Malang Raya

Tepis Stigma, Igama Justru Perangi HIV/AIDS

Kelompok gay yang tergabung dalam Ikatan Gaya Malang (Igama) justru berjuang membuktikan diri sebagai komunitas yang memiliki kepedulian sosial tinggi

Penulis: Benni Indo | Editor: Achmad Amru Muiz
biliranisland.com
Ilustrasi 

Hanya saja yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengimplementasikan pengetahuan bahaya penularan HIV/AIDS. Kata Farid, tidak sedikit kelompok LGBT yang kemudian melakukan hubungan seks tidak aman sekalipun mereka mengetahui risikonya. “Tantangannya di implementasinya. Mereka tahu tapi tidak mau tahu. Itu repotnya kami,” paparnya.

Kondisi seperti itu, kata Farid biasa terjadi karena posisi kelompok LGBT lemah. Farid mencontohkan, ketika ada transpuan yang menjajakan diri, kemudian pelanggan berani membayar lebih asal tidak memakai kondom.

Transpuan cenderung memilih mendapat bayaran lebih. Alhasil, hubungan seks itu pun berlangsung tanpa kondom. “Mereka tahu informasinya, tapi mereka tidak mau tahu ketika melakukan aktivitas seks. Kalau mereka menjajakan diri, kemudian ada tamu yang bayar lebih dan minta tidak pakai kondom, mereka lemah,” urainya.

Untuk mengantisipasi penularan HIV/AIDS, yang harus diwaspadai adalah kontak cairan kelamin dan darah. Kata Farid, sebisa mungkin menghindari dua hal itu karena cairan tersebut bisa menularkan HIV/AIDS.

Farid juga mengatakan, siapapun bisa tertular dan menularkan HIV/AIDS. Oleh sebab itu, tidak bisa mengkambing hitamkan satu golongan tertentu sebagai sumber HIV/AIDS. “Yang harus diwaspadai tetap penularan. Prinsip penularannya, selama mereka menghindari kontak ciaran kelamin dan darah. Kalau ngomong peluang penularan, bisa dari mana pun. Tidak ada orang yang tidak punya risiko terhadap HIV/AIDS,” jelasnya.

Farid mendorong agar kelompok yang terlibat dalam upaya pencegahan HIV/AIDS, baik pihak swasta atau pemerintah bisa memberikan informasi yang baik dan benar. Media campaignnya jelas tapi tidak menakuti. “Itu yang menurut saya bisa dilakukan untuk mendorong pemahaman yang benar di masyarakat,” paparnya.

Pemkot Malang Menjangkau Kelompok Marjinal

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P ) Dinkes Kota Malang, Husnul Muarif mengatakan, kelompok tertinggi yang ODHA di Kota Malang statusnya tidak diketahui. Kedua adalah ibu rumah tangga, ketiga karyawan swasta. Sementara kelompok LGBT berada di bawahnya. Namun Husnul tidak menjelaskan pasti berada di posisi mana kelompok LGBT. “Dan ini belum semuanya. Penduduk Kota Malang yang mengakses Antiretroviral (ARV) jumlahnya 1208,” jelasnya.

Dinkes Kota Malang mengakseas kelompok kunci dan berisiko tinggi terhadap HIV/AIDS. Husnul mengatakan, pendampingan yang selama ini dilakukan salah satunya bekerja sama dengan Igama. “Kemudia juga ada yayasan untuk pendamping PSK, baik langsung maupun tidak langsung. Ada bagian untuk pengguna narkoba suntik juga Iwama yang menjangkau transpuan,” katanya.

Kata Husnul, kelompok itu menjangkau titik-titik di Malang. Mereka menjangkau untuk memberikan edukasi. “Kalau mereka bisa dijangkau, mereka akan dibawa ke layanan. Dari layanan itu dilanjutkan VCT” jelasnya.

Jika dari VCT itu ada reaktifnya akan ada persetujuan RDT atau Rapid Diagnosis Test. Jika RDT nya rraktif, maka pendamping tadi akan mengarahkan 3 RS untuk tindak lanjut. “Ada beberapa rumah sakit yang bisa dirujuk seperti RSSA, RST dan RSI. Di tiga RS itu akan dilakukan test lagi,” jelasnya.

Dipaparkan Husnul, mereka terbantu dengan adanya kerjasama dengan kelompok berisiko tinggi. Katanya, Dinkes tidak bisa bergerak sendiri tanpa bantuan dari komunitas maupun kelompok tertentu. “Kalau kami tidak mampu karena titik itu banyak sekali. Kebanyakan mereka keluar di malam hari sehingga kami butuh teman-teman LSM untuk menjangaku mereka agar kelompok berisiko bisa kami kendalikan dengan berprilaku seks sehat,” ungkapnya.

Diakui Husnul, Igama telah memberikan edukasi seks sehat dan aman kepada kelompoknya. Hal itu penting karena penularan HIV/AIDS salah satunya berasal dari perilaku seks yang tidak aman atau tidak sehat. Dinkes sendiri sudah bekerjasama sejak 2005.

Dinkes Kota Malang memiliki program yang bernama STOP. Stop menjadi strategi untuk fast track atau jalan cepat pengendalian HIV.  S berarti suluh yang mengupayakan masyarakat sudah pernah menerima edukasi masalah HIV. Dinkes menargetkan 90 persen masyarakat sudah mengetahui.

T berarti Temukan. Strategi ini untuk menemukan orang ODHA. Kalau sudah menemukan, maka di obati. Huruf O dalam STOP berarti Obati ODHA. Sedangkan P artinya pertahankan orang ODHA yang diobati sehingga pada saat evaluasi virus HIV diharapkan bisa berkurang banyak. “Itu strateginya yang sudah kami laksanakan dengan harapan tidak ada lagi pengidap baru,” tutupnya.

Halaman
123
Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved