Jendela Dunia
Keras dan Kejam! Lihatlah, Betapa Sengsaranya Nasib Penghuni di Lapas Ini
"Mereka tak bisa berpikir. Tempat ini begitu penuh. Hanya dengan sedikit gerakan maka kami akan menyenggol sesuatu atau seseorang," kata Mario.
"Kondisi semacam ini sudah berlangsung lama dan pemerintah nampaknya tidak mengambil langkah untuk mengatasi kepadatan dan minimnya fasilitas di lapas," lanjut Simbulan.
Masalah ini, kata Simbulan, berakar dari sistem hukum yang rusak. Kepadatan penjara ini berawal dari macet dan lambannya proses persidangan.
Lambannya proses hukum di Filipina tak hanya disebabkan minimya ruang sidang juga karena terbatasnya jumlah hakim dan jaksa.
Alhasil, dalam setahun hanya digelar dua atau tiga persidangan sehingga banyak tahanan harus menunggu bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun untuk disidangkan.
"Membebaskan para tahanan ini dengan uang jaminan juga bukan opsi yang baik karena sebagian besar tahanan di Filipina adalah orang miskin," kaa Phelim Kine, wakil direktur Human Right Watch (HRW) Asia.
"Dan misalnya mereka bisa membayar uang jaminan, sebagian besar dari mereka adalah tahanan kasus narkotika yang tak bisa dibebaskan dengan uang jaminan," tambah Kine.
Sebanyak 90 persen penghuni lapas di Filipina sedang menunggu atau tengah menjalani sidang, demikian data dari Biro Manajemen Penjara dan Pemasyarakatan Filipina.
"Angka ini Filipina adalah negara Asia Tenggara tertinggi dalam hal jumlah tahanan yang menanti persidangan," tambah Kine.
Sebagai contoh, Mario Dimaculangan yang sudah ditahan di Lapas Quezon City sejak 2001, sejak didakwa membunuh kerabat seorang politisi. Dia hanya menjalani satu sidang setiap tahun.
Masalah bagi para narapidana ini tak berhenti di dalam lapas, saat mereka dibebaskan bahkan dengan status tak bersalah, mereka akan menghadapi kesulitan lain.
Para mantan narapidana ini akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan setelah bebas karena stigma buruk yang mereka sandang sebagai bekas "penjahat".
Sementara, untuk melamar pekerjaan mereka harus mendapatkan surat rekomendasi dari kepolisian dan biro investigasi nasional.
"Hal ini menjadi kendala utama bagi mereka untuk mendapatka pekerjaan layak dengan gaji memadai," ujar Simbulan.
Sebagian besar akhirnya memilih bekerja di jalur informal dan tak sedikit yang kembali ke dunia hitam.