SURYAMALANG.COM, MALANG - Pemerintah Kota (Pemkot) Malang melalui Badan Pendapatan Daerah tengah mengupayakan perubahan Perda No 4 Tahun 2023 soal pajak daerah.
Dalam Perda tersebut, diatur bahwa pelaku usaha termasuk usaha kuliner dengan omzet Rp 5 juta per bulan dikenakan pajak.
Akan tetapi, aturan tersebut belum dijalankan sepenuhnya dan ada usulan perubahan yaitu dikenakan kepada pengusaha dengan nilai omzet Rp 10 juta.
Meski begitu, DPRD Kota Malang menilai perubahan itu masih memberatkan dan diusulkan bahwa nilai omzet pelalu UMKM yang dapat dikenai pajak minimal Rp 20 juta.
Pelaku UMKM kuliner, Didi yang berjualan sate taichan dan es degan durian di Sawojajar Kota Malang mengaku bahwa pengenaan pajak dengan acuannya omzet, adalah sesuatu hal yang tidak masuk akal.
"Pengenaan pajak dengan acuannya omzet, menurut saya itu salah. Apalagi sekarang ini daya beli masyarakat menurun, malah pajak dan aturan makin ketat serta semakin mengikat," ujar Didi.
Pria yang telah membuka usaha sejak tahun 2022 ini mengaku, produk kuliner yang laris dibeli konsumen adalah sate taichan isi 10 yang dijual dengan harga Rp 20 ribu.
Ia mengaku penjualannya pun fluktuatif, terkadang laku banyak dan terkadang laku sedikit.
"Untuk omzet dalam sebulan, kisaran angka Rp 6 juta. Meski omzetnya terlihat besar, tetapi ini kan diputar lagi untuk operasional usaha seperti membayar pegawai, beli bahan baku dan kebutuhan lainnya. Mangkanya menurut saya ini sangat lucu, apabila ada pajak tetapi mengincar UMKM kelas kaki lima," bebernya.
Bahkan agar usahanya itu tetap survive, ia pun harus putar otak dan sekarang memilih hanya berjualan lewat online.
"Dulu ya offline dan online, tapi sekarang kami fokus ke onlinenya. Kalau offline, terkendala sewa tempat yang semakin mahal. Sedangkan kalau online, meski potongannya besar biar bisa ikut promo dan mempengaruhi keuntungan, sehingga usaha dapat terus berjalan," bebernya.
Dalam kesempatan tersebut, Didi juga meminta seharusnya pemerintah daerah dan para pelaku UMKM aktif duduk bersama. Sehingga, ada saling pengertian mendengarkan pelaku UMKM dan bukan sebaliknya.
"Pemerintah harusnya mandiri menciptakan usaha bersama melibatkan UMKM serta bekerjasama dengan ahli ekonomi, pemasaran dan ada tim yang memudahkan pendampingan ke UMKM. Saya lihat mereka pasif, padahal seharusnya duduk bersama dan saling mengerti. Bukannya tidak mau bayar pajak, tetapi kita kondisi sedang berjuang di tengah ekonomi seperti ini," ungkapnya.
Sementara itu, pelaku UMKM kuliner lainnya, Akbar yang membuka usaha ayam geprek di Kecamatan Lowokwaru Kota Malang juga mengungkapkan hal yang sama.
"Saya rasa, itu masih memberatkan apalagi acuannya adalah omzet. Padahal, omzet ini kan diputar lagi untuk jualan. Kalau dikenakan pajak, terus modal untuk menggaji pegawai dan bahan-bahan masakan darimana," terangnya.
Ia pun berpendapat, seharusnya pemerintah daerah duduk bersama mendengarkan keluhan UMKM di tengah situasi ekonomi dan daya beli masyarakat yang menurun.
"Harusnya, pemerintah ini memberikan cara bagaimana UMKM ini bisa berkembang dan bertahan. Saya akui memang beberapa kali ada pelatihan, tetapi tidak maksimal dan hanya sekedar formalitas. Gandeng dan libatkan UMKM, dibina bukan dibinasakan," tandasnya.