Malang Raya
RSSA Kota Malang Lakukan Audit Internal Sikapi Kasus Transplantasi Ginjal
Wanita asal Kota Batu ini baru mendapatkan Rp 74 juta dari kesanggupan melunasi hutangnya sebesar Rp 350 juta.
Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: eko darmoko
SURYAMALANG.COM, KLOJEN - RS Saiful Anwar (RSSA) Kota Malang melakukan audit internal menyikapi pemberitaan tentang kasus pendonor-penerima transplantasi ginjal. Pendonor Ita Diana (41) merasakan kurang mendapatkan uang dari Erwin Santoso, penerima.
Wanita asal Kota Batu ini baru mendapatkan Rp 74 juta dari kesanggupan melunasi hutangnya sebesar Rp 350 juta.
"Hasil rapat kemarin, Kamis (22/12/2017) memutuskan ada audit internal pada setelah mencuat beritanya secara viral," jelas Hanief Noelsjadu, Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan kepada SURYAMALANG.COM usia konferensi pers, Jumat (23/12/2017).
Karena itulah, dua dokter yang disebut-sebut di pemberitaan juga dihadirkan di acara itu. Yaitu dr Atma Gunawan SpPD, Ketua Tim Transplantasi Ginjal RSSA dan dr Rifai SpPD. Juga ada di konpres itu dr Istan Irmansyah, Ketua Komite Medik RSSA.
"Di pemberitaan ditulis seperti itu. Tadi dari pernyataan mereka berdua begitu," ujar Hanief.
Jika memang ada pelanggaran etik, maka ada komite medik yang juga memiliki panduan jika ada pelanggaran etik. Khusus untuk dokter, ada sub komite etik yang melakukan kajian tentang apa yang disampaikan mereka.
Menurut Hanief, transplantasi ginjal pada Ita Diana ke Erwin adalah ke 16 yang dilakukan tim transplantasi ginjal. Total tim sudah melakukan sebanyak 17 kali. Pendonor dan penerimanya semuanya sehat.
Menurut dia, adanya transaksional antara pendonor dengan penerima karena pihaknya tidak bisa melakukan pengawasan secara terus menerus. Sebab jika diketahui ada transaksi sebelum operasi maka bisa dibatalkan.
Sebab organ manusia tidak bisa diperdagangkan atau ada transaksional. Dalam acara konpres itu, dr Istan menyatakan jika membaca keseluruhan berita yang beredar, ia menangkap ada masalah komunikasi.
"Namun saya belum bisa menjelaskan akar masalahnya. Saat ini pun sedang berlangsung audit internal. Dan nanti tidak melibatkan orang luar," kata Istan. Sedang dr Atma menyatakan apa yang terjadi saat ini di luar kesepakatan.
"Kejadiannya sudah lama. 10 bulan lalu. Saya juga baru tahu beberapa minggu ini," ujar Atma.
Ia melihat antara pendonor dan penerima sama-sama sehat. Yang diketahuinya adalah tidak adanya kesepakatan antara pendonor dan penerima. Dan ia menyatakan tidak bertanggungjawab dengan itu.
Menurut Istan, kegiatan transplantasi ginjal merupakan kegiatan kelembagaan. Bukan personal. Di tim transplantasi ginjal itu ada 20 orang dokter berdasarkan SK Direktur RSSA. Karena itu, seluruh prosedur harus diikuti sesuai SOP.
"Saat transplantasi ginjal, dari pihak keluarga Bu Ita yang tanda tangan adalah adiknya. Sedang suaminya diinformasikan Bu Ita sedang bekerja di Kalimantan," papar dr Atma.
Ia tidak bersedia menyebutkan namanya karena sudah masuk materi.
"Kami tidak pernah mencari-cari donor. Sifatnya pasif," kata Atma.
Kalaupun ada donor, maka harus melewati banyak proses dan tidak ada akad jual beli atau sukarela. Sehingga yang terjadi antara Ita-Irwan adalah di luar perjanjian yang disepakati.
Dr Rifai SpPD yang hadir di acara itu menyatakan baik dirinya, dr Atma dan anggota tim lainnya tak mengenal Ita Diana sebelumnya.
"Bu Ita datang sendiri dan memperkenalkan diri menjadi donor transplantasi ginjal. Ia menyatakan secara ikhlas untuk kepentingan kemanusiaan. Pihak RS kemudian mencatat nama, nomer telepon dan golongan darah pendonor," jelas Rifai.
"Bu Ita juga aktif datang ke tempat kami. Termasuk melakukan WA ke dr Atma. Bukan kita yang aktif, tapi Bu Ita," paparnya. Tim melakukan berbagai proses untuk memenuhi persyaratan. Termasuk kecocokan sel.
Tentang adanya celah meski ada SOP, dr Atma menerangkan tak bisa mengawasi terus pendonor dan penerima.
"Adanya jual beli di luar RS sulit mengawasi," tambahnya.