Jember
Kriteria Santri Menurut Ketua Nahdlatul Ulama Jember, KH Abdullah Syamsul Arifin
"Tidak lama ngaku jadi santri, lalu tiba-tiba naik jadi kiai. Seakan ada penggerusan makna santri karena penamanaan...
Penulis: Sri Wahyunik | Editor: yuli
SURYAMALANG.COM, JEMBER - Santri harus ikut mengawal pembangunan Indonesia, tidak sekadar menjadi penonton dan penumpang. Santri yang saat ini turut menjadi penentu kebijakan pembangunan, membuat santri tidak lagi dipandang sebelah mata.
"Waktu lalu menjadi santri minder, seiring waktu saat ini banyak santri menjadi penentu kebijakan, ada di berbagai lini, dan menjadi kaum terpelajar, santri bukan lagi kelompok second class. Bahkan saat ini identitas santri muncul di berbagai lini kehidupan, ikut membangun bangsa dan mengawal arah kebijakan," ujar Ketua PC Nahdlatul Ulama (NU) Jember, KH Abdullah Syamsul Arifin usai apel peringatan Hari Santri Nasional (HSN) di Jember, Senin (22/10/2018).
Karena itu, kata Gus Aab - panggilan akrab kiai itu, banyak orang tiba-tiba mengaku santri. Padahal seseorang disebut santri, menurutnya, harus memiliki 'DNA' santri atau minimal pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
"Tidak lama ngaku jadi santri, lalu tiba-tiba naik jadi kiai. Seakan ada penggerusan makna santri karena penamanaan yang keluar dari bahasa khasanah pesantren," tegasnya.
Gus Aab menegaskan, santri di Indonesia memiliki ciri dan sejarahnya sendiri. Secara moral, keberadaan Hari Santri Nasional sebagai bentuk apresiasi terhadap perjuangan santri menjaga dan mempertahankan NKRI.
Ia menegaskan para pejuang dan pemimpin Indonesia saat merebut kemerdekaan dan memperjuangkannya, adalah para santri. Namun mereka tidak membuka identitas santrinya itu.
"Ruh santri itu yang terus melekat. Itulah yang harus terus dijaga, ruh santri itu harus melekat sampai kematian menjemput. Saat ini ada santri sekaligus pelajar, mahasiswa, pejabat, pengusaha tetapi bagaimana ruh santri tidak terlepas, harus tetap terjaga," tegas Gus Aab.
Oleh karena itu, saat ini Pondok Pesantren juga mengikuti perkembangan jaman. Salah satunya untuk menarik minat generasi milenial mau mengenyam pendidikan di pondok sebagai santri.
Gus Aab kemudian menyitir Surat At-Taubah yang di dalamnya ada pelajaran tentang bagaimana belajar atau menuntut ilmu itu tidak hanya untuk zaman sekarang tetapi juga yang akan datang.
"Karena itulah pendidikan itu harus terus up-date, termasuk pendidikan pesantren. Jadi pesantren bukan lagi terkesan jadul namun sudah melek teknologi dan modern dengan tetap menjaga ruh santri itu," pungkas Gus Aab.