Banyuwangi

Buka-Bukaan Jatah Pembagian Tiket Kapal Lintas Ketapang-Gilimanuk, Pengusaha Kapal : Tak Adil

Penulis: Aflahul Abidin
Editor: Dyan Rekohadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TARIF - Ketua Bidang Usaha san Pentarifan DPP Gapasdap Rakhmatika Ardianto saat berada di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Gapasdap meminta tarif dinaikkan.

SURYAMALANG.COM, BANYUWANGI - Tarif penyeberangan di lintas Ketapang-Gilimanuk disebut sebagai tarif yang riskan.

Para pengusaha angkutan penyeberangan menyebut pemberlakuan tarif di jalur penyeberangan antara pulau Jawa - Pulau Bali itu berbeda jika dibandingkan dengan skema di penyeberangan lainnya.

Para pengusaha angkutan penyeberangan yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) mengungkap pola pembagian nominal tarif penyeberangan Ketapang, Banyuwangi - Gilimanuk yang tidak menguntungkan.

Belum lagi adanya tambahan 'tarif' yang disebut sebagai biaya admin dan agen.

Tarif penyeberangan di lintas Ketapang-Gilimanuk disebut nilainya rendah dan pengaturan pembagian nilainya dianggap tak berpihak terhadap pengelola kapal.

Ketua Bidang Usaha san Pentarifan DPP Gapasdap Rakhmatika Ardianto menjelaskan, tarif yang berlaku di Lintas Ketapang Banyuwangi jauh lebih rendah daripada perhitungan tarif ideal yang dihitung oleh pemerintah dan pihak terkait pada 2019.

Selisih atas kekurangan tarif itu sebesar 31,8 persen.

"Padahal perhitungan tarif saat itu masih menggunakan kurs dolar sekitar Rp13.200–Rp13.400. Sementara kini kurs sudah mencapai Rp16.500," kata Rakhmatika di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, Jumat (15/8/2025).

Selain itu, pembagian akan tarif tiket juga tak menguntungkan bagi operator kapal.

Pihak kapal hanya mendapat sekitar 50 persen dari total tarif tiket.

Ia mencontohkan, tarif tiket penumpang pejalan kaki sebesar Rp 10.600 per orang.

"Perusahaan pelayaran hanya menerima Rp 5.100. Sisanya terpotong untuk pelabuhan, asuransi, dan biaya lain. Jadi nilainya sama dengan biaya parkir mobil di pinggir jalan," katanya.

Pihaknya menyebut pembagian tarif tersebut tak adil sebab hal tersebut hanya terjadi di lintas Ketapang-Gilimanuk.

Pembagian tarif tiket untuk pengelola kapal masih lebih baik di lintasan lain.

Seperti lintasan Merak-Bakauheni. Di lintasan itu, pihak kapal masih menerima sekitar 70 persen dari tarif tiket.

"Komposisi pendapatan yang diterima operator kapal idealnya 90–95 persen dari tarif untuk operasional. Sisanya untuk asuransi dan pelabuhan," ungkap dia.


Gapasdap juga mengkritisi sistem penjualan tiket operator pelabuhan yang dianggap merugikan penumpang karena adanya tarif biaya admin dan agen.

"Harga tiket yang dibeli penumpang di lapangan sering lebih mahal, bisa antara Rp 17.000 sampai Rp 19.500 untuk penumpang (jalan kaki). Selisih dari tarif resmi itu karena biaya-biaya di agen atau pihak ketiga," ujarnya.

Bagi Rakhmatika, hal tersebut menjadi ironi bagi pegusaha kapal. Sebab, penumpang harus membayar tiket lebih mahal dari tarif resmi. Namun, pengelola kapal tetap mendapat pembagian tarif yang nilainya rendah.

Gapasdap mendesak pemerintah untuk memberlakukan penyesuaian tarif sesuai keputusan yang ada. 

Ia menyebut, Menteri Perhubungan sebenarnya telah mengeluarkan keputusan tarif baru pada 18 Oktober 2024.

Tarif itu rencananya diberlakukan 1 November 2024.

Namun pergantian pemerintahan membuat rencana tersebut ditunda hingga kini.

Tidak ada kepastian kapan keputusan tarif baru akan berlaku.

Menurut Rakhmatika, rendahnya tarif tiket membuat iklim penyebrangan di penghubung Jawa dan Bali tak maksimal.

Kenaikan tarif diyakini akan membuat para pengelola kapal meningkatkan standar keselamatan dan kenyamanan bagi penumpang. (fla)

 

 

Berita Terkini