Kabar Tulungagung

Kisah Hidup Sutarji Kolektor Benda Orang Mati di Tulungagung, Suka Balap Liar dan Akrab dengan Mayat

Kisah Hidup Sutarji Kolektor Benda Orang Mati di Tulungagung, Suka Balap Liar dan Akrab dengan Mayat

Penulis: David Yohanes | Editor: eko darmoko
SURYAMALANG.COM/David Yohanes
Keranda mayat di ruang dalam museum milik Sutarji, di Tulungagung. 

SURYAMALANG.COM, TULUNGAGUNG - Sutarji (62), warga Desa Aryojeding, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung mempunyai koleksi benda-benda peninggalan orang mati.

Mulai dari tali kain kafan mayat, helm bekas korban tabrakan, jaket orang yang meninggal kecelakaan lalu lintas, hingga tapi yang dipakai gantung diri.

Sutarji juga menyimpan uang sawur (uang yang disebar saat perjalanan ke makam), dan kendi untuk prosesi pemakaman orang mati.

Di balik sosoknya yang nyeleneh, Sutarji mengakui, masa mudanya sangat nakal.

Ia adalah pelaku balap liar yang malang melintang di berbagai kota.

Sebuah sepeda motor Yamaha RX digantung di salah satu sudut museum milik Sutarji.

Sepeda motor itu yang dipakainya untuk balapan di masa muda.

“Sudah banyak yang nawar, tapi berapa pun mau dibeli tidak akan saya jual,” ucapnya.

Karena kebiasannya balap liar, Sutarji pernah enam kali mengalami kecelakaan fatal, hingga mematahkan tulang-tulangnya.

Bahkan kakinya kini terpincang-pincang karena tulangnya patah saat masih aktif balapan.

Terbiasa di kehidupan jalanan, wataknya menjadi keras dan tidak bisa menerima nasihat.

“Sampai akhirnya saya ingin berubah punya sifat yang lembut. Kata orang saat itu, kalau mau mengubah watak yang kaku, coba ikut memakamkan orang mati,” kenang Sutarji.

Sekitar 20 tahun laku Sutarji membeli sebuah mobil ambulan.

Mobil ini dipakai untuk melayani jika ada warga yang meninggal dunia.

Sutarji mengantarkan jenazah sampai ke makam, kemudian membantu menurunkan jenazah ke liang lahat.

Bahkan dia mengambil peran di dalam liang lahat, menangkap jenazah dan menatanya sebelum ditutup tanah.

Dengan peran ini, pelan-pelan muncul kesadaran baru di hatinya.

“Setiap menerima mayat dari atas dan menurunkan ke liang lahat, saya semakin paham bagaimana menjadi mayat,” sambung Sutarji.

Puncaknya saat memakamkan jenazah ke-6. Seperti biasa Sutarji berada di dalam liang lahat, untuk menerima jenazah.

Ia melihat jenazah itu dikerubuti semut, kemudian semut itu pindah mengerubutinya.

Kejadian itu semakin mengubah karakter Sutarji, dan meninggalkan sifatnya yang keras.

Tujuh tahun lalu ambulan itu dijual, dan menyisakan keranda mayat yang masih disimpan dengan baik.

Kini kakek tiga cucu ini sudah menjadi salah satu sesepuh di desanya.

Ia kerap diminta untuk memimpin upacara adat pengantin Jawa.

Sutarji (62) warga Tulungagung menunjukkan koleksi tali pocong, yang disimpannya dalam lemari kaca.
Sutarji (62) warga Tulungagung menunjukkan koleksi tali pocong, yang disimpannya dalam lemari kaca. (SURYAMALANG.COM/David Yohanes)

Ingin Bertemu Hantu

Sutarji (62), warga Desa Aryojeding, Kecamatan Rejotangan, Tulungagung mempunyai koleksi benda-benda peninggalan orang mati.

Mulai dari tali kain kafan mayat, tali pocong, helm bekas korban tabrakan, jaket orang yang meninggal kecelakaan lalu lintas, hingga tapi yang dipakai gantung diri.

Koleksi itu bermula dari keinginan Sutarji untuk bertemu hantu atau roh jahat.

“Kok orang-orang itu sering cerita ditemui hantu, tapi saya kok tidak. Jangan-jangan cuma khayalan saja,” ucap laki-laki ramah ini, di awal perbincangan.

Sutarji mulai melakukan segala cara agar bisa melihat hantu.

Ayah dua orang dokter ini awalnya mengambil cungkup makam.

Bangunan kecil di atas makam untuk melindungi makam dari panas dan hujan ini dibawa pulang.

“Pikir saya kalau cungkupnya dibawa pulang hantunya akan datang. Ternya tidak datang juga,” tuturnya.

Kini sembilan cungkup yang diambil dari makam itu menjadi bagain dari koleksi museum antiknya.

Setelah itu aksinya semakin menjadi-jadi, seperti mengambil keranda mayat yang dianggap angker dan menyimpannya sebagai koleksi.

Keranda itu sengaja dibuang karena dianggap membawa sial. Selama 47 hari, ada 43 orang yang meninggal dunia.

Dengan keranda “wingit” itu Sutarji juga sempat melakukan aksi nyleneh.

“Saya pernah tidur di keranda itu, kemudian dibawa ke kuburan saya orang-orang. Ternyata juga tidak bertemu hantu,” katanya.

Hingga akhirnya setiap ada orang kecelakaan dan meninggal dunia, Sutarji mengambil benda yang tersisa atau tertinggal.

Pada akhirnya benda-benda itu hanya menjadi koleksi, dan tidak membuatnya bertemu hantu.

Salah satu aksi nekat Sutarji yang sempat mengundang kekhawatiran warga adalah, mengambil batu punden Desa Aryo Jeding.

Batu punden itu dulunya dianggap sangat angker dan sering dipakai orang untuk nyadran.

Mereka membawa sesajen lengkap dengan ingkung ayam kampung.

“Saya pikir batu kok dikasih ingkung ayam. Akhirnya saya bawa pulang batunya,” terang Sutarji.

Saat itu warga mengingatkan Sutarji, bahwa nyawanya bisa terancam karena ulah roh halus di dalamnya.

Namun karena sikapnya yang kaku, Sutarji mengabaikan peringatan itu dan menganggapnya hanya mitos.

Sutarji yakin, hanya Gusti Allah yang bisa memastikan kematian seseorang.

Nyatanya Sutarji lagi-lagi gagal berjumpa dengan roh halus, apalagi sampai mengancam nyawanya.

Batu punden itu kemudian ditata di halaman samping, menyatu dengan koleksi nyleneh lainnya.

Meski begitu, Sutarji tetap mengizinkan kalau ada orang untuk nyadran.

“Setelah ada orang nyadran, saya panggil tetangga-tetangga untuk makan ingkung ayamnya,” pungkas Sutarji.

Ada Tali Pocong

Sebuah keranda mayat yang dilengkapi roda diletakkan di halaman samping rumah Sutarji (62), warga Desa Aryojeding, Kecamatan Rejotangan, Tulungagung.

Keranda mayat itu adalah bagian dari koleksi museum pribadi milik Sutarji.

Ayah dua anak ini berkisah, keranda mayat itu berasal dari daerah Wlingi, Kabupaten Blitar.

Sebelumnya keranda ini dibuang, karena dianggap membawa sial.

Sebab dalam waktu 47 hari, ada 43 orang meninggal dunia dan diangkut dengan keranda ini.

“Jadi orang gak mau pakai keranda ini lagi, kemudian dibuang begitu saja. Kemudian saya bawa pulang,” tutur Sutarji.

Namun yang lebih membuat bulu kuduk merinding, Sutarji mengoleksi benda orang mati.

Sebuah lemari disiapkan khusus untuk menyimpan koleksi tak lazim ini. Di antaranya adalah belasan tali pocong.

Suami dari Tasmiati (54) ini memang kerap membantu pemakaman di desanya.

Bahkan dia masuk liang lahat untuk menata jenazah sebelum ditutup tanah.

Sutarji juga yang mengazani jenazah saat sudah di dalam liang lahat.

“Setelah di dalam liang lahat, tali pocong kan harus dilepas. Kemudian saya bawa pulang. Jadi bukan makamnya saya gali dan saya curi talinya,” ucap Tarji sambil terkekeh.

Sutarji hapal Satu per satu tali pocong milik siapa yang disimpannya.

Selain tali pocong, ada sejumlah helm milik korban kecelakaan lalu lintas.

Helm-helm ini diambil dari lokasi kecelakaan ruas jalan raya Tulungagung-Blitar, Desa Aryojeding.

Di bagian bawah lemari juga tersimpan sebuah tambang warna biru.

Tambang yang lazim dipakai tali sapi ini bekas dipakai untuk alat gantung diri.

Di luar kepala Sutarji menyebut nama-nama korban.

“Ini tali pocongnya Pak Yai Bahroji, beliau meninggal ditabrak truk. Itu helmnya Mas Handik, dia meninggal ditabrak bus,” terang Sutarji sambil menunjuk satu per satu koleksinya.

Di bagian belakang lemari ini ada semacam ruangan yang didesain tidak kalah horor.

Di belakang ruangan ada sebuah keranda mayat yang ditutup kain, layaknya mayat yang siap diberangkatkan ke kuburan.

Kemudian di dinding tertempet sejumlah jaket, semuanya bekas orang meninggal dunia kecelakaan.

Ada juga sepasang pakaian pengantin adat Jawa berwarna hitam.

Sama seperti koleksi yang lain, sepasang baju pengantin ini juga bekas orang meninggal dunia bersama, tahun 1974.

Sepasang pengantin ini meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, di Sendang Biru, Kabupaten Malang.

“Waktu itu saya masih muda, masih suka balapan di sana. Pas balapan ada kejadian itu, pakainnya saya ambil terus dibawa pulang,” kenang Sutarji.

Ada pula sejumlah cungkup makam yang menjadi koleksi.

Cungkup adalah bangunan mirip gazebo di atas makam, dengan tujuan melindungi makam dari panas atau hujan.

Cungkup-cungkup itu disulap jadi gazebo mini, untuk menaruh koleksi lainnya.

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved