Rekam Jejak Ribka Tjiptaning Sebut Soeharto Pembunuh, Tokoh PDIP Tak Gentar Dilaporkan: Aku Hadapi

Rekam jejak Ribka Tjiptaning sebut Soeharto pembunuh jutaan rakyat tolak gelar pahlawan, petinggi PDIP tak gentar dilaporkan: aku hadapi!

|
KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA/Instagram @titieksoeharto
SOEHARTO BUKAN PAHLAWAN - Ketua DPP PDI-P Ribka Tjiptaning (KIRI) ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). Ribka Tjiptaning menentang gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto dan menyebutnya sebagai "pembunuh jutaan rakyat" berbuntut panjang. Foto Soeharto (KANAN). 

SURYAMALANG.COM, - Pernyataan keras tokoh PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning, yang menyebut Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai "pembunuh jutaan rakyat" berbuntut panjang.

Setelah memicu polemik seputar usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, pernyataan tersebut kini resmi dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) atas dugaan ujaran kebencian.

Menanggapi pelaporan tersebut, Ribka Tjiptaning menunjukkan sikap tak gentar.

Saat dikonfirmasi, Ribka dengan tegas menyatakan siap menghadapi proses hukum tersebut, sembari menegaskan akan menghadapi semua konsekuensinya. 

Baca juga: Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Terjaring OTT KPK, PDIP Jatim Tunggu Penjelasan Resmi

Berikut rekam jejak lengkap Ribka Tjiptaning selengkapnya:

Dikutip dari laman resmi DPR, Ribka lahir di Yogyakarta pada 1 Juli 1959.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah atas, Ribka menempuh pendidikan strata satu (S1) di Universitas Kristen Indonesia dengan jurusan kedokteran.

Kemudian, Ribka melanjutkan pendidikan S2 dengan jurusan Ahli Asuransi Kesehatan di Universitas Indonesia pada 2012.

Sebelum terjun ke dunia politik, Ribka pernah membuka praktek sebagai dokter di Klinik Partuha Ciledug.

Situs DPR juga menulis, pada 1992-2000, Ribka pernah menjadi dokter di perusahaan Puan Maharani.

Kemudian, Ribka menjabat sebagai anggota DPR sekaligus Ketua Komisi IX DPR pada periode 2005-2009.

Lalu, Ribka terpilih kembali menjadi anggota DPR periode 2019-2024 sebagai anggota Komisi IX.

Kini Ribka menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Sejumlah polemik pun pernah muncul terkait RIbka Tjiptaning. 

Setidaknya, dua yang menjadi besar, yaitu saat Ribka berbicara soal vaksin Covid-19 dan kontroversi hilangnya ayat tembakau.

Sebut Soeharto Pembunuh

Sebelumnya, Ribka Tjiptaning menolak keras pengusulan nama Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Ribka mempertanyakan apa kehebatan Soeharto sehingga bisa diusulkan sebagai salah satu pahlawan nasional.

“(Gelar pahlawan Soeharto) Kalau pribadi, oh saya menolak keras. Iya kan? apa sih hebatnya si Soeharto itu sebagai pahlawan,” ujarnya di Sekolah Partai PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).

 “Hanya bisa membunuh jutaan rakyat Indonesia,” kata Ribka.

Baca juga: PDIP Jatim Siap Kawal Rencana Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan, Penuhi Hak Layanan Kesehatan Warga

Ribka lalu menyinggung soal dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto dan menilai, kasus dugaan pelanggaran HAM harus diluruskan lebih dulu sampai semuanya jelas.

"Udah lah pelanggar HAM. Belum ada pelurusan sejarah, udah lah enggak ada pantasnya dijadikan pahlawan nasional,” ucap Ribka.

Siap Hadapi Laporan

Buntut dari pernyataannya itu, Ribka harus bersiap menghadapi laporan yang dilayangkan oleh Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) ke Bareskrim Polri. 

“Aku hadapi saja,” kata Ripka, Rabu (12/11/2025).

Ribka tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai pelaporan tersebut.

Koordinator ARAH, Iqbal, mengaku melaporkan Ribka karena pernyataan Ribka dinilai menyesatkan dan mengandung unsur ujaran kebencian serta penyebaran berita bohong.

Baca juga: Dipecat PDIP - Wahyudin Moridu Anggota DPRD Gorontalo Mau Rampok Uang Negara Direkam Selingkuhan

"Kami datang ke sini untuk membuat laporan polisi terkait pernyataan salah satu politisi dari PDI-P, yaitu Ribka Tjiptaning, yang menyatakan bahwa Pak Soeharto adalah pembunuh terkait polemik pengangkatan almarhum Soeharto sebagai pahlawan nasional," kata Iqbal di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, Rabu siang. 

"Ribka Tjiptaning menyatakan bahwa Soeharto itu adalah pembunuh jutaan rakyat," lanjutnya.

Menurut Iqbal, pernyataan itu tidak berdasar karena tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan Soeharto terbukti melakukan pembunuhan terhadap jutaan rakyat.

“Tentu ini juga pernyataan seperti ini, kalau dibiarkan tentu akan menyesatkan informasi publik," katanya.

Iqbal menyebut, video pernyataan Ribka yang beredar di media sosial menjadi barang bukti utama dalam laporannya.

Kata Iqbal, pernyataan itu disampaikan Ribka pada 28 Oktober 2025, tetapi dia tak menjabarkan detail di mana lokasi Ribka mengatakan hal itu.

ARAH melaporkan kasus ini ke Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Iqbal menegaskan, laporan ini bukan atas nama keluarga Cendana, melainkan murni inisiatif ARAH untuk menjaga ruang publik dari penyebaran informasi yang dianggap menyesatkan.

“Bukan, kami dari Aliansi Rakyat Anti Hoax (ARAH)," ucap Iqbal.

Heran Ribka Dilaporkan

Sementara itu, politikus PDI-P Guntur Romli mengaku heran dengan pelaporan terhadap Ribka karena pernyataan Ribka soal korban pembantaian 1965-1966 merupakan fakta sejarah yang telah tercatat dalam berbagai laporan resmi. 

“Itu fakta sejarah dan hasil Tim Pencari Fakta Komnas HAM kok malah dilaporkan ke polisi,” kata Guntur, Rabu.

Menurut Guntur, data tentang jumlah korban tragedi 1965-1966 juga pernah diungkapkan oleh Sarwo Edhi Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada masa itu, yang baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional.

“Korban pembantaian tahun ’65-’66 ada 3 juta versi Sarwo Edhi Wibowo yang waktu itu menjadi Komandan Pasukan RPKAD. Itu ada di buku G30S: Fakta atau Rekayasa yang ditulis Julius Pour,” ujarnya.

Baca juga: Di Tengah Dukungan Global untuk Palestina, Sikap PDIP Tolak Timnas Israel Kini Dianggap Visioner

Guntur bilang, laporan Tim Pencari Fakta Komnas HAM tahun 2012 juga memperkirakan jumlah korban pembantaian 1965-1966 berkisar antara 500 ribu hingga 3 juta orang.

Berdasarkan laporan tersebut, pihak yang disebut paling bertanggung jawab dalam pembantaian 1965-1966 adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga yang berada langsung di bawah komando Presiden Soeharto saat itu.

“Kopkamtib dibentuk pada 10 Oktober 1965 untuk melakukan pembasmian terhadap unsur yang dicap PKI atau komunis di masyarakat,” kata Guntur.

Ia menegaskan, penyelidikan Komnas HAM tersebut merupakan penyelidikan pro justicia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang kemudian direkomendasikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.

Oleh karena itu, PDI-P memandang pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai bentuk pemutihan terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu.

Ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut telah diakui sebagai pelanggaran HAM berat oleh pemerintah pada era Presiden Joko Widodo tahun 2023.

“Gelar pahlawan pada Soeharto kami anggap sebagai pemutihan terhadap pembantaian rakyat Indonesia tahun ’65-’66 yang jumlahnya diperkirakan 500 ribu sampai 3 juta orang versi Komnas HAM,” kata Guntur.

“Belum lagi pelanggaran HAM berat lainnya seperti Tragedi Tanjung Priok, Talangsari, Petrus, DOM di Aceh, penculikan aktivis, dan Kerusuhan Mei 1998,” imbuhnya.

(Kompas.com/Kompas.com)

Ikuti saluran SURYA MALANG di >>>>> WhatsApp 

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved