Ruki Nyalakan Suluh Semangat Belajar Anak yang Terpinggirkan di Kota

Ada juga beberapa orang yang menyumbang secara tidak regular,” kata Iko yang merupakan dosen bahasa Indonesia di UPH Karawaci.

Penulis: Benni Indo | Editor: yuli
DOKUMENTASI IKO BOANGMANALU
Para pengajar dan peserta didik yang meramaikan Ruki. Di tempat inilah suluh semangat belajar itu menyalan pada anak-anak yang terpinggirkan di tengah kota. 

SURYAMALANG.COM, TANGERANG - Hari mulai gelap, langkah gontai Susan Pardede dan Iko Boangmanalu pelan-pelan diseret menuju sebuah warung makan di dekat kost mereka, Jalan Kelapa Dua Raya, Gang Swadaya, RT 002/RW004, Kelurahan Kelapa Dua, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Di warung itu, Susan memesan makanan sedangkan Iko sekadar minum saja.

Seorang bapak melayani mereka dengan ramah. Saat Susan makan, ia melihat ada tak wajar dengan raut wajah si bapak yang melayani mereka. Bapak itu tampak sibuk dengan sebuah buku yang dipeganggnya. Mencoret-coret lembaran buku yang dipegangnya.

"Saya memperhatikan sejak awal, bapak itu air mukanya seperti mikir keras. Saya kira bapaknya menghitung pengeluaran belanja. Tapi kalaupun menghitung pengeluaran belanja juga tidak begitu raut wajahnya,” ujar Susan, Sabtu (28/9/2019).

Susan tidak berani menanyakan langsung kepada si bapak. Sesaat kemudian, Susan selesai makan. Tatkala selesai membayar dan hendak meninggalkan warung, si bapak menahan kepergian mereka. 

Dengan wajah yang terlihat kebingungan, si bapak tadi meminta tolong kepada Susan dan Iko untuk mengerjakan soal di buku yang disodorkan.

“Mbak bisa minta tolong?,” kata Susan mengulang ucapannya si bapak yang meminta tolong.

Susan melihat yang tertulis di buku. Ternyata soal pelajaran matematika anak kelas 5 sekolah dasar (SD). Susan heran, kok si bapak yang sudah tua itu mengerjakan tugas anak kelas 5 SD?

“Loh ini kan pelajaran MTK kelas lima SD dalam penjumlahan. Ya udah saya kerjakan. Tapi kemudian saya kepikiran setelah mengerjakan beberapa soal. Kok saya yang mengerjakan ini ya?” ungkap perempuan asal Medan ini.

Susan bertanya atas kegelisahannya. Dijawab si bapak, tugas matematika itu milik putranya, Galuh. Baru diketahui Susan setelah si bapak bercerita seperti itu.

“Itu tugas si Galuh. Saya mengerjakan penjumlahannya, tapi pecahannya saya tidak tahu,” kata si bapak kepada Susan.

Susan, guru bahasa Indonesia di SMA UPH Collage ini pun mengajari si bapak agar bisa mengerjakan tugas anaknya. Namun tidak sampai selesai tugas itu selesai, ada yang mengganjal dalam benaknya Susan.

“Daripada bapak yang saya ajarkan bagaimana kalau Galuh saja?” pinta Susan.

Di bagian belakang warung, ada si kecil Galuh sedang sibuk main permainan di ponselnya. Setelah itu, Galuh diminta ke depan belajar sama Susan dan Iko. Saat itulah, Susan mengajari Galuh. 

Tak lama kemudian, bergabunglah kakaknya Galuh, Putri. Mereka kemudian belajar bersama dan mengerjakan tugas sampai selesai.

“Saya baru bisa pulang dari warung pukul 23.00 wib,” kata Susan.

Sebelum pulang, si bapak meminta kesediaan Susan dan Iko agar anaknya bisa belajar lagi. Susan dan Iko pun menyambut permintaan itu. Mereka bersedia kalau Galuh dan Putri belajar di kostnya.

“Kalau lampu kost menyala, berarti kami di kost,” kata Susan memberi tahu.

Keeseokan harinya, datanglah Galuh dan Putri selepas maghrib ke kostnya Susan dan Iko. Mereka belajar seperti biasa hingga seesai.

Tak pernah disangka Susan dan Iko, setelah kedatangan mereka di hari pertama, keeseokan harinya banyak anak-anak mulai datang ke kostnya Susan. Galuh dan Putri mengajak teman-temannya yang 

Mereka datang untuk belajar bersama Susan dan Iko. Dimulai dari dua orang pelajar SD, kemudian semakin hari semakin banyak menjadi puluhan anak. Anak-anak ini merasa nyaman belajar dengan Susan dan Iko.

Iko, saat ditemui bercerita ada lima anak yang datang pada hari kedua di kostnya. Seperti halnya bola salju, dari beberapa anak ini jumlahnya semakin banyak.

Pesertanya adalah anak-anak dari tingkat TK, SD dan SMP. Dengan banyaknya anak-anak yang belajar itu, kemudian Susan dan Iko menyiapkan sebuah tempat dan nama komunitas belajar. Maka lahirlah Rumah Kita atau Ruki pada 11 September 2018.

Di tengah kota yang begitu modern, dekat dengan lembaga pendidikan modern juga, terdapat perkampungan kecil di pinggir telaga. Di situlah anak-anak yang belajar di Ruki tinggal. Rumah-rumah mereka berada di jalanan sempit.

Kebanyakan penduduknya adalah pendatang yang mengadu nasib. Mereka sebagian besar bekerja sebagai penjual sayuran, tukang permak pakaian keliling dan buka warung makan.

Hadirnya Ruki ini menjadi angin segar bagi para orangtua. Orangtua mulai memberi kepercayaan kepada Susan dan Iko agar anak-anaknya mendapat pendidikan, sekalipun pendidikan non formal. Kepercayaan itu juga dijawab dengan lahirnya komunitas pendidikan bernama Ruki.

Ada hal yang tidak wajar menurut Iko. Ia menemukan ada anak yang kesulitan membaca dan berhitung meskipun sudah berada di kelas 5 SD. Tidak lama setelah Ruki lahir, Susan dan Iko memutuskan untuk mengontrakan rumah petakan  seharga Rp 500 ribu per bulannya untuk belajar. Rumah petakan yang berukuran 3x6 meter dan dibayar dengan uang pribadi.

Di tempat yang tidak begitu luas itu, Susan dan Iko mengajarkan membaca, menulis, berhitung dan sesekali bahasa Inggris mulai Senin hingga Kamis. Seiring berjalannya waktu, ada puluhan anak yang datang. Petakan rumah pun semakin sesak untuk belajar.

Kini sudah ada 20 anak yang aktif belajar di Ruki. Susan dan Iko kemudian memutuskan untuk menyewa satu tempat lagi. Dengan menyewa dua tempat, mereka harus merogoh Rupiah sebanyak Rp 1.1 juta.

“Nah kami kan tidak punya uang sebanyak itu. Kemudian ada satu teman kantornya Susan yang mau beri bantuan setiap bulan. Di kantor saya ada dua orang. Ada juga beberapa orang yang menyumbang secara tidak regular,” kata Iko yang merupakan dosen bahasa Indonesia di Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci.

Beban biaya kontrakanpun lebih ringan. Susan dan Iko tidak perlu lagi mengeluarkan uang terlalu banyak untuk membayar tarif sewa. Kini, keduanya fokus untuk mengajar. Iko menceritakan, di Ruki, anak-anak belajar selama sejam setiap malam mulai pukul 20.00 wib.

Diceritakan Iko, anak-anak yang mereka ajar sebagian besar pemalu. Mereka tidak berani menunjukkan kepercayaan diri. Dari situ, Iko melihat, selain kendala akademik, juga ada kendala psikologis pada anak-anak ini.

Maka tujuan belajar itu tidak sekadar bagaimana anak-anak pintar secara akademik, namun juga berani mengemukakan pendapat. Pembelajaran pun dibuat menyenangkan. Gelak canda tawa sesekali muncul saat belajar. Di Ruki juga sering diadakan acara makan bersama.

Intensifnya komunikasi antara pengajar dan peserta didik perlahan membuat anak-anak berani bercerita tentang kehidupan mereka. Dari cerita-cerita itu, terdengar cita-cita hebat dari anak-anak. Iko dan Susan semakin merasa terpanggil untuk membantu mewujudkan cita-cita mereka.

“Mereka ini kan anak-anak yang pemalu dan tidak percaya diri. Mereka dekat dengan hunian eksklusif. Bahkan untuk ke time zone saja mereka tidak pernah ke sana. Mereka melihat saya sebagai bagian dari eksklusifitas itu yang seolah tidak bisa mereka menjangkau,” terangnya.

Namun anggapan itu kini telah berubah. Susan dan Iko sangat dekat dengan anak-anak. Sekat sosial itu sudah tak berjarak lagi. Pembelajaran pun semakin efektif.

Sebagai upaya serius memberikan pengabdian mengajar kepada anak-anak, Iko membuat proposal pengabidan masyarakat di kampusnya. Tak butuh waktu lama, proposal disetujui. UPH kemudian menerjunkan sejumlah mahasiswa untuk bantu mengajar di Ruki.

“Awalnya berdua saja kan, hanya karena makin banyak jadinya aku masukkan proposal ke UPH. Disetujui hanya untuk rekrut mahasiswa agar mengajar di Ruki. Sehari ada Tujuh mahasiswa yang datang mulai Senin sampai Kamis. Setiap hari mahasiswa yang mengajar berbeda-beda,” ujar Iko, alumnus magister Universitas Sebelas Maret (UNS) ini.

Melihat semangat anak-anak yang belajar, Iko pun berharap semangat itu tetap terjaga. Setahun berlalunya Ruki, mulai terlihat perubahan. 

Anak-anak yang dulunya pemalu, kini mulai berani mengekspresikan kemauannya. Di antara mereka juga ada yang menjadi juara kelas. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya di kelompok anak-anak yang tinggal di perkampungan sempit ini.

Mereka yang dulunya tidak tahu menahu tentang bahasa Inggris, juga mulai mengenal dan mempraktikan bahasa Inggris. Iko mengaku merasa tersentuh sekali ketika ada seorang peserta didik mengucapkan good night kepadanya selepas belajar di Ruki.

“Itu sangat menyentuh saya. Bahagia bisa mendengarkan dia mengucapkan itu ke saya. Tidak ternilai rasa bangganya saya,” kata Iko.

Bagi Iko, Ruki bukanlah miliknya dan Susan. Ruki adalah ikon yang tak terpisahkan dari masyarakat sekitar sebagai simbol pendidikan keluarga. Iko pun mengajak anak-anak dan masyarakat sekitar untuk menumbuhkan rasa memiliki pada Ruki.

“Saya ingin Ruki menjadi bagian dari masyarakat. Ruki bukan punya kak Iko dan kak Susan. Ini milik mereka, kalau mereka tidak di sini, Ruki tidak ada. Saya ingin masyarakat menyadari kalau Ruki milik bersama. Kita jaga bersama,” tutup Iko. 

Tags
Tangerang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved