Berita Malang Hari Ini

Julianto Eka Terdakwa Kekerasan Seksual di Sekolah SPI Batu Tidak Ditahan, Ini Kata Pakar Hukum UB

Penulis: Sylvianita Widyawati
Editor: rahadian bagus priambodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Julianto Eka Putra saat diundang di acara Hitam Putih pada 7 Agustus 2017, silam. Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya (UB) Dr Nurini Aprilianda SH MHum mengatakan tak ditahannya Julianto Eka Putra alias  JE pada kasus kekerasan seksual di sekolah  Selamat Pagi Indonesia Kota Batu (SPI) karena aparat penegak hukum memakai alasan subyektif.

SURYAMALANG.COM|MALANG- Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya (UB) Dr Nurini Aprilianda SH MHum mengatakan tak ditahannya Julianto Eka Putra alias  JE pada kasus kekerasan seksual di sekolah  Selamat Pagi Indonesia Kota Batu (SPI) karena aparat penegak hukum memakai alasan subyektif.

Padahal Julianto didakwa dengan sejumlah pasal, yakni Pasal 81 Ayat 1 Juncto Pasal 76 d Undang-Undang Perlindungan Anak dan Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Kemudian Pasal 81 Ayat 2 UU tentang Perlindungan Anak, Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP, Pasal 82 Ayat 1 Juncto Pasal 76 e UU Perlindungan Anak, juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP, dan Pasal 294 Ayat 2 ke-2 KUHP, Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

Dikatakan Nurini, sebagian besar aparat penegak hukum menggunakan alasan objektif sehingga melakukan penahanan pada tersangka dalam berbagai kasus. 

"Pada kasus SPI kita kembalikan pada normanya. Dalam UU Perlindungan Anak yang dilanggar JE adalah pasal 81 UU Perlindungan Anak atau pasal 82 dimana sanksi pidananya yang awalnya ada di UU 23/2002 antara 3-5 tahun minimalnya. Kemudian dilakukan perubahan UU 35/2014 menjadi 5-15 tahun," kata Nurini pada wartawan saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (8/7/2022). 

Dengan melihat dari itu, sebenarnya  penahanan pada JE menggunakan alasan objektif bisa dilakukan, sebab ancaman pidana pada pasal 81-82 di UU Perlindungan Anak adalah ancaman 5-15 tahun.

"Saya kira ini sudah cukup dijadikan alasan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penahanan pada JE," kata wanita berhijab ini.

Tapi jika memakai alasan subyektif sehingga tidak ditahan, maka perlu ditanyakan lagi pada aparat penegak hukumnya kenapa  mengunakan alasan subyektif. "Sebab sebenarnya alasan obyektif bisa digunakan," jelas Kaprodi S3 Ilmu Hukum UB PSDKU Jakarta ini. Pemakaian alasan subyektif dan objektif dikatakannya secara norma hukum memang dibolehkan. 

Tapi jika melihat perbuatan pidana yang dilakukan dan apalagi dia adalah orang yang mendapat tugas memberikan pengayoman karena bergerak di pendidikan, jika mengacu ke UU Perlindungan Anak, maka hukumannya bisa diperberat. Yaitu ditambah sepertiga dari ancaman pidana pokok. 

Informasinya, sidang keputusan pada kasus ini akan diputus pada 20 Juli 2022 di PN Kota Malang. Maka ia berharap, hukumannya mengacu pada pasal 81-82 dengan pemberatan-pemberatan.

"Jangan lupa juga bahwa korban juga butuh keadilan lho ya. Jika mengalami trauma, berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban,  boleh lho korban diberi hak-haknya seperti rehab fisik, psikis," kata dia.

Kasus di SPI sudah mencuat sejak setahun lalu. Baru-baru ini korbannya berani speak up di podcast Deddy Corbuzier. Persidangan di PN Kota Malang juga masih bergulir saat ini.

Berita Terkini