SURYAMALANG.COM, MALANG - Pusat Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) merilis hasil survei opini publik Jawa Timur 2023, Rabu (18/10/2023).
Kegiatan survei dilakukan pada 25-29 September 2023 lalu pada 1000 responden di seluruh desa/kelurahan di tiap kota/kabupaten di Jawa Timur dengan sampling error kurang lebih 3,1 persen.
"Jadi sebelum pengumuman dipilihnya bacawapres Mahfud MD tadi pagi (Rabu, 18/10/2023). Malah lebih dekat saat deklarasi Anies Baswedan-Muhaimin Iskadar," jelas Rully Inayah Ramadhon, peneliti di Pusat Studi Ilmu Politik UMM di ruang senat, Rabu (18/10/2023).
Kini bacapres dari PDIP, Ganjar Pranowo sudah mendapat pasangan Mahfud MD yang saat ini menjabat sebagai Menko Polhukam yang diumumkan Rabu pukul 10.00 WIB oleh Megawati, Ketua Umum PDIP.
Sedang bacapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sudah deklarasi lebih awal. Tinggal bacapres Prabowo Subianto belum mengumumkan pasangannya. Dari hasil simulasi tiga pasangan calon pemimpin nasional 2024, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapat 42,7 persen.
Sedang Prabowo jika dipasangkan dengan Khofifah mendapat 36,3 persen dalam simulasi itu. Sedang Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mendapat 19,7 persen. Dari simulasi itu, pasangan Ganjar-Mahfud MD dipilih 40,0 persen oleh responden laki-laki. Perempuan 45,4 persen. Di survei itu, Muhaimin Iskandar paling awal melakukan deklarasi sebagai pasangan Anies Baswedan. Ini juga menjadi tren positif.
Sebab elektabilitas Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut melonjak naik di Jawa Timur.
Muhaimin naik dari 5,8 persen pada survei Juli 2023 menjadi 10,9 persen pada survei September 2023. Awalnya ia di urutan kelima, di bawah Mahfud MD (19,4 persen), Khofifah Indar Parawansa (14,5 persen), Ridwan Kamil (11,1 persen), dan Sandiaga Uno (10,9 persen).
Mahfud mengalami kenaikan elektabilitas dari 15 persen pada Juli 2023 menjadi 19,4 persen pada September 2023. ”Masih ada beberapa nama lain yang muncul dalam survei cawapres ini. Mereka antara lain Erick Thohir (10 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (6 persen), Yenny Wahid (4,5 persen), dan Gibran Rakabuming (4,2 persen),” tambah Rully.
Berdasarkan wilayah aglomerasi kultural, Mahfud MD unggul di tiga wilayah, yakni Arek (22,9 persen). Arek adalah wilayah/daerah yang memanggil arek/rek seperti Malang, Surabaya dan lainnya. Sedang di wilayaj Mataraman (16,5 persen), dan Pantura (23,1 persen).
”Terlepas dari itu, ketika dilakukan simulasi pasangan capres-cawapres, baik dengan pasangan Khofifah maupun Mahfud, Prabowo selalu unggul tipis atas Ganjar. Sangat tipis,” papar dia. Dan ketika Prabowo dipasangkan dengan Khofifah yang kini berstatus Gubernur Jawa Timur, mereka unggul dengan 49,3 persen berbanding pasangan Ganjar-Mahfud (48,6 persen).
Situasi yang tidak berbeda jauh ketika pasangannya ditukar. Dalam simulasi pasangan Prabowo dengan Mahfud, mereka unggul dengan 49,6 persen berbanding Ganjar-Khofifah yang meraih 48,7 persen. Sedang Prof Dr Asep Nurjaman, akademisi politik UMM di acara itu menyatakan, bicara Jawa Timur, politik itu cepat berubah.
"Tak hanya hitungan hari, bulan tapi detik bisa berubah. Maka dalam konteks ini bisa jadi patokan di Jatim. Sebab Jatim jadi kekuatan demografis bersama Jabar dan Jateng dari sisi demografis karena jumlah penduduknya," kata Asep. Dikatakan, aspek memahami geopolitik penting. Ada wilayah arek, tapal kuda, mataraman yang memiliki karakter berbeda.
"Di sisi lain, kita perlu melihat karakteristiknya, kulturalnya, serta kapasitas individualnya sendiri. Ke depan, yang kita lihat sekarang ini fakta dulu, informasi awal. Nanti akan berubah dari yang disampaikan. Ada poin-poin tertentu dimainkan. Seperti ketokohan, media massa. Media massa itu juga bisa berubah," kata dosen ini.
Ia melihat sosok Mahfud MD itu punya kekuatan luar bisa. Karena pada posisi punya status yang bisa diandalkan. "HMI kalau gak salah. Kedua secara etnis, Madura dan punya ikatan emosional dengan NU yang cukup kuat," katanya. Dalam konteks pilihan, juga ada beberapa ciri pemilih seperti swing voter, skip decicion dan lainnya.
Maka dalam konteks tertentu, survei tidak bisa jadi patokan. Tapi hanya saat melakukan survei. "Ini bisa jadi basis data awal. Calon pasti akan melakukan modifikasi atau melakukan usaha untuk meningkatkan elektabilitas, pungkas Asep.