Nasional
Asal Usul Jarang Goyang, Mulai Mantra Santet, Tarian, sampai Lagu Dangdut Nella Kharisma
Menurutnya, Jaran Goyang adalah mantra yang menjadi bagian dari sastra lisan yang dimiliki masyarakat Suku Osing.
Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: Zainuddin
SURYAMALANG.COM – “Apa salah dan dosaku, sayang.
Cinta suciku kau buang-buang.
Lihat jurus yang kan kuberikan.
Jaran goyang, jaran goyang.”
Lirik lagu Jaran Goyang yang dibawakan oleh penyanyi dangdut Nella Karisma sangat populer di kalangan masyarakat.
Lagu itu bukan hanya diputar di radio dan televisi.
Namun juga menjadi lagu yang wajib dinyanyikan di acara hajatan.
Ternyata tidak banyak yang tahu jika Jaran Goyang adalah nama mantra pengasihan dari Banyuwangi, Jawa Timur.
Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan (86) sempat mengungkap soal itu kepada Kompas.com, Senin (27/11/2017).
( Baca juga : Fakta Lagu Jaran Goyang yang Dipopulerkan Nella Kharisma, Gak Nyangka! Ternyata Ada Sosok Ini )
Menurutnya, Jaran Goyang adalah mantra yang menjadi bagian dari sastra lisan yang dimiliki masyarakat Suku Osing.
Laki-laki kelahiran Banyuwangi, 17 Oktober 1931 itu menyebutkan masyarakat Using mempercayai adanya empat ilmu yaitu, ilmu merah, ilmu kuning, ilmu hitam, da ilmu putih.
Pendapat ini berbeda dengan masyarakat Jawa lainnya yang hanya mempercayai ilmu hitam untuk menyakiti dan ilmu putih untuk menyembuhkan.
“Ilmu merah ini berkaitan dengan perasaan cinta, ilmu kuning tentang jabatan, ilmu hitam untuk menyakiti, dan ilmu putih untuk menyembuhkan.”
“Nah Jaran Goyang ini masuk dalam kategori ilmu merah atau dikenal dengan santet,” jelas Hasnan.
Hasnan mengatakan santet bukan ilmu yang menyakiti atau membunuh.
( Baca juga : Menguak Misteri Jaran Goyang dan Semar Mesem, Mantra Kuno yang Tak Boleh Dilakoni Sembarangan )
Santet merupakan akronim dari ‘mesisan gantet’ yang berarti sekalian bersatu atau bisa juga ‘mesisan bantet’ atau sekalian rusak.
Hal ini merujuk dari fungsi sosial mantra santet Jaran Goyang untuk menyatukan dua orang agar bisa menikah.
Atau bisa juga untuk memisahkan kedua orang yang mencintai agar bisa menikah dengan pasangan pilihan keluarganya.
“Saat Kerajaan Blambangan diambang kehancuran, rakyatnya terpisah.”
“Agar keturunan mereka tidak tercampur, mereka menikah dengan dasar kekerabatan.”
“Biasanya kan ada yang saling suka, tetapi ternyata tidak disetujui orang tua.”
“Nah di sini fungsi mantra Jaran Goyang untuk menyatukan mereka.”
“Niatnya baik. Bukan untuk hal-hal yang nggak jelas. Ini adalah ilmu pengasihan,” ungkap penulis buku novel berjudul Kerudung Santet Gandrung tersebut.
Namun, di antara banyaknya mantra pengasihan, Jaran Goyang yang paling ampuh.
“Nggak perlu waktu lama. Kalau sudah dirapalkan, bisa langsung jatuh cinta,” katanya sambil tersenyum.
Dia menjelaskan nama Jaran Goyang diambil dari perilaku kuda yang sulit dijinakkan.
Namun jika sudah jinak, kuda sangat mudah dikendalikan.
“Sama dengan perasaan cinta.”
“Awalnya susah dikendalikan. Tetapi kalau sudah jatuh cinta, bisa-bisa semua baju miliknya dibawa pulang ke rumah pasangannya seperti orang gila.”
“Memang korban terbanyak adalah perempuan.”
“Namun, tidak menutup kemungkinan laki-laki juga bisa terkena santet Jaran Goyang,” kata Hasnan.
Dia menambahkan masyarakat Banyuwangi khususnya Using sangat terbuka dan tidak menutup diri.
Budaya yang masuk akan diserap dan dikawinkan dengan budaya asli sehingga melahirkan budaya baru.
Selain menjadi tarian, Jaran Goyang juga menginspirasi lagu dalam bahasa Osing yang berjudul Jaran Goyang.
Lagu ini sempat populer pada tahun 2000-an.
Awalnya lagu ini dinyanyikan penyanyi Banyuwangi, Adistya Mayasari.
“Saat itu lagu Jaran Goyang juga populer dinyanyikan di mana-mana sampai sekarang, tapi menggunakan bahasa daerah Using,” kata Hasnan.
Lagu Jaran Goyang dari pedangdut Nella Kharisma di Youtube kini telah menembus angka di atas 65 juta.
Terinspirasi dari Santet Jaran Goyang, maka terciptalah tari Jaran Goyang.
Seniman tari Banyuwangi, Slamet Menur (75) menjelaskan Jaran Goyang pertama kali ditarikan oleh penari bernama Darji dan Parmi dari Lembaga Kesenian Nasional (LKN) pada 1966.
Tarian itu berbeda dengan tari Jaran Goyang saat ini yang ditarikan oleh dua orang yaitu laki-laki dan perempuan.
Pada masa itu, Jaran Goyang ditarikan banyak orang, walaupun ada dua penari utama.
“Tari Jaran Goyang adalah tari pergaulan yang menceritakan seorang pria yang mencintai seorang gadis. Namun ditolak.”
“Akhirnya sang pria merapalkan mantra jaran Goyang lalu melempar bunga kepada sang gadis hingga dia jatuh cinta dan tergila-gila pada sang pria,” cerita Slamet Menur.
Menurutnya, tari tersebut muncul dari fenomena mantra Jaran Goyang yang tumbuh subur di kalangan masyarakat Suku Osing saat itu.
Tarian tersebut sempat dipentaskan di luar Kota Banyuwangi beberapa kali oleh LKN.
Kemudian gerakan tari disempurnakan oleh pencipta tari Banyuwangi, Sumitro Hadi, dan dikembangkan oleh pencipta tari, Subari Sofyan.
“Saya sudah menjadi pelatih tari pada 1966, termasuk yang melatih Darji dan Parmi.”
“Sayangnya saya sudah tidak pernah bertemu lagi dengan mereka.”
“Kabar terakhir saya dengar mereka menikah.”
“Itu pasangan yang pertama kali menarikan tari Jaran Goyang,” kata Slamet Menur.
Hingga saat ini, mantra Jaran Goyang yang menjadi bagian dari sastra lisan masih memiliki fungsi sosial di lingkungan masyarakat Banyuwangi, khususnya Suku Osing.
Termasuk juga tari Jaran Goyang yang masih sering ditampilkan di pementasan kesenian di Kabupaten Banyuwangi.
Berita ini sudah dimuat di Tribunjogja.com dengan judul Asal Usul Jarang Goyang, Mantra, Tari hingga Lagu Dangdut