Nasional
Mbah Pani di Pati Lakukan Topo Pendem Dikubur Hidup-hidup, Tapi Aneh, Kok Pintu Rumah Ditutup?
Mbah Pani di Pati Lakukan Topo Pendem Dikubur Hidup-hidup, Tapi Aneh, Kok Pintu Rumah Ditutup?
Penulis: Frida Anjani | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM - Aksi nekat seorang pria paruh baya menjajal rasanya jadi mayat berhasil viral dan mencuri perhatian warganet.
Mbah Pani, kakek berusia 63 tahun di Pati ini menjajal rasanya menjadi mayat dengan melakukan ritual Topo Pendem.
Proses ritual Topo Pendem sendiri diketahui Mbah Pani harus dikubur hidup-hidup layaknya mayat yang dimakamkan dan berada di dalam tanah selama kurang lebih lima hari.
Namun, ada yang aneh dari aksi yang di lakukan Mbah Pani asal Pati ini.
Meski aksi ritual Topo Pendem Mbah Pani ini menyita perhatian, namun ada yang aneh.
Mbah Pani melakukan aksi Topo Pendemnya dengan tertutup, hanya anggota keluarga yang tahu dan bahkan pintu rumah sampai dikunci dari dalam.

Supani atau yang lebih akrab dipanggil dengan nama Mbah Pani melakukan aksi Topo Pendem yang berhasil menarik perhatian warga sekitar.
Ritual atau tirakat itu dilakukan Mbah Pani di dalam rumahnya di Bendar RT 3 RW 1 Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada Senin (16/9/2019).
Mbah Pani mulai melakukan persiapan ritual Topo Pendem selepas ia menunaikan salat magrib di Musala Al-Ikhlas, musala setempat.
Ratusan warga berkerumun di halaman rumah Mbah Pani selepas magrib.
Bahkan aparat desa dan kepolisian pun ikut memantau aksi nekat yang dilakukan pria itu.
Mbah Pani sendiri dikenal sebagai salah satu pemain senior seni tradisional ketoprak di wilayah tersebut.
Melansir dari Tribun Jateng, ritual Topo Pendem yang Mbah Pani lakukan merupakan yang ke-10 ia lakukan.
Ritual kesepuluh ini menjadi ritual Topo Pendem yang akan dilakukan oleh Mbah Pani.
Terakhir, Mbah Pani melakukan ritual Topo Pendem pada tahun 2001.
Dalam menjalani ritual Topo Pendem itu, Mbak Pani dikubur selama tiga hari tiga malam dalam liang yang dibuat di dalam rumahnya.
Selama 9 kali menjalani ritual Topo Pendem, dari pengakuannya Mbah Pani pernah menjalani ritual tersebut di luar desa sebanyak 2 kali.
Sebelum melakukan ritual Topo Pendem, Mbah Pani mengganti pakaianya dengan kain kafan sebagaimana kain untuk orang yang akan dikubur.
"Karena ini yang terakhir, nanti tidak cuma tiga hari, tapi lima hari," kata Mbah Pani di rumahnya.
Ditanya mengenai tujuan dan hal lainnya, Mbah Pani enggan memberi keterangan sebelum ritual tuntas dilaksanakan.
Mbah Pani punya seorang istri dan dua anak, serta anak angkat.
Suyono, anak angkat Mbah Pani, mengatakan, ritual Topo Pendem dilakukan Mbah Pani dengan menguburkan diri di dalam tanah yang diberi lubang untuk pernapasan.
"Topo pendem seperti ini sudah dilakukan beliau sebanyak sembilan kali. Dan hari ini adalah yang ke-10," ungkapnya.
Sebelumnya, Mbah Pani melakukan ritual ini setahun sekali, setiap bulan Suro.
Dalam prosesi ritual Topo Pendem, Mbah Pani diperlakukan hampir sama seperti jenazah yang akan dikubur.
Ia dikafani, dan disediakan pula aneka kelengkapan pemulasaraan jenazah, antara lain bunga-bunga.
Namun dalam ritual ini tidak ada prosesi azan.
Supaya tidak sepenuhnya seperti prosesi penguburan jenazah.
Ukuran liang kubur yang dibuat untuk ritual Topo Pendem memiliki kedalaman sekitar 3 meter, panjang 2 meter, dan lebar 1,5 meter.
Di dalam liang kubur itu, sudah disediakan peti untuk tempat pertapaan.
Di dalamnya disediakan pula bantal dari tanah.
Ketika prosesi ritual mulai dilaksanakan, hanya pihak keluarga dan tokoh masyarakat setempat yang diperkenankan masuk rumah.
Pintu rumah Mbah Pani pun dikunci dari dalam rumah.
Wartawan serta para tetangga tidak diizinkan masuk rumah.
Menurut pihak keluarga, ritual ini adalah prosesi sakral.
Dan suasana pun hening menegangkan saat Mbah Peni dikubur.
Setelah Mbah Pani dikubur, Sutoyo, Carik Bendar sekaligus tetangga Mbah Pani memberi keterangan.
"Tentang ritual ini, berdasarkan pesan Pak Pani, kejelasannya belum bisa disampaikan saat ini.
Besok kalau sudah selesai bertapa baru bisa menjelaskan sesuatu yang ada di dalam.
Tujuan ritual ini juga belum bisa disampaikan saat ini, karena dia mungkin punya rahasia.
Punya sesuatu yang kaitannya dengan ritual," paparnya.
Sutoyo mengatakan, sehari-hari Supani bekerja sebagai pedagang bakso dan seniman ketoprak.
"Dia selalu di musala. Setiap waktu salat dia yang azan. Salat lima waktu selalu di musala," ujarnya.
Sebagaimana keterangan warga, Sutoyo mengatakan, ritual Topo Pendem yang dilakukan Mbah Pani kali ini adalah yang ke sepuluh.
Kali pertama ritual ini dilaksanakan Mbah Pani pada 1991.
Adapun ritual kesembilan dilaksanakan pada 2001.
Di antara sembilan ritual tersebut, ada dua ritual yang dilaksanakan di Desa Ketip, Kecamatan Juwana.
"Beberapa waktu setelah ritual ke-9, beliau sempat sakit stroke. Jadi ritual penutup baru bisa dilaksanakan hari ini," ujarnya.
Prosedur pelaksanaan ritual ini, menurut Sutoyo, tidak pernah berubah sejak dulu. Ada kain mori dan perlengkapan penguburan jenazah.
"Tapi tidak diazani. Karena menurut pesan dari Pak Pani, kalau azan itu ritual pelaksanaan orang meninggal dunia," paparnya.
Sutoyo mengungkapkan, bersama seluruh warga Bendar, ia berharap ritual Topo Pendem yang dilakoni Mbah Pani berjalan dengan lancar.
Lubang kubur itu dibuat di dalam rumahnya. Sudah beberapa kali lubang itu digunakan oleh Mbah Pani untuk menjalani Topo Pendem.
Meski ratusan warga ingin menyaksikan prosesi penguburan Mbah Pani, namun hanya keluarga yang diizinkan masuk rumah.
Warga lain menyaksikan dari luar rumah.
Saat digali, kondisi lubang itu berair. Namun segera disedot dikeringkan saat Mbah Pani sudah mengenakan kain kafan.
Sebagaimana proses pemakaman biasa, Mbah Pani juga dikafani dan dimasukkan ke dalam peti.
Ada pipa untuk saluran pernapasan yang menghubungkan Mbah Pani dari dalam kubur ke permukaan tanah.
Ritual Topo Pendem atau nama lainnya Topo Ngeluweng, biasanya dilakukan dengan cara mengubur diri di tanah pekuburan atau tempat yang sangat sepi.
Konon topo ini bertujuan untuk memunculkan penglihatan gaib, katanya setelah melakukan topo ini bisa melihat jin atau arwah-arwah gentayangan.
Topo pendem hampir sama dengan topo ngeluweng atau bahkan ada yang menyamakan ritual tirakat ini biasanya diawali puasa lalu tirakat dengan mengubur diri hidup-hidup dengan diberikan lubang untuk bernafas dari bambu atau pralon.