Akar Historis Waditra Jimbe Versi 'Kendang Sentul'

Editor: yuli
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Oleh: M. Dwi Cahyono

A. Dari "Setan Jimbe" sampai "Kendang Jimbe"

Demi mendengar sebutan "Jimbe", asosiasi orang tertuju pada Blitar, tepatnya Blitar Raya. Paling tidak ada dua lokasi yang berkenaan dengan "Jimbe".

Pertama, Desa Jimbe di Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar. Pada desa ini mengalir sebuah sungai yang bermuara ke Bhangawan Brantas, yakni Kali Jimbe. Di tepi aliran dan dekat muara Kali Jimbe terdapat peninggalan arkeologis yang oleh warga setempat dari wargai daerah lain dinamai "Punden Jimbe".

Dahulu di Punden Jimbe terdapat sebuah arca Ganesha besar yang amat artistik, dalam fungsi khusus sebagai "vigneswara (peniada bahaya gaib)", yakni untuk menetralisir bahaya berupa pusaran air (ulekan) di muara Kali Jimbe.

Arca Ganesha ini oleh karenanya konon mendapat sebutan "Ganesha Jimbe".

Beberapa puluh tahun yang lalu Ganesha Jimbe sempat hilang. Setelah berhasil diketemukan tidak ditempatkan kembali di Punden Jimbe, melainkan dialihtempatkan ke Desa Boro, sehingga semenjak itu hingga kini sebutannya menjadi "Ganesha Boro".

Punden Jimbe maupun muara Kali Jimbe dikenal sebagai tempat yang wingit (angker). Terkait itu, muncul mitos tentang setan jail yang dinamai "setan Jimbe".

Selain itu, Punden Jimbe dikenal sebagai tempat untuk "nyotrekke" keris khusus, yakni keris "omyang", yang karenanya terdapat sebutan "keris Omyang Jimbe".

Dalam bidang seni pertunjukan, Desa Jimbe pernah populer sebagai pusat latih tari "tledek". Lantaran banyak warga Jimbe yang berprofesi sebagai penari tledek atau waranggono, maka konon Desa Jimbe dikenal sebagai "Desa Tledek" di daerah Blitar.

Sebutan "tledek Jimbe" familiar di kalangan para "penayup". Uniknya, antara tahun 1960 hingga 1980-an di daerah Blitar dan sekitarnya terdapat perkataan jorok yang mengaitkan alat vital perempuan dengan Jimbe.

Begitulah, sebagai toponimi, sebutan "Jimbe" cukup dikenal khalayak. Bahkan, kakawin Nagarakretagama (1365 Masehi) pun turut menyebut "Jimbe"sebagai tempat yang langganan disinggahi oleh maharaja Hayam Wuruk manakala bertandang ke wilayah Balitar (kini "Blitar") setiap pada musim penghujan.

Kedua, sebutan "Jimbe" dikenal dalam hubungan dengan instrumen musik (waditra), yang lazim disebut "Kendang Jimbe" karena Kelurahan Sentul di dalam wilayah Kota Blitar merupakan produsen kendang jimbe, yang dikenal juga dengan sebutan "Kendang Sentul".

Hasil produksi jimbe dari Blitar dipasarkan di daerah Blitari senfiri, namun lebih banyak jusru dipasarkan di luar daerah Blitar -- tanpa orang tahu bahwa sesungguhnya daerah produsennya di Kota Blitar. Tergambar bawa Jimbe dikenal mulai dari "setan Jimbe" hingga "kendang jimbe"-nya.

B. Versi Lokal Jawa untuk Waditra Jimbe

Sesungguhnya, sebutan "Jimbe" di dalam bahasa Indonesia merupakan istilah serapan dari bahasa Mali (suatu negara di Afrika), yakni Djembe".

Kata "djembe" yang menunjuk kepada waditra (music instrument) jenis membraphone ini berasal dari peribahasa lokal Mali "anke dje, anke be", yang berarti: semua orang berkumpul (dje) dalam damai (be)".

Dari unsur kata 'dje + be" kemudian muncull pelafalan "djembe". Sesuai dengan arti peribahasa itu, pada mulanya djembe dijadikan sebagai perangkat musika untuk memicu kehadiran orang di suatu tempat dan untuk menghibur banyak orang dalam spirit "sosio-art" untuk menciptakan kondisi sosial yang penuh kedamaian.

Instrumen musik djembe yang telah hadir di kerajaan Mali paling tidak pada abad XII Masehi ini kemudian popoler di antero Afrika, bahkan mampu berdifusi hingga keluar benua Afrika, tak terkecuali ke Indonesia.

Nama asal dari waditra ini, yakni "Djembe", diserap ke dalam bahasa Indonesia (proses naturalisasi) menjadi "Jimbe". Oleh sebab bentuknya yang menyerupai membraphone Nusantara, yang dalam sebutan lokal Jawa dinamai "kendang", maka kata "Jimbe" dilekatkan setelah kata "kendang" menjadi "Kendang Jimbe".

Kendati muasal istilah "Jimbe" dari kata Mali "Djembe", namun bukan berati bahwa manusia Nusantara baru mengenal waditra yang demikian lantaran pengaruh budaya manca.

Perkataan "kendang jimbe", yang memiliki unsur sebutan "kendang", memberi kita petunjuk bahwa di dalam sejarah panjang Nusantara terdapat waditra membraphone yang serupa jimbe.

Oleh karenanya, jimbe dapat ditempatkan sebagai salah sebuah varian dari kendang, tepatnya "kendang berpinggang" dengan jumlah membran (selaput getar) satu sisi, yakni di sisi atas.

Anatomi jimbe terbagi dua, yakni (a) bagian atas yang berbentuk silindris agak cembung dengan membran di sisi atasnya serta tali-tali pertentangan membrab, (2)bagian bawah dalam bentuk silindris yang agak mengembang di bagian bawahnya , dengan ukuran lebih kecil dari bagian atas.

Dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan sebutan kebanyakkan untuki kendang adalah "padahi" atau "padaha", yakni suatu istilah Sanskrit untuk membraphone pada umumnya kala itu.

Salah satu varian bentuk kendang adalah "kendang berpinggang", yakni kendang yang resonatornya meminggang (cekung di ruas tengah atau lebih ke bawah pada kedua sisinya). Terdapat kata Sanskrit untuknya yang diserap kedalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yakni "Damaru".

Dalam ikonografi Hindu, damaru merupakan salah satu laksana (atribut) khas Dewa Bhairawa -- salah satu aspek Dewa Siwa. Damaru duibawa dengan tangan belakang (hasta fewata) sebelah kanan. Oleh karena itu damaru termasuk "waditra dewata".

Sedikit beda dengan damaru yang membrannya berada di dua sisi (bawah dan atas), pada jimbe membran hanya berada di sisi atas. Sebenarnyaa, waditra yang demikian juga terdapat dalam waditra tradisional Jawa, yang dinamai "reyog".

Waditra serupa ini namun dalam usia yang lebih tua dan dengan bentuk resonator tak berpinggang (kurus atau agak cembung) dikenal dengan sebutan "dogdog".

Istilah ini adalah onomatopae, yang dimanai demikian lantaran bunyi yang dihasilkannya adalah "dog, dog, .....". Kendang reyog dapat pula dinamai "reyog dogdog". Bentuk tertua dari genderang berpinggang adalah "Nekara" dan "Moko", yang berasal dari Masa Perundagian di akhir Zaman Prasejarah.

Hanya saja, seluruh komponennya terbuat dari bahan perunggu --termasuk pula membrannya yang berupa "timpanum" lempengan perunggu.

Kembali kepada waditra yang merupakan hasil produksi andalan Kelurahan Sentul, sesungguhnya waditra ini memiliki akar sejarah lokal, yaitu sejarah lokal Blitar.

Dikatakan demikian karena waditra membraphone jenis dogdog didapati jejak arkeologisnys pada "candi negara" Penataran (nama kunonya "Palah") yang dibangun ulang pada abad XII Masehi. Dengan jelas dogdog tergambar pada relief cerita "Ramayana" di teras I candi induk, yaitu pada salah satu di antara puluhan panil relef Ramayana yang dipahat dengan alur pembacaan "prasawya (berlawanan arah dengan putar jarum jam).

Pada panil relief itu dogdog adalah alat bunyi yang dibawa oleh seorang prajurit kerajaan Langka (Alengka) ketika melakukan ronda di wilayah dalam kadarwan (Kedaton, keraton, istana). Tergambar bahwa tentara raksasa itu berada di dalam kolong gapura, sementara di atas gapura Hanuman berdiri tanpa diketahui olehnya.

Dogdog dibawa dengan menyangkutkan tangan kirinya jepada resonator yang berbentuk silindris lurus pada pinggang kirinya. Membran diitempatkan di satu sisi (sisi atas) dan dibunyikan dengan tongkat penukul (stick) yang dibawa dengan tangan kanannya.

Menilik bentuk resonator dan cara memainkannya, ada perbedaan dengan jimbe, yaitu bentuk resonator jimbe berpinggang dan ditabuh dengan menggunakan tapak tangan.

Namun, sebenarnya terdapat varian dari jimbe yang berada dalam suatu set orkestrasi yang ditabuh dengan menggunakan tongkat pemukul dan resonatornya tak berpinggang (lurus), yaitu "kenkeny" yang berukuran kecil dan "dudumba" yang berukuran lebih besar. Dengan perkataan lain, dogdog lebih mirip dengan apa yang di Afrika dinamai 'kenkeny dan dudumba".

Selain dogdog, di kompleks Candi Papah (Penataran) terdapat waditra yang memiliki resonator berpinggang, yaitu "reyong". Waditra ini dipahatkan pada Pendapa Teras II sisi depan, yakni di salah satu relief Cerita Panji.

Hanya saja, reyong tidak bermembran, melainkan dilengkapi dengan waditra berpencu (mirip "kenong") yang fitempatkan di penghujung kanan dan kiri resonatornya. Reyong berada dalam posisi horisontal dan ditabuh dengan menggunakan tonngkat pemukul.

Hal ini berbeda dengan jimbe, yang betmembran di salah satu ujung (ujung atas) resonatornya, dibunyikan dengan tepukan tapak tangan dan posisinya vertikal. Terlepas dari segi perbedaannya, tergambar bahwa waditra Nusantara telah mengenal resonator berpinggang, seperti tergambar pada waditra reyong, damaru maupun padahi berpinggang.

Yang paling serupa dengan jimbe, baik bentuk resonator maupun cara menabuhnya, adalah waditra tradisional Jawa bernama "reyog" atau "dogdog".

C. Deklarasi "Sentul, Kampung Waditra Jimbe"

Paparan di atas (bagian B ) memberi alasan untuk menyatakan bahwa manusia Jawa telah mengenal "kendang berpinggang" yang menyerupai jimbe. Relief pada candi induk dan Pendapa Teras II Penataran memberi bukti tentang itu. Demikian pula waditra tradisional di Blitar, Tulungagung dan Kediri terdapat waditra reyog (dogdog) yang sangat menyerupai jimbe.

Pada daerah-daerah lain di Indonesia juga terdapat waditra serupa itu. Misalnya, di Papua dan Maluku terdapat *Tifa*, di Belu hingga Timorleste terdapat "Ttihar".

Terdapat pula kendang serupa di lingkungan budaya Bugis, dan masih cukup banyak lagi. Singkat cerita, kendang berpinggang kedapatan endemik waditra Nusantara. Jimbe, kenkeny dan dudumba yang masuk ke Indonesia belakangan hanya menyuguhkan varian lain, yang memperkaya variasi kendang berpinggang Nusantara.

Khusus untuk daerah Blitar, paparan di atas memberi kita gambaran bahwa waditra serupa jimbe telah kedatan pada salah satu candi yang terdapat di Blitar Raya, yakni di Candi Penataran.

Kalau sekarang di Kelurahan Sentul Kecamatan Pajen Kidul di Kota Blitar terdapat sentra perajin jimbe, hal itu "ora nganeh-anehi", atau dapat difahami, mengingat bahwa waditra seupa jimbe telah lama dikenal oleh masyarakat Blitar, bahkan semenjak Masa Hindu-Budfha.

Sebutan "Kampung Waditra Jimbe" di Kelurahan Sentul bukan hanya sesuai dengan realitasnya sebagai kampung perajin jimbe, namun sesuai pula dengan akar historis kendang berpinggang yang jejak arkeologisnya dalam sejumlah unsur didapati di Candi Penataran. Sebutan "Kampung Jimbe" bisa juga diberi nama lain "Kampung Dogdog".

Hasil produksi kendang jimbe di Sentul sebagai sudah menasional, bahkan mendunia. Semoga "Wafitra Djembe Festival I" di Sentul kali ini (26 Agustus 2018) kian mengatakan predikatnya sebagai sentra produsen waditra di Indonesia.

Tulisan ini sengaja dipersembahkan buat "Waditra Djembe Festival". Semoga ke depan Kelurahan Sentul menjadi destinasi musika, yang berpotensi untuk dikemas menjadi obyek studi, tempat latih dan destinasi wisata musika.

Sesuai dengan makna peribahasa Mali "enke dje, enke be (semua orang berkumpul demi perdamaian)", semoga pula bunyi waditra Jimbe merupakani "BAHANA PERDAMAIAN". Nuwun.

Malang-Blitar, 26 Agustus 2018
Patembayan CITRALEKHA

Berita Terkini