Wirausaha

Penghasilan Para Petani Muda Jika Sukses Tanam Edamame Skala Besar di Jember

Ketika itu, 7 hektare lahan di Desa Cangkring Kecamatan Jenggawah yang dia tanami edamame menghasilkan pendapatan hingga Rp 40 juta.

Penulis: Sri Wahyunik | Editor: Yuli A
sri wahyunik
Danu Wijaya, 22 tahun, petani kedelai Edamame dari Desa Kawangrejo Kecamatan Mumbulsari, Jember. 

Ketika itu, 7 hektare lahan di Desa Cangkring Kecamatan Jenggawah yang dia tanami edamame menghasilkan pendapatan hingga Rp 40 juta.

SURYAMALANG.COM, JEMBER - Usianya baru 22 Tahun, tetapi Danu Wijaya mantab menjatuhkan pilihan pekerjaannya sebagai petani. Ini pekerjaan yang jarang dilirik oleh orang pada usianya.

Petani milenial, demikian pemuda asal Desa Kawangrejo Kecamatan Mumbulsari, Jember itu disebut.

"Kalau dari sisi penghasilan, pilihan saya jadi petani. Tetapi kalau mau karir, ya pekerja kantoran," ujarnya dalam perbincangan dengan TribunJatimTimur.com, Minggu (21/1/2024).

Jawaban ringan namun penuh makna ini dilontarkan Danu ketika ditanya, apakah memilih jadi petani atau pegawai kantoran.

Minatnya menjadi petani muda, tentu bukan tanpa sebab dan tanpa pertimbangan.

Soal tentang penghasilan memang bukan pepesan kosong.

Dia menyebut pada tahun 2023, dia memperoleh pendapatan dari sektor pertanian sebesar Rp 85 juta.

Selama tiga tahun terakhir, Danu memantabkan diri sebagai petani muda. Komoditas edamame yang dipilihnya.

Dia juga memilih bermitra dengan PT Gading Mas Indonesia Teguh (GMIT), produsen edamame di Jember.

Danu memang berasal dari keluarga petani. Ayah dan ibunya menggeluti pekerjaan itu. Karenanya, dia pun ingin juga menjadi petani.

"Faktor pertama ya karena orang tua petani, jadi sudah tidak asing lagi dengan dunia pertanian," ujar Danu.

Pertanian juga jadi pilihan sekolahnya. Di sekolah menengah atas, Danu memilih bersekolah di SMKN 8 Jember, jurusan Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura.

Selepas lulus dari SMK itu, Danu sempat bekerja di GMIT. Namun setelah melihat peluang edamame menggiurkan, dia pun keluar dari pekerjaannya, dan menjatuhkan pilihan menjadi petani mitra GMIT.

Danu pun mencari lahan yang bisa disewanya. Tentu saja, lolos dan tidaknya lahan yang disewanya harus ada asesmen dari pihak GMIT.

"Ini juga yang membikin saya tertarik, karena di edamame peluangnya besar. Dan pasarnya sudah pasti," imbuhnya.

Oleh karena itu, selama tiga tahun terakhir, dia menjadi petani mitra dengan sistem kerjasama operasional. Kebutuhan operasional dalam menanam edamame dipenuhi oleh perusahaan. Selain mencari lahan, dia harus rajin dan tekun dalam memantau perkembangan tanamannya, juga ngopeni sang edamame.

Danu mengakui tidak mudah menjadi petani. Tantangan alam kerap terjadi di depan mata.

Dia mencontohkan, pada 2023, dia juga teman-temannya sesama mitra petani, harus menghadapi El Nino.

El Nino panjang di Indonesia menyebabkan dia bisa disebut 'gagal panen' pada bulan April.

"Ketika itu gagal panen. Karena musim tahun kemarin memang sulit, membingungkan petani. Akhirnya ya rugi biaya kopi, dan tenaga," ujarnya sambil tersenyum kecut.

Biaya kopi adalah istilah biaya makan dan minum yang dikeluarkan petani saat bekerja di sawah.

Beruntung dengan pendampingan pihak perusahaan, serta kerja kerasnya, gagal panen di Bulan April tertebus pada masa panen Bulan Agustus.

Ketika itu, 7 hektare lahan di Desa Cangkring Kecamatan Jenggawah yang dia tanami edamame menghasilkan pendapatan hingga Rp 40 juta.

"Memang tertebus. Dan dari pengalaman itu, tentunya setelah dapat hasil yang menguntungkan, ada sejumlah hasil yang saya tabung. Jaga-jaga jika ada kejadian tidak menghasilkan lagi," imbuhnya.

Meski demikian, dia tidak kapok. Dia tetap memilih menjadi petani.

"Karena kalau dari sisi penghasilan ya jadi petani," tegasnya sambil tersenyum.

Sementara itu, General Manager Estate PT GMIT Margo Waluyo menambahkan, ada 53 orang petani mitra GMIT, termasuk Danu Wijaya.

Margo mengakui, GMIT banyak melirik petani muda alias milenial, selain non milenial. "Tentu saja, semuanya kami dampingi. Apalagi, kami juga mengembangkan sistem informasi teknologi pertanian di edamame  ini. Peluang untuk petani milenial memang sangat besar," ujar Margo.

Ketika ditanya tentang tantangan di budidaya edamame, senada dengan Danu, Margo mengakui faktor cuaca dan hama tentu menjadi tantangan tersendiri.

Seperti tahun 2023, mereka diharapkan pada El Nino yang menyebabkan berkurangnya air secara signifikan akibat panjangnya musim kemarau.

"Karenanya, kami memakai sejumlah terobosan. Untuk mengantisipasi El Nino ini, kami mengandalkan sumur-sumur. Dan untuk hama, kami kendalikan dengan berbagai cara, tergantung jenis hama apa yang menyerang," imbuhnya.

Ada penerapan mulsa jerami untuk menjaga kelembaban tanah. Kemudian ada pemakaian trikoderma, juga pemasangan light trap.

Kerjasama antara perusahaan, dan petani itu tentunya diharapkan mampu memenuhi target produksi edamame. Mengingat, edamame dari Jember tidak hanya dipasarkan di pasar domestik, namun juga luar negeri, dengan syarat-syarat internasional yang terbilang ketat.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved