Rusuh Aksi I Cant Breathe di Amerika, Cafe Milik Warga Negara Indonesia Ikut Dirusak Massa

Kerusuhan dari aksi I Cant Breathe atas kematian George Flyod meluas hingga merusak kedai kopi milik WNI di Washington DC.

Penulis: Farid Farid | Editor: Adrianus Adhi
Artikel Tribunnews.com : "Rusuh di Amerika, Toko Milik Warga Indonesia Ikut Dirusak Massa "
Ilustrasi Artikel Rusuh Aksi I Cant Breathe di Amerika, Cafe Milik Warga Negara Indonesia Ikut Dirusak Massa 

SURYAMALANG.COM, Malang Kerusuhan dari aksi I Cant Breathe atas kematian George Flyod meluas hingga merusak kedai kopi milik WNI di Washington DC. 

Diketahui bahwa pemantik kerusuhan awal akibat kematian dari seorang warga AS bernama George Flyod berketurunan Afrika oleh oknum polisi.

Setelah kerusuhan meluas di hampir semua kota di AS, banyak pertokohan yang dijarah dan dibakar oleh demonstran aksi I Cant Breathe

Berbagai macam kalangan merasakan dampak kerugian dari aksi ini tidak terkecuali bagi WNI bernama Vivit Kavi yang kedai Kopinya dirusak oleh Demonstran. 

 Melansir dari artikel Tribunnews.com : " Rusuh di Amerika, Toko Milik Warga Indonesia Ikut Dirusak Massa " 

Vivit Kavi mengatakan dirinya sebelum adanya kerusuhan, sudah menutup kedainya akibat pandemi corona selama 2 bulan, namun sesaat ingin membuka kedai kopinya, ratusan demonstran merusak tempat usahanya itu. 

"Itu terjadi di malam kami baru buka pertama kalinya pada 30 Mei lalu setelah tutup sejak 17 Maret lalu," kata Vivit.

Vivit menjelaskan saat buka, ia merasa senang dan banyak pengunjung datang membeli kopi dari tokonya.

"Pengujung datang dari jam 9 sampai 2 siang. Di antara itu protes ada tapi aman. Lalu kami tutup jam 4 sore. Lalu menjelang malam, pendemo tidak terkontrol.

"Dari protes damai menjadi rusuh. Sekitar jam 12 malam mulai terjadi pengerusakan dan pembakaran. Toko kami rusak kacanya," kata Vivit.

Vivit menambahkan kedai kopinya memiliki dua lapis kaca, lapisan terluar pecah, namun lapis dalam aman.

"Untung kaca dalam masih aman, dan tidak ada orang masuk yang menjarah," katanya.

Ia pun mengungkapkan belum tahu kapan akan kembali lagi buka karena berdasarkan keterangan polisi ada kemungkinan kembali muncul aksi demonstrasi.

"Kita akan memantau hari demi hari. Tapi harapan kita akhir pekan ini sudah buka.

"Rasanya itu, dari senang banget karena sudah mulai buka tiba-tiba kejadian seperti ini, seperti diangkat-angkat terus dijatuhkan ke jurang, sama kayak naik kereta luncur," ungkapnya.

WNI di Amerika: Kami aman, namun tetap was-was

Seorang WNI yang menikah dengan orang berkulit hitam, Maria mengungkapkan, kondisi mereka saat ini aman walaupun terjadi gelombang besar demonstrasi di kota tempat tinggalnya, New York.

"Ada protes di dekat rumah, di Bronx, dan tidak anarkis, aman," kata Maria kepada BBC News Indonesia,.

Maria menambahkan, namun kondisi di pusat kota cukup rawan karena aksi kerusuhan terjadi luas di New York.

Terkait dengan tindakan rasial di Amerika Serikat, Maria pernah merasakannya secara langsung.

"Waktu saya pacaran dengan suami, kami dan teman-teman pergi ke bar. Saat saya mengantri beli makanan, ada orang mabuk mau memeluk saya. Lalu teman-teman saya dan suami yang kebanyakan kulit hitam mengelilingi dan melindungi saya.

"Polisi kemudian datang. Bukannya mengamankan pemabuk itu, polisi malah menanyakan apakah saya aman di antara teman-teman saya yang kulit hitam dan pemabuk itu tidak diapa-apakan, malah teman saya yang diintograsi.

"Saya dan keluarga saya dipandang rendah karena hanya fisik. Saya merasakan itu," kata Maria

Sekjen PBB Mendesak Warga Amerika Serikat Ikuti Aksi I Cant Breathe dengan Damai

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mendesak warga Amerika yang melakukan aksi unjuk rasa secara damai.

Sementara pihak kepolisian diminta untuk menahan diri untuk tidak melakukan langkah berlebihan dalam menghadapi demonstran yang memprotes kematian warga kulit hitam, George Floyd.

Hal itu disampaikan Juru Bicara Guterres, Stephane Dujarri menanggapi gelombang demonstrasi warga AS atas kematian Floyd, dalam tahanan polisi di Minneapolis seminggu yang lalu.

Sejumlah demonstrasi damai telah berubah menjadi kerusuhan di banyak kota.

"Keluhan harus didengar, tetapi mereka harus menyatakan dalam cara-cara damai dan otoritas harus menahan diri dalam menghadapi demonstran," ujar Dujarric kepada wartawan, seperti dilansir Reuters, Selasa (2/6/2020).

"Di AS, seperti di negara lain di dunia, keragaman adalah kekayaan dan bukan ancaman, tetapi keberhasilan masyarakat yang beragam di negara manapun membutuhkan investasi besar-besaran dalam kohesi sosial," katanya.

Presiden AS Donald Trump telah meminta Departemen Kehakiman dan FBI menyelidiki kasus kematian Floyd.

Namun langkah Trump itu tidak membuat publik menjadi tenang dan aksi unjuk rasa berhenti di AS.

Karena di waktu berbeda Trump juga telah mengeluarkan beberapa kicauan, seperti menggambarkan demonstran sebagai "penjahat."

Trump mendesak para Wali Kota dan Gubernur untuk bersikap tegas dan mengancam akan menggunakan militer menghadapi demonstran.

Dujarric mengatakan Guterres menyerukan penyelidikan semua kasus kekerasan yang disarakan demonstran.

Bahkan dia menilai, perlu kepolisian di dunia memiliki pelatihan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Kami selalu mengatakan, aparat kepolisian di seluruh dunia perlu memiliki pelatihan hak asasi manusia yang memadai," jelasnya.

"Dan juga perlu ada investasi dalam dukungan sosial dan psikologis bagi polisi. Sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan mereka dengan benar dalam memberikan perlindungan masyarakat ," katanya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved