Berita Malang Hari Ini
Konsolidasi Data Kemiskinan, Tim Fisip UB Rekomendasikan Sensus
Ada empat daerah di Jatim yang jadi pilot projectnya yaitu Kabupaten Bangkalan, Probolinggo, Lamongan dan Bojonegoro.
Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: rahadian bagus priambodo
SURYAMALANG.COM|MALANG- Fisip Universitas Brawijaya (UB) merilis hasil survei konsolidasi data penanganan kemiskinan ekstrim desa, Kamis (30/12/2021) di UB Coffee.
Ada empat daerah di Jatim yang jadi pilot projectnya yaitu Kabupaten Bangkalan, Probolinggo, Lamongan dan Bojonegoro.
Kegiatan ini bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Rekomendasinya adalah perlu sensus kemiskinan di tiap desa.
Sebelum sensus dilaksanakan, perlu ditetapkan indeks kemiskinan desa sehingga valid hasilnya. Seperti dikategori miskin biasa hingga yang ekstrim.
Saat ini data kemiskinan di berbagai kementrian beragam atau belum satu data.
Sehingga data kemiskinan tidak pernah habis. Bahkan yang meninggal masih tercatat.
"Contohnya dari hasil konsolidasi data saja di Kabupaten Probolinggo banyak data yang diihapus. Ada 900 an. Maka jangan main-main data. Agar PD data ya lakukan sensus. Daripada digelontor triliuan untuk kemiskinan namun tetap ada," kata Ketua Tim Peneliti Dr M Lukman Hakim SI MSi, Kaprodi S3 Sosiologi Fisip UB ini pada wartawan.
Sebaiknya juga untuk pendataan kemiskinan secara nasional sebagaimana kebencanaan diketuai Wakil Presiden. Sedang di daerah-daerah ditangani Wakil Bupati/Wakil Walikota.
Tim peneliti ini adalah Dr M Lukman Hakim SIP MSi, ahli Kebijakan sosial dari Fisip UB. Kemudian Dr Indah Dwi Qurbani SH MH, ahli hukum FH UB, Habibi Subandi SIP MA, ahli politik Fisip UB dan Abdul Wahid MA, ahli Komunikasi Pembangunan CYDA.
Pentingnya data valid untuk pengentasan kemiskinan ekstrim. “Kemiskinan ekstrim di Indonesia harus diiringi strategi penanganan dengan berbasis pada data yang kuat”, ungkap Kepala Pusat Data dan Informasi Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Dr Ivanovich Agusta.
Pernyataan itu merespon hasil survei konsolidasi data penanganan kemiskinan ekstrim desa di Jawa Timur yang dirilis Kemendesa PDTT Kerjasama dengan tim peneliti Universitas Brawijaya akhir Desember 2021 ini.
Kemendesa PDTT berkepentingan untuk menangani kasus kemiskinan ekstrim di Indonesia.
Selama ini, data kemiskinan baru setelah pandemi harus dikroscek kembali pada grassroot di desa.
“Data riset ini sebagai strategi berbasis penanggulangan berbasis satu nama satu alamat atau by name by address”, ujarnya.
Banyak Kepala Desa yang mengeluhkan data tidak akurat dalam tiap pemberian bantuan pengentasan kemiskinan.
Survei ini dilakukan pada 1-10 Desember 2021 dengan cara verifikasi data pada Kepala Desa bersama perangkat di Kabupaten Bojonegoro, Lamongan, Probolinggo, dan Bangkalan.
Hasil verifikasi data diikuti dengan kunjungan pada penduduk miskin yang tinggal di desa lokasi survei.
Data kemiskinan ekstrim mengacu pada SK Bupati Bojonegoro, Lamongan, Proolinggo, dan Bangkalan tentang data penduduk miskin ekstrim 2021.
Ukuran kemiskinan ekstrim dilihat dari pendapatan per keluarga di bawah standar paritas daya beli, yakni 1,9 USD per hari atau Rp. 27.303 dengan kurs rata-rata satu dolar bernilai Rp 14.300.
Habibi Subandi, peneliti lainnya membeberkan fakta di lapangan dimana di empat kabupaten yang jadi pilot project konsolidasi data ada perbedaan persepsi.
Seperti mengacu pada standar kemiskinan Dinsos dimana ada 14 variabel. Ada juga kades tidak tahu istilah kemiskinan ekstrim. Ada juga di daerah yang melakukan penghapusan data kemiskinan karena malu dengan alasan mampu secara ekonomi.
"Di Bojonegoro ada yang miskin tapi punya lahan pohon jati. Di Bangkalan, ada yang seperti tidak mampu tapi bisa naik haji tiga kali. Data kemiskinan di Bangkalan bertambah. Hal ini karena masyarakat jika ada woro-woro dari desa untuk bantuan, malah minta dimasukkan," kata dia.
Dari kegiatan turun di lapangan itu diketahui bahwa standar kemiskinan di beberapa daerah berbeda-beda.
"Survei ini mengkonfirmasi pendataan dengan pendekatan mikro dan kondisi faktual data," kata Lukman.
Jadi miskin atau tidak harusnya persepsi individu, bukan versi desa.
Untuk sensus kemiskinan disarankan di lima pulau besar di Indonesia kategorisasinya pasti berbeda. Selama ini tidak pernah ada. Sensus harus dengan basis per RT. Sylvianita Widyawati