruhnya menutupi serviks), dan operasi sesar sebelumnya.
Hal inilah yang membuat Paramitha harus menjalani operasi hingga akhirnya pendarahan hebat dan alami mati suri.
Melansir dari Journal of Royal Society of Medicine menyebutkan bahwa fenomena mati suri atau sering disebut dengan lazarus merupakan fenomena meninggalnya seseorang dalam waktu tertentu dan bangkit kembali dalam keadaan normal.
Fenomena mati suri digambarkan sebagai tertunda atau berhentinya aktivitas jantung terkait dengan upaya pernapasan yang signifikan setelah serangan jantung.
Penyebab mati suri ini biasanya dikarenakan oleh:
- Hiperkalemia bisa menghambat kembalinya aktivitas jantung dan paru yang sempat terhenti atau return of spontaneous circulation (ROSC).
- Hipotermia yang menyebabkan detak jantung dan denyut nadi menjadi sangat lemah karena pengaruh suhu udara yang dingin.
- Pemberian resusitasi jantung paru (RJP) atau disebut juga dengan cardiopulmonary resuscitation (CPR), biasanya dilakukan kepada orang-orang yang mengalami henti jantung serta tidak mampu bernapas secara normal
Apa yang Terjadi Saat Orang Mati Suri?
Tidak semua orang dapat mengalami mati suri. Berdiri di ambang kehidupan dan kematian merupakan suatu pengalaman yang tiada duanya bagi seseorang.
Seringkali, mati suri berkiatan dengan perasaan damai, cahaya terang, dan jiwa yang terputus dari raga. Sebuah studi baru mengenai kronologi mati suri mendapati bahwa tidak semua orang mengalami urutan langkah-langkah yang sama, yang dapat membantu menyingkirkan hubungan kompleks antara neurologi dan budaya di ambang hidupnya.
Melansir dari Kompas.com dalam artikel berjudul "Ingin Tahu Rasanya Mati Suri? Begini Jawabannya" ada sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti Belgia ini didasarkan pada 154 tanggapan survei responden dan narasi yang dikumpulkan melalui International Association for Near-Death Studies and the Coma Science Group.
• Lirik Lagu Winter Bear dari V BTS Lengkap dengan Terjemahan Indonesia, Lagi Trending di YouTube
• Bocor Kemesraan Anak Mayangsari dengan Bambang Trihatmodjo, Terungkap Ada Panggilan Spesial

Responden dipilih menggunakan skala Greyson NDE, sebuah metrik yang dikembangkan oleh Bruce Greyson—psikolog AS. Skala ini dirancang untuk memberikan struktur dan konsistensi dalam mengevaluasi pengalaman yang diingat oleh pasien saat mengalami perhentian jantung.
Istilah Near Death Experience (NDE) atau mati suri muncul pada tahun 1975 ketika psikolog bernama Raymond Moody menggunakannya untuk menggambarkan apa yang disebut dengan ‘menengok dunia lain’. Kini, cerita mati suri hampir bersifat klise.
Cahaya terang, terowongan, dan emosi positif sudah menjadi hal yang biasa didengar mengenai pengalaman mati suri. Tahapan ini pun dianggap sebagai gambaran singkat dari kehidupan setelah kematian.
Mempelajari fenomena ini begitu menarik sekaligus rumit. Hal itu disebabkan karena sulitnya memisahkan bias budaya dari proses neurologis dan tantangan etika dalam mencatat data fisiologis pada saat kritis.
Yang lebih buruk lagi, bidang penelitian ini nyaris berkaitan dengan penelitian ‘abal-abal’ yang sering muncul. Sehingga, sulit untuk mengetahui di mana kinerja otak akan berakhir dan pseudosains—tipuan yang dianggap ilmiah—dimulai.
Dari keseluruhan studi mengenai mati suri, sekitar 4-15% penduduk dunia telah mengalami pengalaman tersebut. Bahkan, beberapa dari mereka melaporkan bahwa ‘pengalaman di akhirat’ itu tidak harus melalui mati suri.
Menurut mereka, hal ini lebih berkaitan dengan respons neurologis terhadap stres daripada kematian itu sendiri. Sesungguhnya, ini bukanlah penelitian pertama mengenai mati suri. Sebelumnya, sebuah studi oleh ahli saraf, Sam Parnia, menemukan tujuh kategori ingatan selama NDE.
Sedangkan dalam studi yang baru, peneliti mengungkap pengamatan spesifik yang diingat oleh para responden dan mencatat kronologi mati suri tersebut. Penelitian ini pun dipublikasikan di Frontiers in Human Neuroscience.
“Tujuan penelitian kami adalah untuk menyelidiki distribusi frekuensi dari keistimewaan ini, baik secara global maupun narasi, serta urutan temporalitas yang paling sering dilaporkan dari keistimewaan pengalaman yang berbeda,” kata Charlotte Martial, peneliti dari University of Liège.
Dari seluruh responden, 80% merasakan kedamaian, 69% melihat cahaya yang terang, dan 64% menemui ‘sosok’ lain. Hanya 5% yang merasakan ‘berpikir cepat’ dan 4% menggambarkan apa yang disebut sebagai penglihatan prekognitif—penglihatan masa depan.
Dari segi kronologi, 22% responden mengaku telah mengalami pemisahan roh dari tubuh, diikuti dengan menyusuri terowongan, melihat cahaya terang, dan merasakan kedamaian. Sepertiga dari mereka mengalami sensasi pemisahan roh dan akhirnya kembali lagi ke tubuh.
“Ini menunjukkan bahwa mati suri tampaknya diawali oleh pemisahan roh dari tubuh, dan berakhir ketika roh kembali ke dalam tubuh,” ucap Martial. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian semacam ini. Responden dipilih berdasarkan kemauan mereka sendiri.
Responden yang kurang nyaman menceritakan pengalamannya tidak dilibatkan dalam survei ini. Selain itu, semua responden menggunakan Bahasa Prancis. Itu berarti, sulit mengetahui seberapa besar pengaruh latar belakang budaya terhadap pengalaman mereka.
Jika penelitian seperti ini direplikasi secara luas di populasi lain, hal itu dapat membantu menyoroti aspek fenomena mati suri yang biasa terjadi di sekitar kita.
“Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi perbedaan dan tingkat pengalaman responden yang berkaitan dengan harapan dan latar belakang budaya mereka. Mekanisme neurofisiologis yang mendasari pengalaman mati suri juga perlu untuk diselidiki,” jelas Martial.