FITK UIN Malang Gelar Konferensi Internasional Pendidikan Islam, Lahirkan Pemikir Fusionis

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menggelar The 6 th International Conference on Islamic Education (ICIED)

Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: rahadian bagus priambodo
dok. UIN Malang
Rektor UIN Malang Prof Dr Zainuddin MA memberikan sambutan dalam konferensi internasional yang diadakan FTIK, Senin (15/11/2021) 

SURYAMALANG.COM-MALANG-Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menyelenggarakan The 6 th International Conference on Islamic Education (ICIED), Senin (15/11/2021). Topik yang dipilih yaitu Sustainable Education Transformation in The Disruptive Era. Dari konferensi ini diharapkan melahirkan pemikir-pemikir fusionis. 

Yaitu berpikir dan bertindak dengan mendasarkan pada tradisi lama yang baik dan mengambil pemikiran baru yang lebih baik untuk masa depan bangsa. Sebagai keynote speaker adalah Prof Mun’im Sirry PhD dari  Notre Dame University Amerika Serikat. Dikatakan, perjalanan panjang pendidikan tinggi Islam di Indonesia, maka UIN Malang sudah saatnya melahirkan para Fusionist Scholars dan Fusionist Vision.   

Dekan FITK UIN Malang Dr H Nur Ali MPd menyatakan, ide yang berkembang dalam konferensi ini selaras dengan budaya dan kurikulum yang dikembangkan di UIN Malang yaitu  integrated curriculum, literasi interreligius dan kelembagaan pendidikan. 

“Fusionist Scholars merupakan integrasi metode kritis Barat dengan agama dalam bidang pendidikan Islam. Sementara Fusionist Vision  mengarah pada orientasi yang bertumpu pada pernyataan bahwa pengetahuan tidak dapat dibagi menjadi intelektual Islam atau barat tetapi menjadi satu kesatuan yang bermanfaat Rahmatan Lil Alamin”, tutur Nur Ali.         

Sedang Prof Mun'im menjelaskan, perkembangan sistem pendidikan di Indonesia sangat luas dan beragam. Dengan lebih dari 60 juta siswa dan 4 juta guru di sekitar 340.000 institusi pendidikan. "Ini adalah sistem pendidikan terbesar ketiga di Asia," jelas dia dalam kegiatan lewat zoom.  

Dikatakan, sistem pendidikan ini dapat ditelusuri kembali ke masa kolonial, ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan Belanda.  Belanda memperkenalkan jenis pendidikan barat dengan fokus pengetahuan sekuler. Adanya hal itu, muslim Indonesia memperkenalkan model madrasah pada dekade awal abad 20. 

Sebelum masuknya Belanda yang kemudian direspons dengan berdirinya madrasah, maka sudah dikenal lembaga pendidikan Islam di pesantren atau pondok atau surau. Tantangan adalah pendidikan Islam di Indonesia ada tiga hal. Tantangah pertama, kompleksitas sistem ganda.  Sebagai lembaga pendidikan Islam, baik negeri maupun swasta, mengadopsi sistem pendidikan nasional.

Maka lembaga pendidikan harus mengikuti aturan dan peraturan yang ditetapkan oleh Kemendikbud. Seringkali, peraturan ini begitu rumit. Tantangan kedua adalah semakin banyaknya lulusan pesantren dan madrasah yang melanjutkan studi ke jenjang universitas. 

"Data lama saya menunjukkan bahwa jumlah siswa sekitar 5,9 juta. Dibandingkan 4,2 juta pada tahun 2008. Ini berarti bahwa dalam 6 tahun, terjadi peningkatan sekitar 1,7 juta siswa," jelasnya. Tantangan ketiga adalah masalah pendidikan berkualitas tinggi. 

Dari hal itu, ada yang bisa diambil pelajaran. Pelajaran pertama, yaitu dengan pengenalan metode kritis (historis, sosiologis, antropologis) dalam studi Islam sangat penting.  Apa yang membuat bidang studi Islam di Barat saat ini mencapai usia yang penuh semangat dan dinamisme adalah karena Islam tidak didekati sebagai mata pelajaran yang unik.  

Pelajaran kedua adalah masa depan pendidikan Islam di Indonesia tanpa mempererat ikatan dengan universitas-universitas barat.  Pengaruh universitas-universitas barat dalam proses reformasi Islam lebih besar daripada yang biasanya dirasakan. 

 Pelajaran Ketiga adalah meskipun ada keberatan dan penentangan terhadap reformasi pendidikan yang digagas oleh Mukti Ali (Depag) dan Harun Nasution (IAIN), namun pada akhirnya pemenangnya adalah visi fusionis yang menolak batas antara akademisi barat dan modern pendidikan Islam.  

Dalam sambutannya, Rektor UIN Malang Prof Dr H M Zainuddin MA menyambut antusias para presenter dari berbagai negara. Yaitu Prof. Dr Khalid Bin Hassan Al-Abri, King Fadh University (Saudi Arabia), Lubna Farah PhD dari National University of Modern Languages (Pakistan).

Kemudian Dr Araya Ramsin, Chulalongkorn University (Thailand). Serta presenter dari beberapa kampus dan internal UIN Malang seperti Dr Hj Mamluatul Hasanah MPd dan Umi Julaihah PhD. “Keynote speaker dan presentasi di setap sesi menyajikan berbagai strategi yang digunakan di kampusnya masing-masing pada era distrupsi”, ujar Prof Zainuddin. (Sylvianita Widyawati)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved