Malang Raya
Asal-usul Nama Desa Kepanjen, Malang, Berawal dari Nama Raden Panji Pulang Jiwo asal Sumenep
Kepanjen, sebuah kecamatan yang berjarak 18 kilometer arah selatan dari pusat Kota Malang.
Penulis: Mohammad Erwin | Editor: yuli
SURYAMALANG.COM, KEPANJEN - Setiap daerah punya cerita. Tak ayal, cerita yang mengiringi munculnya asal-usul nama suatu daerah, menarik untuk dikupas. Salah satunya adalah Kepanjen, sebuah kecamatan yang berjarak 18 kilometer arah selatan dari pusat Kota Malang.
SURYAMALANG.COM kemudian menelusuri cerita di balik pemberian nama Kepanjen yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Malang.
Suwarno, juri kunci atau penjaga makam Raden Panji Pulang Jiwo, bercerita lebar mengenai 'Babad Malang'.
Lazimnya legenda, cerita rakyat tentu bukan sejarah versi akademik yang ditopang data kuat.
Konon pada masanya, Raden Panji adalah seorang ksatria yang sakti yang berasal dari Sumenep, Madura. Kemudian memiliki andil dalam kaitan pemberian nama Kepanjen, Kabupaten Malang.
Makam Raden Panji Pulang Jiwo ini berlokasi di lingkungan Kantor Dinas Pendidikan, Kabupaten Malang, Jalan Penarukan 1 Kepanjen. Tepatnya di ujung belakang Kantor Dinas Pendidikan.
Penjaga makam tersebut bernama Suwarno. Pria berusia 64 tahun yang sudah puluhan tahun menjadi juru kunci makam.
"Saya yang menjaga makam Raden Panji Pulang Jiwo," terang pria yang akrab disapa Mbah No itu.
Mbah No bercerita, Raden Panji Pulang Jiwo datang ke Malang (Kepanjen) pada masa Kerajaan Sengguruh, atau yang dikenal dengan nama Kadipaten Malang.
"Raden Panji Pulang Jiwo, tidak mau adanya keributan. Dia pergi ke Malang untuk mencari situasi yang aman dan menenangkan diri. Raden Panji ini orangnya tidak suka ada pertengkaran. Hidupnya ingin selalu damai," tutur Mbah No.
Kemudian, setelah lama di tinggal di Malang, Raden Panji Pulang Jiwo, akhirnya bertemu dengan seorang wanita cantik, yakni Putri Probo Retno.
Dia adalah putri dari Kadipaten Malang. Raden Panji tertarik dan ingin mempersuntingnya.
Putri Probo Retno, menyatakan mau. Asalkan Raden Panji bisa mengalahkan Sumolewo, yang diakui sebagai calon suaminya.
Pertarungan antara Raden Panji Pulang Jiwo dengan Sumolewo pun terjadi. Sumolewo, kalah dan mati. Jenazahnya lantas di makamkan di daerah Japanan.
Setelah mengalahkan Sumolewo, Putri Probo Retno, tidak langsung menepati janjinya. Tetapi masih beralasan akan Tapa Brata dulu sebuah gua di Buring (berada Kecamatan Kedungkandang)
Tak lama kemudian, akhirnya Raden Panji Pulang Jiwo bisa menjadikan Putri Probo Retno sebagai istrinya.
Dari perkawinannya itu, memiliki seorang anak bernama Raden Panji Saputro atau Panji Wulung.
Untuk merayakan kehadiran anaknya, dibuatlah acara hiburan musik Tayub pada saat itu. Saat acara Tayub, Raden Panji Pulang Jiwo meminta lagu Gendong Undur-undur.
Ketika sedang asyik berjoged di atas panggung, Raden Panji Pulang Jiwo yang berjalan mundur, terperosok masuk ke dalam sumur Windu (sumur setan).
Namun tidak mati, hanya mengalami luka saja karena langsung ditolong oleh anak buahnya.
"Karena saat terjatuh menganggap dirinya malang, akhirnya mengatakan kepada Putri Probo Retno, untuk menamakan Kuto Malang (Kota Malang)," jelasnya.
Kemudian, Raden Panji Pulang Jiwo juga menamakan sungai besar yang di Kedungkandang (Jalan Muharto) dengan Kuto Bedah. Yakni sungai yang memisahkan dua wilayah. Sebelah timur sungai dinamakan Buring, dan sebelah barat sungai dinamakan Kuto Malang.
Setelah Kuto Malang dirasa sudah aman, Raden Panji Pulang Jiwo, lantas mengajak Putri Probo Retno berjalan ke selatan menyusuri hutan.
Ketika berhenti di wilayah Kepanjen, Raden Panji Pulang Jiwo berpesan kepada istrinya, ketika nanti dirinya meninggal dunia, meminta supaya tempat yang disinggahinya dinamakan Desa Kepanjian (saat ini menjadi Kepanjen).
Kemudian di sebelah barat rel kereta api (KA) yang kini menjadi Jalan Sultan Agung, dinamakan Sawunggaling.
"Dinamakan Sawunggaling karena saudara Raden Panji Pulang Jiwo, yakni Cakra Ningrat tinggal di wilayah tersebut," ucapnya sembari mengecup segelas kopi.
Sedangkan sebelah timur rel kereta api (KA), diberinama Penarukan. Merupakan empat untuk menaruh barang milik Raden Panji Pulang Jiwo. Dan ke selatan, nama Jalan Panji, karena jalan tersebut dulunya sebagai jalan Raden Panji Pulang Jiwo ketika menuju Keraton Jenggolo (kini menjadi Desa Jenggolo).
"Ketika menuju ke Keraton Jenggolo, Raden Panji Pulang Jiwo selalu menunggangi kuda kesayangannya yang diberinama Panji Sosro," urainya.
Mbah No menambahkan, di Keraton Jenggolo sering terjadi keributan. Yakni antara warga sebelah barat dengan timur.
Raden Panji Pulang Jiwo, yang tidak suka dengan perselisihan meminta untuk berdamai dan hidup rukun.
Raden Panji Pulang Jiwo pun, menamakan wilayah seberat barat dengan nama Jenggolo, karena dulu masyarakat suka menyebut barang ala (jelek). Sedangkan sebelah timur dinamakan Sengguruh karena masyarakat suka goroh alias berbohong.
Sedangkan di belakang dekat makam Raden Panji Pulang Jiwo, dulunya diberinama Kauman. Yaitu tempat untuk berkumpulnya kaum atau pengikut Raden Panji Pulang Jiwo. Sekarang ini, tempat tersebut juga dijadikan tempat makam umum warga Kepanjen.
"Raden Panji Pulang Jiwo ini, meninggal dunia dunia dalam usia tua dan sakit. Jenazahnya dimakamkan di sini yang dulunya adalah alas belantara," terangnya sembari mengingat.