Kabar Probolinggo

Polisi Probolinggo Tangkap Dua Pegiat Vespa Literasi Gara-gara Pajang Buku DN Aidit dan Bung Karno

Polisi Probolinggo menangkap dua anggota Komunitas Vespa Literasi gara-gara memajang buku-buku tentang DN Aidit dan Bung Karno.

Editor: yuli
web
BUKU LEGAL- Sukarno, Marxisme & Leninisme karya Peter Kasenda diterbitkan Komunitas Bambu pada 2017. Buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2010 berdasarkan kumpulan reportase Majalah Tempo. 

SURYAMALANG.COM, PROBOLINGGO - Polisi Probolinggo menangkap dua anggota Komunitas Vespa Literasi: MB (24) warga Desa Jati Urip Kecamatan Krejengan; dan Saiful Anwar (25) warga Desa Bago Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo.

Mereka dituduh memajang buku-buku yang dianggap terlarang saat menggelar lapak baca gratis di Alun-alun Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (27/7/2019).

Menurut Kapolsek Kraksaan, Kompol Joko Yuwono, Minggu (28/7/2019), buku-buku tersebut berisi tentang DN Aidit, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dua pegiat literasi diamankan polisi lantaran memajang buku-buku DN Aidit, Ketua CC PKI.
Dua pegiat literasi diamankan polisi lantaran memajang buku-buku DN Aidit, Ketua CC PKI. (Ist)

"Keempat eksemplar buku yang dinilai pro komunis itu diamankan. Selain buku, kedua penggiat literasi juga diamankan ke Mapolsek Kraksaan," kata Yuwono.

Yuwono merinci, buku-buku DN Aidit yang digelar pada lapak gratis itu antara lain berjudul Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh Djalan Rakjat, DN Aidit Sebuah Biografi Ringkas, dan buku Sukarno, Marxisme & Leninisme. 

Penelusuran SURYAMALANG.COM, buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2010 berdasarkan kumpulan reportase Majalah Tempo. 

Sedangkan buku Menempuh Djalan Rakjat versi aslinya diterbitkan Jajasan Pembaruan pada 1952 berisi pidato DN Aidit di depan massa pada peringatan ulang tahun ke-32 PKI. 

Adapun buku Sukarno, Marxisme & Leninisme adalah karya Peter Kasenda dan diterbitkan Komunitas Bambu pada 2017. 

Apa sebetulnya alasan polisi melarang buku-buku itu? 

“Buku-buku itu saat ini sudah dilarang di Indonesia, buku-buku kami amankan. Kedua pegiat dilepaskan setelah diperiksa secara intensif. Kami masih mengembangkan penyelidikan untuk mengetahui asal buku," ujar Yuwono.

Yuwono mengatakan, Komunitas Vespa Literasi diketuai oleh Abdul Haq, mahasiswa asal Desa Karanganyar Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo.

Komunitas tersebut membuka lapak baca buku gratis yang digelar di sekitar Alun-alun Kraksaan setiap Sabtu malam. kompas.com

Jaksa Periksa Dua Pedagang Buku-buku Riwayat Gerakan Kiri di Pare, Kediri

RIWAYAT DIPA NUSANTARA AIDIT

Dipa Nusantara Aidit
Dipa Nusantara Aidit (wikipedia)

Berdasarkan rangkuman Wikipedia, Dipa Nusantara Aidit lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal dunia di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 tahun).

Ia adalah pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahir dengan nama Ahmad Aidit di Pulau Belitung, ia akrab dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Aidit mendapat pendidikan dalam sistem kolonial Belanda.

Ayahnya, Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung.

Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Keluarga Aidit berasal-usul dari Maninjau, Agam, Sumatra Barat.

Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.

Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool").

Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia).

Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mohammad Yamin.

Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.

https://facebook.com/suryamalang.tribun | SURYAMALANG.COM | IG: @suryamalangcom
https://facebook.com/suryamalang.tribun | SURYAMALANG.COM | IG: @suryamalangcom (.)

Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan.

Sebagai balasan atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua.

Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.

Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer.

Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.

Pada 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai diJakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagaiPeristiwa G-30-S.

Pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi dia bahwa PKI-lah pelakunya, dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Tuduhan ini tidak sempat terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika ia melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.

Kematian dan kontroversi
Ada beberapa versi tentang kematian DN Aidit ini. Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ.

Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka.

Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.

Selain kematiannya, kelahiran Aidit pun bermacam-macam versi. Beberapa mengatakan Aidit kelahiran Medan, 30 Juli 1923 dengan nama lengkap Dja'far Nawi Aidit. Keluarga Aidit konon berasal dari Maninjau, Sumatra Barat yang pergi merantau ke Belitung. Namun banyak masyarakat Maninjau tidak pernah mengetahui dan mengakui hal itu.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved