Laporan Khusus
Tidak Nonton TV, Tiara Galung Wahyuningsih Justru Senang
Pihak sekolah meminta waktu utama (prime time) itu digunakan untuk mengaji, membaca Al-quran dan dilanjutkan belajar.
Penulis: Sri Wahyunik | Editor: fatkhulalami
SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Tiara Galung Wahyuningsih (10) terlihat mengintip kaca jendela rumahnya, Rabu (4/5/2016) sekitar pukul 15.30 WIB. Ia baru pulang sekolah.
Secara bercanda ia mengintip karena mendapati kedua orangtuanya Darmadi dan Umi Qoidah,sudah berada di rumah, Perumahan The Irish Garden Kavling 40 Tunjungtirto Singosari Kabupaten Malang.
Maklum saja, bagi bocah kelas 3 SD Muhammadiyah 8 Blimbing Kota Malang itu, ia terbiasa pulang sekolah sebelum orangtuanya pulang dari kerja. Rutinitas yang ia lakukan setelah pulang sekolah, berganti pakaian, makan, kemudian bermain di dalam rumah. Meskipun tanpa pengawasa, Tiara tidak boleh menonton televisi. Itu merupakan peraturan di rumah tersebut, meskipun sebenarnya ia bisa saja menyalakan televisi.
Kedua orang tuanya menanamkan rasa saling kepercayaan kepada sang anak.
“Sebab kalaupun dia melihat TV usai sekolah, kami bisa mengetahuinya,” ujar sang ibu, Umi Qoidah.
Sang anak menyetujui pengaturan tersebut. Tiara memilih bermain yang mengasah rasa empati juga kreatifitas bagi anak.
Pengaturan tidak boleh melihat televisi berlanjut lagi mulai dari memasuki waktu salat Mahrib, sampai waktunya belajar. Tiara bersama ibunya, akan mengaji bareng. Mereka membaca Al-quran usai salat Mahrib, dan dilanjutkan belajar.
Pola tersebut selain karena terapan dari orangtua, juga ada dorongan program dari sekolah, SD Muhammadiyah 8 Blimbing Kota Malang. Sekolah itu memiliki gerakan mematikan televisi mulai dari Mahrib, dan seterusnya.
Pihak sekolah meminta waktu utama (prime time) itu digunakan untuk mengaji, membaca Al-quran dan dilanjutkan belajar. Ada juga gerakan bangun 30 menit sebelum waktu subuh.
Ida, panggilan akrab Umi Qoidah, menerapkan gerakan itu. Bahkan gerakan itu dilakukan berbulan-bulan sebelum ada gerakan dari sekolah, ataupun gerakan moral dari Wali Kota Malang M Anton.
Sebab, Ida pernah merasakan anaknya menjadi ‘korban’ televisi. Tiara sempat kecanduan sebuah kartun asal India yang disetel di sebuah stasiun televisi di Indonesia. Bocah yang suka menari itu, bisa menonton TV karena ada saudaranya di rumah, yang menonton TV ketika ia pulang sekolah, dan tidak dimatikan. Beberapa bulan melihat kartun itu, membuat bocah itu tidak fokus dan tidak peduli.
“Ketika dipanggil, harus sampai tiga kali memanggil karena asyik menonton TV,” ujar sang ayah, Darmadi.
Ketika melihat TV di sore hari, pada malam harinya, ia juga mudah mengantuk. Karenanya, Ida menerapkan pengaturan itu. Setelah beberapa bulan pola pengaturan ini diterapkan, ada perbedaan terhadapnya.
“Dia jadi lebih peduli, konsentrasinya bagus, dan disiplin,” lanjut Darmadi.
Orangtua juga lebih mudah berkomunikasi dengan sang anak. Anak juga lebih terbuka menceritakan aktifitas selama di sekolah, dan selama tidak ada orangtua di rumahnya.