Surabaya

Derita Wayan Leniasih dan 2 Anaknya, 16 Tahun Setelah Bom Bali

Saat kami cari, ternyata betul. Kepalanya sudah tak ada, tinggal tubuhnya dari leher sampai kaki yang lengkap namun dalam kondisi terpanggang.

Penulis: Pipit Maulidiya | Editor: yuli
pipit maulidiya
Wayan Leniasih (40), istri korban bom Bali, saat di Surabaya. 

SURYAMALANG.COM, SURABAYA - Duka mendalam Wayan Leniasih (40) asal Bali belum juga sembuh, atas tragedi bom Bali yang sudah berlalu 16 tahun lamanya.

Tak mudah bagi perempuan dua anak ini melupakan kejadian memilukan yang merenggut nyawa sang suami, Kadek Sukerna di usia tiga tahun pernikahan mereka.

Meski wajah perempuan berambut se bahu itu tersenyum, namun suara sedihnya tak bisa hilang. Leni mengaku suaranya berubah menjadi bergetar mirip orang sedang menangis, sejak suaminya hangus karena ledakan bom.

"Sejak saat itu suara berubah, saya sudah pergi ke dokter THT namun semuanya normal. Kata psikolog gangguan suara ini bukan dari kesehatan pita suara saya, melainkan karena kondisi psikis. Saat bicara saya tidak merasakan sakit pada pita suara, hanya saja saat cepek berat kadang bagian perut saya sakit," katanya kepada SURYAMALANG.COM, Rabu (11/7/2018) saat ditemui di Hotel Santika Pandegiling, Surabaya.

Saat itu, Lina jadi narasumber acara Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA).

Perempuan tegar itu pun menceritakan detail bagaimana kejadian itu menimpa keluarga kecilnya yang hidup kekurangan, namun damai di sebuah kampung di Bali.

"Kami tinggal di kos Jalan Gunungsari, Kute, Denpasar. Hidup kami kekurangan tapi ada saja rizki, dan keluarga kecil kami tetap bersyukur. Kejadian itu tahun 2002, suami saya bekerja sebagai bartender senior di Sari Club," kata Lina mulai bercerita dengan suaranya yang pilu.

Saat itu sang suami bekerja seperti biasa pukul 14.00 WITA dan pulang pukul 19.00 WITA. Sesampainya di rumah sang suami Kadek Sukerna mengeluh karena harus kembali lagi untuk sift malam. Dia pun ingin izin libur saja, namun masih bimbang.

Sukerna bimbang karena saat itu kebanyakan bartender senior sudah mengundurkan diri dari pekerjaan. Sementara tamu di malam Sabtu itu sangat membeludak.

"Dia takut kalau izin dipecat, karena suami saya bartender senior di Sari Club sementara yang lain masih baru," kata Lina menceritakan suaminya sudah bekerja di Sari Club selama lima tahun terakhir.

Pukul 21.00 WITA, Sukerna meminta air hangat, tak biasanya dia juga menciumi anak-anak Ni Luh Putu Richa Noviani dan I made Wiratmaja yang saat itu berusia tiga tahun dan dua bulan. Tak lupa juga mencium istrinya, Lina.

Lina memang merasa Sukerna tidak seperti biasanya, namun dia diam saja dan tersenyum. Sebelum pergi bekerja, Sukerna berpesan kepada Lina untuk berhati-hati jangan sampai ada orang lain di antara mereka, serta perintah untuk menjaga anak-anak.

"Pukul 11.15 WITA saya tidur lelap, tiba-tiba ponsel berdering. Itu posel suami saya yang sengaja dia tinggal di rumah. Terdengar suara saudara kami bicara 'cepat hubungi suami, di Sari Club ada bom' bergitu katanya, saya panik," kata Lina sambil berusaha menginagt kembali masalalu yang sedih itu.

Lina mencoba menghubungi Sari Club, nada dering telepon aktif tapi tak ada yang mengangkat. Dia pun berusaha menelepon teman sang suami, terdengar juga nada dering namun lagi tak ada yang mengangkat telepon.

Lina pun berinisiatif membawa bayinya dua bulan untuk ke lokasi ledakan, mencari sang suami. Namun niatnya itu urung karena pemilik kos menghawatirkannya.

Sampai pukul 00.00 WITA tak ada kabar. Lina meminta bantuan teman-temannya untuk mencari suami di rumah sakit sambil membawa foto, namun tetap tak ketemu.

Tanggal 13 Oktober, satu hari pasca ledakan Lina pun disarankan tetangga dan keluarga mendatangi orang dengan kemampuan spiritual. Di sana dia mendapatkan jawaban, suaminya berada di dalam kantong kresek besar bersama korban Sari Club lainnya tanpa kepala dan tubuhnya hangus terbakar.

"Saat kami cari, ternyata betul. Kepalanya sudah tak ada, tinggal tubuhnya dari leher sampai kaki yang lengkap namun dalam kondisi terpanggang. Kami sempat kesulitan mengidentifikasi jenazah karena sebagian tubuh terbakar, tapi kami beruntung menemukan identitas korban di celana belakang, disana saya yakin dia suami saya meski saat itu KTPnya sudah berbentuk serpihan," terang Lina.

Kenyataan pahit itu membuat Lina syok, dia pun putus asa dan sedih. Lina mengaku bahkan tak mau memberikan asi kepada bayinya yang baru berusia 2 bulan. Jangankan menyusui menggendong pun Lina tak kuat.

Dia hanya menitihkan air mata dan belum bisa percaya.

Dua Anak Terpukul

Lina mengaku bukan dia saja satu-satunya yang masih mengalami trauma atas kejadian itu. Dua anaknya yang kini sudah tumbuh dewasa pun mengalami trauma yang sama.

Uring-uringan, merasa ingin diberikan perhatian lebih, hingga merindukan sosok ayah.

"Saya menyadari jika saya tidak bangkit dan berjuang melanjutkan hidup, bagaimana nasib anak-anak saya nanti," kata Lina berpikir saat itu, setelah sempat trauma berat hingga tak mau bersolek hingga tahun 2005.

Sampai saat ini pun Lina sering membawa anak-anaknya mengunjungi psikolog untuk konsultasi. Ini pun membuktikan bagaimana orang-orang tidak berdosa pun menerima akibat dari bom tak bertanggung jawab itu.

Lina bangkit, dan menjadi seorang pengajar di sekolah taman anak-anak (TK) hingga saat ini. Dari sana dia menghidupi dua anaknya yang terus tumbuh dewasa.

Pemerintah Kurang Peduli

Lina mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah Bali maupun Indonesia. Jika ada pun itu tak berlaku lama.

"Ada itu LPSK dari pemerintah cuma berjalan dua kali perjanjian saja setelah itu tak ada lagi kabarnya. Sudah 16 tahun saya pun belum merasakan bantuan pemerintah. Bukan hanya saya, ada puluhan teman-teman lain juga yang punya nasib sama sementara kami sendiri para perempuan belum bisa bekerja," katanya mengeluhkan perhatian pemerintah Bali dan Indonesia yang kurang tanggap.

Lina mengaku dia hanya mendapatkan bantuan yang dihimpun dari sukarela para turis asing. Misalnya Yayasan Bali Hati, dia mendapatkan Rp 600 per bulan selama tiga sampai lima bulan saja. Dan bantuan dari YKIP untuk biaya sekolah anak-anak gratis TK dan SD.

"Beberapa anggota DPR memang datang dan memberikan uang sekali, yang banyak dokumentasinya. Saya sudah adukan ke Pemprov Bali, saya juga datang ke bupati yang waktu itu janji di atas kuburan suami saya akan memberikan bantuan, tapi ternyata tidak ada kelanjutan. Hanya ditulis-tulis saja nama, alamat, dan nomor telepon," kata Leni kecewa.

Lina berharap pemerintah mau memperhatikan nasib malang korban Bom Bali. Hingga saat ini Lina bingung mengurus Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat untuk dia dan dua anaknya. Alasannya, Lina tak bisa mendapatkan dua kartu sakti itu karena tidak terdaftar sebagai warga miskin.

"Saya memang punya rumah, tapi itu kan rumah warisan keluarga. Apa saya harus jual rumah dulu dan jatuh miskin supaya dapat kartu sehat dan kartu pintar? Hasil kerja sebagai guru TK perbulan Rp 300 tentu tidak cukup, apalagi anak saya nomor satu sangat ingin melanjutkan kuliah. Untuk sementara ini memang saya kehilangan kepercayaan dengan pemerintah," katanya, sedih. 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved