Media Sosial

Buka Fakta Ngeri, Akun Ini Beber Kisah Dita dan Ajaran Radikal di Sekolah-Sekolah dan Kampus Top

Ekstrimisme ini telah ditabur 30 tahun terakhir di pikiran anak2 muda kita, di sekolah terbaik dan dikampus top di Indonesia.

Editor: Dyan Rekohadi
istimewa
Kobaran api dari bom bunuh diri di Surabaya, Minggu (13/5/2018). 

Dan akhirnya kekhawatiran saya sejak 25 tahun lalu benar2 terjadi saat ini.

Saat saya SMA dulu, saya suka belajar dari satu pengajian ke pengajian, mencoba menyelami pemikiran dan suasana batin dari satu kelompok aktivis islam ke kelompok aktivis islam yg lain. Beberapa menentramkan saya, seperti pengajian “Cinta dan Tauhid” Alhikam, beberapa menggerakkan rasa kepedulian sosial seperti pengajian Padhang Mbulan Cak Nun. Yg lain menambah wawasan saya tentang warna warni pola pemahaman Islam dan pergerakannya.

Diantaranya ada juga pengajian yg isinya menyemai benih2 ekstrimisme radikalisme. Acara rihlah (rekreasinya) saja ada simulasi game perang2an. Acara renungan malamnya diisi indoktrinasi islam garis keras.

Pernah di satu pengajian saat saya kuliah di UNAIR, saya harus ditutup matanya untuk menuju lokasi. Sesampai disana ternyata peserta pengajian di-brainwash tentang pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia. Dan unt menegakkan ini kita perlu dana besar. Dan untuk itu kalau perlu kita ambil uang (mencuri) dari orang tua kita unt disetor ke mereka.

Bahkan ketua Rohis saya di buku Agendanya menyebut profesi dirinya bukan pelajar SMA, tapi Mujahid. Karena memang saat itu majalah Sabili sangat laris di sekolah kami. Isinya banyak menampilkan secara Vulgar pembantaian etnis muslim Bosnia oleh Serbia. Dan ini dijadikan pembakar semangat anak2 muda jaman saya waktu itu untuk menjadi “mujahid2 pembela islam”, beberapa akhirnya berangkat beneran ke medan perang.

Dari pengalaman menjelajah berbagai versi pemikiran dan aktivis islam dari yg paling radikal sampai liberal itu, dari sunni, sufi, wahabi, syiah, NII, dll itu, saya menyadari walaupun Islam ini mestinya satu, tapi ada banyak versi cara orang memahaminya, sehingga melahirkan banyak versi ekspresi keislaman dan pola tindakan.

Dan dari semua versi tadi, yg paling saya khawatirkan adalah versi kakak kelas saya mendiang Dita Supriyanto yg jadi ketua Anshorut Daulah cabang Surabaya ini. Saya sedih sekali akhirnya ini benar2 terjadi, tapi saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika akhirnya dia meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak “jihad” dia, karena benih2 ekstrimisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu.

Dia mengingatkan saya pada kakak kelas lain, ketua rohis SMA 5 Surabaya waktu itu, yg menolak ikut upacara bendera karena menganggap hormat bendera adalah syirik, ikut bernyanyi lagu kebangsaan adalah bid’ah dan pemerintah Indonesia ini adalah thoghut.

Waktu itu sepertinya pihak sekolah tidak menganggap terlalu serius. Karena memang belum ada bom2 teroris seperti sekarang. semua sekedar “gerakan pemikiran”. Memang dia dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) unt diajak diskusi, tapi kalau sebuah ideologi sudah tertancap kuat, seribu nasehat ndak akan masuk ke hati. Dan Akhirnya pihak sekolah menyerah, toh dia tidak bertindak anarkis, bahkan terkenal cerdas, lemah lembut dan baik hati.

Akhirnya Ketua rohis saya ini tiap upacara bendera i’tikaf di mushola sekolah. Btw kadang saya kalau lagi males upacara, ikut menemani dia di mushola dan ikut mendegarkan siraman rohaninya. Dan yg seperti ketua rohis saya ini tidak hanya di SMA 5, tapi yg saya tahu ada di hampir semua SMA dan kampus di surabaya atau bahkan di seluruh Indonesia.

Yg ingin saya katakan, Terorisme dan budaya kekerasan yg kita alami saat ini adalah panen raya dari benih2 ekstrimisme-radikalisme yg telah ditanam sejak 30-an tahun yg lalu di sekolah2 dan kampus2. Saya tidak tahu kondisi sekolah dan kampus saat ini, tapi itulah yg saya rasakan jaman saya SMA dan kuliah dulu.

Mohon jangan salah paham, main stream-nya pergerakan islam di sekolah dan kampus ini tidak se-ekstrim kakak kelas saya tersebut. Tapi ada cukup banyak yg sifatnya sembunyi2 dimana saya waktu itu ikut merasakan ngaji bersama mereka.

Serangkaian bom di tanah kelahiran saya dng tempat2 yg sangat akrab di telinga dengan segala kenangan masa kecil, plus pelaku utama yg terasa begitu dekat dengan memori masa2 SMA-Kuliah dulu ini membuat saya tersentak bahwa Ekstrimisme, Radikalisme, bahkan Terorisme ini sudah menjadi “Clear and Present Danger”. Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yg terjadi nun jauh di negeri seberang. Ini sudah terjadi disini dan saat ini disekitar kita.

Maka kita harus menetralisir kegilaan ini sampai ke akar2nya. Tidak ada gunanya kita melakukan penyangkalan (denial) bahwa ini cuman rekayasa, pelakunya ndak paham islam, ini bukan bagian dari ajaran islam, ini pasti cuman adu domba, dll.

Nyatanya pelakunya masih sholat subuh berjamaah di mushola, lalu satu keluarga berpelukan sebelum mereka menyebar ke 3 gereja unt meledakkan diri.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Solo
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved