Berita Batu Hari Ini
Setahun Setelah Diresmikan, Begini Kondisi Pedagang Pasar Sayur Kota Batu
Pasar Sayur Kota Batu sudah setahun diresmikan Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko, pada 17 Februari 2020.
Penulis: Benni Indo | Editor: isy
SURYAMALANG.COM | BATU – Pasar Sayur Kota Batu sudah setahun diresmikan Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko, pada 17 Februari 2020.
Saat itu, pandemi Covid-19 belum melanda Indonesia, sehingga Pasar Sayur Kota Batu diresmikan dengan pesta meriah mulai siang hingga malam.
Harapan besar disampaikan Dewanti agar pasar berdampak positif terhadap masyarakat Kota Batu, khususnya para pedagang.
Surya mendatangi pasar pada Selasa (16/2/2021) pagi.
Di bagian depan, sejumlah pedagang tengah memilah dan memasukan bawang merah serta bawang putih.
Beberapa di antaranya adalah pedagang kentang.
Saat masuk ke dalam pasar, suasananya sepi.
Banyak lapak yang kosong.
Hanya ada beberapa pedagang sedang bekerja mengemas sayur yang hendak dikirim ke Kalimantan Selatan.
Di tempat lain, ada pedagang yang menjual kopi serta makanan ringan.
Terlihat ada sayur sawi dan kol di dalam pasar.
Tidak ada jenis sayuran lainnya.
Ketua Paguyuban Pasar Sayur, Agus Yulianto menguatkan, sayuran yang menjadi komoditi tinggal tinggal bawang merah, bawang putih, kol dan sawi.
Katanya, dulu banyak varian namun mulai bergeser ke Pasar Karangploso.
Ia juga mengatakan, banyak pedagang yang tidak mengisi lapaknya.
Jumlahnya hingga 70 persen, sedangkan 30 persen lainnya berjualan di pasar.
“Penghuni yang sekarang dengan yang dulu sebelum dibangung, tidak ada perubahan. Tidak ada penambahan jumlah pedagang. Sekitar 200, tidak sampai 300. Tidak ada penambahan jumlah pedagang,” kata Agus saat ditemui di kediamannya, Selasa (16/2/2021).
Agus juga mengatakan kalau kondisi kesejahteraan pedagang tidak berubah.
Jadi, antara pasar sebelum dibangun dengan sesudah dibangun, tidak ada bedanya bagi pedagang. Secara ekonomis, sama saja.
“Ya bedu. Saya rasa masih tetap saja, tidak ada perubahan. Kalau masalah ramai dan tidak, sebenarnya dari pedagang sudah berusaha ke pasar. Tinggal pemerintah bagaimana meramaikan pasar. Kami sebagai pedagang hanya mengikuti alur saja,” ungkap Agus.
Agus mengemukakan, belum ada program yang secara spesifik diberlakukan oleh Pemerintah Kota Batu untuk meramaikan Pasar Sayur.
Justru, upaya untuk meramaikan pasar datang dari pihak luar, yakni Himpunan Pengusaha Muda Indonesia atau Hipmi.
“Sementara ini belum ada program. Kemarin, ada wacana dari Hipmi membantu pedagang secara online, tapi belum ada realisasi. Jadi kondisinya saat ini sama saja, tidak ada kenaikan yang signifikan,” paparnya.
Pandemi Tak Berpengaruh
Berbicara tentang kondisi pandemi, menurut Agus tidak banyak berpengaruh.
Pasalnya, barang dagangan yang dijual di Pasar Sayur adalah kebutuhan pokok masyarakat untuk makan.
Pandemi tidak banyak berdampak di Pasar Sayur.
“Kalau pasar, saat pandemi tidak terlalu berpengaruh karena kami jual kebutuhan pokok. Jadi sebenarnya, tinggal inisiatif pemerintah agar pedagang bisa buka semuanya. Kalau pedagang bisa buka semua, pergerakan lebih banyak,” katanya.
Bagi Agus, secara fisik kondisi pasar memang lebih bagus setelah dibangun.
Hanya saja ia belum melihat adanya program-program yang bisa diikuti oleh pedagang.
Sementara pedagang sendiri tidak memiliki kemampuan untuk meramaikan pasar, kecuali hanya datang dan berdagang di pasar.
Diceritakan Agus, saat pasar sedang dibangun, tugas paguyuban saat itu hanya satu, yakni mendata pedagang resmi agar hak-haknya terpenuhi.
Setelah pedagang mendapatkan haknya semua, tugas paguyuban selesai.
Namun pada kenyataannya, meskipun pedagang sudah mendapatkan hak lapak, tidak sedikit lapak yang kosong.
Bagi Agus, masalah tidak menempati bedak itu ada pada domain pemerintah.
“Kembali ke kebijakan pemerintah. Misal, jika berapa bulan tidak berdagang bisa ditarik gitu. Wacana seperti itu ada, tapi tidak kepada saya saja, semua pasar di Batu. Tidak bisa hanya Pasar Sayur saja,” paparnya.
Pedagang yang tidak hadir di lapak Pasar Sayur banyak yang beraktivitas di rumah.
Mereka mengemas barang dagangannya di rumah.
Ada beberapa faktor mengapa pedagang memilih mengemas di rumah.
Salah satunya adalah untuk mengurangi biaya operasional.
Kata Agus, jika harus melakukan pengemasan di pasar, maka harus membayar buruh.
Sedangkan biaya buruh di Kota Batu, menurut Agus, sangat mahal jika dibandingkan dengan pasar-pasar lainnya.
Bahkan ia membandingkan dengan pasar yang ada di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.
“Kami terima kasih atas pembangunan. Kami juga mohon bila ada kerusakan segera ada perbaikan. Kami juga minta agar pasar diramaikan. Kalau tidak diikuti program percuma, stagnan saja. Tidak ada kenaikan signifikan,” tutup Agus.