Gonta-ganti Kebijakan soal LPG Picu Kelangkaan, Pakar: Programnya Tidak Salah, yang Salah Sistemnya

Penulis: sulvi sofiana
Editor: Eko Darmoko
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KELANGKAAN GAS - Josua Tarigan PhD CMA CSRA., Dekan School of Business and Management Petra Christian University (PCU) mengungkapkan, program subsidi pada gas LPG tidak salah, yang salah adalah sistemnya.

SURYAMALANG.COM, SURABAYA - Pemerintah mencabut kebijakan larangan pengecer menjual tabung gas LPG 3 Kg pada 4 Februari 2025, setelah mendapat arahan dari Presiden Prabowo Subianto.

Sebelumnya, kebijakan yang diberlakukan sejak 1 Februari 2025 ini mengharuskan pembelian LPG subsidi hanya di pangkalan resmi Pertamina untuk memastikan distribusi tepat sasaran dan sesuai harga eceran tertinggi (HET).

Namun, kebijakan ini justru menimbulkan kelangkaan, antrean panjang, dan keresahan di masyarakat.

Mennggapi hal ini, Josua Tarigan PhD CMA CSRA, Dekan School of Business and Management Petra Christian University (PCU) mengungkapkan, kebijakan tersebut bertujuan baik, namun penerapannya terlalu mendadak.

“Bukan program subsidinya yang salah, melainkan sistemnya. Sejak pertama kali diterapkan bertahun-tahun lalu, pemerintah belum menemukan cara yang benar-benar efektif untuk memastikan LPG subsidi tepat sasaran."

"Akibatnya, kebijakan ini menimbulkan kepanikan dan kekacauan di lapangan,” ujarnya kepada SURYAMALANG.COM, Jumat (7/2/2025).

Ia mencontohkan kebijakan subsidi Pertalite yang diterapkan secara bertahap melalui sistem barcode.

“Saat Pertalite mulai dibatasi, ada masa transisi yang cukup panjang. Awalnya masih ada kelonggaran, baru setelah beberapa bulan aturan diperketat."

"Sekarang, tanpa barcode, orang tidak bisa mengisi Pertalite. Itu contoh bagaimana kebijakan bisa diterapkan tanpa menimbulkan kegaduhan,” urainya.

Dari sisi distribusi, pengecer juga merasakan dampaknya.

“Omzet mereka pasti berkurang kalau LPG subsidi hanya boleh dibeli di pangkalan resmi."

"Tapi kalau sistemnya bisa memastikan harga lebih stabil dan distribusi lebih transparan, dampaknya bisa positif dalam jangka panjang,” tambahnya.

Josua merekomendasikan agar kebijakan serupa diuji coba di beberapa wilayah terlebih dahulu sebelum diterapkan secara nasional.

“Subsidi yang tepat sasaran memang penting, tetapi lebih penting adalah sistemnya harus berbasis data dan mempertimbangkan kesiapan masyarakat,” tutupnya.

Selain itu, ia menilai bahwa kebijakan tersebut mencerminkan tantangan dalam pengelolaan subsidi energi.

“Setiap kebijakan pasti ada dampaknya, baik di tingkat makro maupun mikro. Saat akses LPG subsidi dipersempit, daya beli masyarakat berpenghasilan rendah terdampak."

"Mereka harus mengalokasikan lebih banyak uang untuk energi, yang akhirnya mengurangi konsumsi kebutuhan lain,” ujarnya.

Dampak juga dirasakan oleh pelaku usaha kecil yang mengandalkan LPG 3 kilogram.

UMKM memiliki dua pilihan sulit, yaitu menaikkan harga jual atau mengurangi laba.

"Jika harga naik, daya beli masyarakat bisa turun. Jika tidak, laba mereka berkurang,” jelas Josua.

 

Berita Terkini