TRAGEDI AREMA VS PERSEBAYA
Tragedi Stadion Kanjuruhan : Suporter Turun Lapangan, Aparat Arogan, dan Kuburan Massal di Malang
Tragedi Stadion Kanjuruhan : Suporter Kampungan, Polisi Kurang Pikir dan Kuburan Massal di Malang
Catatan Sepak Bola Oleh T. Agus Khaidir (Jurnalis Tribun Medan)
SURYAMALANG.COM - Derby Jatim antara Arema FC vs Persebaya Surabaya pada pekan 11 Liga 1 2022 berakhir dengan dugaan yang meleset jauh.
Rekor 23 tahun tak pernah menang di kandang Singo Edan, dipatahkan Persebaya Surabaya.
Tim beralias Bajul Ijo itu membikin rontok taring-taring Singo Edan dengan skor 3-2 di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022) malam.
Hasil ini pun memicu kekecewaan Aremania hingga meletuslah Tragedi Stadion Kanjuruhan.
Dugaan apa? Kerusuhan!
Iya, sebagai bebuyutan yang barangkali akan tetap gontok-gontokan sampai kiamat kurang dua hari (hari terakhir menjelang kiamat mereka gunakan untuk berpikir dan menimbang-nimbang apakah di akhirat nanti masih akan melanjutkan seteru atau tidak), kerusuhan adalah keniscayaan.
Dengan kata lain, rusuh pasti, tidak rusuh terbilang keajaiban. Pertanyaannya, seberapa rusuh?
Kita tahu, kerusuhan yang pada akhirnya memang terjadi langsung menempatkan laga ini di posisi dua dalam daftar tragedi sepak bola paling menyesakkan sepanjang sejarah peradaban.
Korban tewas, sejauh ini, telah melewati angka 150 orang --versi warganet (yang mengaku menonton langsung pertandingan itu di Stadion Kanjuruhan Malang) sebagaimana beredar di Twitter sudah mencapai angka 200.
Hanya kalah dari tragedi kerusuhan pada pertandingan babak kualifikasi Olimpiade antara Peru kontra Argentina di Estadio National, Lima, 24 Mei 1964. Kala itu 328 kehilangan nyawa.
Dua tragedi ini sangat mirip. Dipicu oleh ulah suporter kampungan, suporter-suporter yang meninggalkan otaknya di rumah hingga nyaris selalu gagal untuk menerima apabila timnya mengalami kekalahan, yang kemudian ditangani dengan cara-cara bodoh bin dungu oleh polisi.
Di Lima, tragedi bermula dari masuknya satu orang suporter tuan rumah (garis bawahi: hanya satu orang!) ke lapangan untuk memprotes keputusan wasit. Polisi-polisi yang bertugas mengejar suporter sontoloyo itu, meringkusnya, lalu memukulinya sampai babak belur.
Melihat perlakuan polisi suporter lain marah. Beberapa orang lain ikut masuk, lalu bertambah jadi belasan, lalu puluhan. Wasit menghentikan pertandingan dan seluruh pemain meninggalkan lapangan yang makin hubar-habir.
Polisi membalas serangan hingga membuat suporter kocar-kacir. Mereka yang tak bersenjata, cuma bermodalkan emosi, langsung terkapar dihajar pentungan. Sebagian lari kembali ke tribun. Polisi tidak berhenti. Mereka mengejar ke tribun dan menghajar siapapun.
Kepanikan melanda. Para suporter lari menuju pintu keluar, yang celakanya, di masing-masing sektor hanya ada satu dan berukuran sempit pula. Desak-desakan terjadi. Sebagian jatuh terinjak-injak. Sebagian sesak nafas.
Rumah sakit gagal bertindak cepat karena jumlah pasien begitu banyak, dan masuk nyaris berbarengan, sementara petugas medis dan terutama peralatan tidak memadai.
Di Malang, tindakan polisi (dan petugas keamanan lain) lebih katrok.
Lebih kurang pikir. Selain menggempur suporter-suporter yang masuk lapangan dengan pentungan karet dan rotan, mereka juga menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Iya, gas air mata! Barang yang dilarang FIFA untuk digunakan sebagai alat penanganan kerusuhan di dalam stadion.
Namun mengapa tetap digunakan? Siapa yang memerintahkan?
Apakah orang yang memerintahkan penggunaannya tidak tahu betapa gas air mata tidak saja bikin bola mata jadi pedih perih seperti disayat-sayat, lebih jauh juga membuat dada sesak dan sulit bernapas?
Apakah mereka tidak tahu bahwa di tribun stadion ada perempuan dan anak-anak yang ikut menonton?
Apakah mereka tidak pernah tahu betapa untuk orang-orang seperti ini, selain kesakitan, imbas gas air mata juga akan menimbulkan kepanikan?
Dalam kepanikan, mereka akan berlari, berusaha menyelamatkan diri. Tidak ada lagi kontrol. Mereka akan terjebak, lalu jatuh dan terinjak-injak, dan inilah yang terjadi malam itu.
Tidakkah kemungkinan-kemungkinan seperti ini diajarkan dalam pelatihan polisi?
Apakah massa yang brutal dan kampungan juga mesti dihadapi dengan cara yang sama?
Apakah ini semata salah polisi?
Terang tidak!
PSSI, dalam hal ini PT Liga Indonesia Baru sebagai operator kompetisi, juga tidak bisa lepas tangan begitu saja.
Apalagi konon menurut kabar beredar, panitia lokal, sebelumnya telah mengirimkan surat permohonan untuk menggeser jadwal pertandingan.
Dari malam ke sore. Alasan panitia, pengawasan dan pengamanan pertandingan di sore hari, lebih mudah dilakukan ketimbang malam. Termasuk perihal "penonton-penonton liar".
Jumlah penonton akhirnya over kapasitas. Permohonan ini ditolak. Show must go on!
Kekhawatiran-kekhawatiran panitia lokal terbukti. Stadion Kanjuruhan berkapasitas 38 ribu orang. Namun jumlah penonton yang hadir malam itu disebut-sebut mencapai 42 ribu. Dalam kondisi kerapatan seperti ini, mekanisme evaluasi jadi tidak dapat lagi dijalankan dengan baik.
PSSI memutuskan untuk menghentikan sementara kompetisi Liga 1 untuk melakukan investigasi sekaligus evaluasi. Langkah yang memang sebenar-benarnya harus dilakukan. Sebab kerusuhan bukan baru satu kali ini terjadi.
Sebelumnya kerusuhan pecah di Bandung, di Solo, dan di Surabaya. Di kandang Persebaya juga. Hal yang membuat Azrul Ananda, CEO Persebaya, malu tak terkira dan memutuskan untuk mengundurkan diri.
Berseiringan itu, di Liga 2, di laga PSPS Pekanbaru vs PSMS Medan, suporter tuan rumah membakar spanduk dan bangku stadion.
Mereka marah lantaran PSPS main loyo dan tertinggal 1-4 dari PSMS.
Kerusuhan-kersuhan lain juga terjadi di tempat-tempat lain. Dari Liga 1 sampai Liga 3 sampai ke pertandingan-pertandingan antarkampung. Penyebabnya sama. Klub tuan rumah kalah.
Sampai di sini kita muncul pertanyaan lain. Bagaimana sebenarnya cara berpikir penonton sepak bola Indonesia?
Sepak bola adalah permainan yang dipertandingkan, dan pertandingan, secara hakekat, bersifat tak pasti. Ada tiga hasil: menang, seri, atau kalah.
Sepak bola bukan hitung-hitungan matematika. Menang itu membahagiakan. Kalah itu menyedihkan.
Namun selalu ingin menang, dan marah, lantas mengamuk merusuh ketika kalah, adalah senyata-nyatanya kebodohan.