Oleh : Alief Wikarta, PhD*
Presiden Prabowo Subianto baru saja meresmikan fasilitas pemurnian logam mulia milik PT Freeport Indonesia di Gresik.
Precious Metal Refinery (PMR) yang memanfaatkan teknologi hydrometallurgy dirancang untuk memurnikan lumpur anoda menjadi emas murni, perak, platinum, palladium, selenium, tellurium, dan lain-lain.
Dengan kapasitas produksi emas mencapai 50 ton per tahun, PMR ini diklaim merupakan yang terbesar di dunia.
Peresmian tersebut hendaknya menjadi peluang strategis bagi hilirisasi logam mulia, yang umumnya untuk bahan baku industri, seperti kabel listrik, kawat generator, perhiasan, elektronik (chip), konduktor elektronik, ataupun sel surya.
Selain itu, juga ada potensi hilirisasi lewat riset dan pengembangan untuk menghasilkan teknologi tinggi.
Yakni menjadikan platinum dan palladium sebagai katalis untuk proses carbon capture dan green hydrogen.
Penelitian berkaitan hal tersebut sangat penting untuk mencapai misi global net zero emission pada tahun 2050.
Adanya fasilitasi pemurnian logam mulia akan mendatangkan peluang sekaligus tantangan bagi perkembangan industri hilirisasi logam mulia, terutama di propinsi Jawa Timur.
Baca juga: Produksi Pemurnian Logam Mulia di Smelter Freeport Gresik, Prabowo : Impian Puluhan Tahun Tercapai
Data BAdan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Jawa Timur berkontribusi lebih dari 15 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Apabila peluang ini dapat dikelola dengan baik, akan bermakna strategis dalam mendorong transformasi industri nasional dari konvensional menuju berbasis teknologi tinggi.
Kabupaten Gresik, tempat fasilitas PMR terinstal merupakan lokasi dari produsen semen terbesar di Indonesia.
Selain itu, juga ada produsen pupuk terlengkap di Indonesia.
Kedua perusahaan tersebut tergolong industri berat dalam menghasilkan polusi udara.
Penggunaan katalis berbasis logam mulia dalam teknologi penangkapan karbon akan membantu menurunkan emisi CO2 secara signifikan.
Tentu saja untuk mewujudkannya diperlukan riset yang mendalam, karena melibatkan teknologi baru.
Baca juga: Smelter Logam Mulia Terbesar Dunia Diresmikan di Gresik, Bupati Yani: Buka Lapangan Kerja dan UMKM
Sementara Kota Surabaya merupakan lokasi berbagai industri ringan, makanan, minuman hingga elektronik.
Kebutuhan listrik industri selama ini dipenuhi lewat pembangkit listrik berbasis batubara dan gas.
Untuk menuju net zero emission, perlu transisi energi menuju energi yang lebih bersih, salah satunya konversi hidrogen ke listrik dengan fuel cell.
Penggunaan katalis berbahan dasar logam mulia sangat penting dalam mempercepat reaksi elektrokimia di pembentukan green hydrogen.
Tingkat efisiensi dan optimasi dari penggunaan logam mulia sebagai katalis di teknologi carbon capture maupun green hydrogen masih membutuhkan riset dan inovasi material lanjutan.
Untuk itu kolaborasi triple helix antara akademisi, industri, dan pemerintah menjadi faktor krusial.
Penerapan model triple helix telah terbukti efektif dalam mengembangkan hilirisasi logam di berbagai negara.
Di kota Pohang, Korea Selatan telah dibangun industrial park untuk logam baja, yang melibatkan kolaborasi pemerintah, POSCO (industri), dan POSTECH (Perguruan Tinggi).
Industrial park tersebut menjadi pusat inovasi unggulan dalam industri logam dan baja yang komprehensif.
Mereka juga menjalin hubungan yang erat dengan produsen bahan baku, yakni Rio Tinto.
Sehingga memungkinkan terwujudnya hilirisasi logam baja yang didukung oleh AI dan robotika, serta terus berupaya memenuhi netralitas karbon.
Contoh lain ada di Swedia, dimana asosiasi produsen besi dan baja bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dan Pemerintah membentuk Triple Steelix, yang sekarang disebut Sustainable Steel Region.
Fungsinya sebagai platform inovasi regional yang berfokus menciptakan landasan bagi munculnya industri teknologi tinggi baru.
Selain itu, lewat triple steelix juga memungkinkan riset dan inovasi baru guna mendukung transformasi industri baja menjadi net zero emission.
Kedua contoh di atas bisa menjadi benchmarking langsung bagi pemangku kepentingan industri logam mulia yang ada di Gresik, Jawa Timur.
Hilirisasi logam mulia harus didukung oleh ekosistem riset dan inovasi yang kuat.
Tanpa keterlibatan riset, hilirisasi hanya akan menghasilkan komoditas tanpa nilai tambah yang maksimal.
Langkah konkret seperti mendirikan Pusat Unggulan Inovasi hilirisasi logam mulia, serta menjalin kemitraan erat dengan Perguruan Tinggi dan investor global perlu segera dilakukan.
Oleh karena itu, pemerintah daerah memegang peran krusial dalam membangun triple helix yang efektif.
Dengan inisiatif yang tepat, maka Gresik bisa berkembang menjadi pusat industri logam mulia berkelanjutan.
Yang itu berarti menopang ekonomi lokal, sekaligus mempercepat pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8% yang menjadi cita-cita Presiden Prabowo.
*Dosen dan Sekretaris Departemen Teknik Mesin, FTIRS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya