Berita Batu Hari Ini
Delapan Lutung Jawa di JLC-TAFIP Coban Talun Batu akan Dilepas ke Alam Liar di Bulan November 2020
Project Manager JLC, Iwan Kurniawan menerangkan, sejak awal tahun ini, sudah ada delapan ekor Lutung Jawa yang dilepaskan ke alam liar.
Penulis: Benni Indo | Editor: Dyan Rekohadi
Penulis : Benni Indo , Editor : Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM, BATU – Delapan Lutung Jawa direncanakan dilepas ke alam liar pada November mendatang di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo.
Saat ini, delapan lutung tersebut tengah menjalani masa rehabilitasi di Javan Langur Centre–The Aspinall Foundation Indonesia Program (JLC-TAFIP) di Coban Talun, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.
Di sana, total ada 23 ekor Lutung Jawa yang dipersiapkan ke alam liar.
Project Manager JLC, Iwan Kurniawan menerangkan, sejak awal tahun ini, sudah ada delapan ekor Lutung Jawa yang dilepaskan ke alam liar.
Dengan adanya delapan Lutung Jawa lagi yang dilepaskan pada November mendatang, maka dalam setahun ada 16 ekor yang dilepaskan ke alam liar.
Hewan primata dilindungi ini diperoleh dari hasil sitaan BKSDA maupun penyerahan dari masyarakat.
Program rehabilitasi ini memakan waktu relatif panjang, sebelum Lutung Jawa dirilis ke habitatnya.
“Paling cepat 10 bulan, tapi bisa juga sampai dua hingga tiga tahun,” ujar Iwan, Senin (28/9/2020).
Ada beberapa tahapan yang dijalani selama masa rehabilitasi, mulai dari pemeriksaan kesehatan dan selanjutnya proses sosialisasi.
Pemeriksaan kesehatan kurang lebih selama tiga bulan.
Setelah kesehatannya dinyatakan baik, lanjut ke tahap beradaptasi bersama koloninya.
“Hewan ini karakternya berkelompok. Sedangkan kami menerima satu-satu, maka perlu waktu untuk mengenal kelompoknya,” kata Iwan.
Di tahap ini, lutung akan ditempatkan dalam satu kandang yang dihuni satu jantan dan betina berjumlah enam hingga tujuh ekor.
Pemindahan primata berbulu hitam dan keemasan ini membutuhkan kesabaran, dan juga waktu yang tepat untuk melakukan penangkapan.
Ketika bersama koloninya, kondisinya terus dipantau. Naluri alamiah mereka dibangun sebelum dilepasliarkan secara berkelompok.
Pengenalan pakan alami dan psikomotoriknya juga diperhatikan.
"Apakah sudah bisa memanjat-manjat. Nanti pada pelepasannya juga akan dilakukan secara kelompok. Hewan ini pemakan pucuk tumbuhan, sehingga sebetulnya mereka seperti petani hutan," terangnya.
Seminggu sebelum dirilis, lutung dipindahkan ke kandang habituasi.
Jadi tidak langsung dilepas begitu saja. Namun ada proses adaptasi selama semingguan.
“Baru kami buka pintu kandangnya. Kami tetap memantau kondisinya setelah dilepas," jelas Iwan.
Setiap detail perkembangannya akan dipantau termasuk juga saat dilepaskan ke habitat alaminya Untuk melihat sejauh mana lutung tadi mampu bertahan hidup.
Selain itu dilihat juga apakah lutung yang telah dilepas dapat berkembang biak atau tidak.
Iwan mengatakan, proses ini dilakukan di hutan. Hingga saat ini masih belum ada alat untuk mendeteksi hewan primata kecil.
Berbeda dengan gajah, badak, dan harimau mereka memiliki alat pendeteksi bernama radio collar dan GPS collar. Terbatasnya piranti, membuat monitoring dilakukan secara konvensional.
Beberapa lokasi di Malang Raya dipilih sebagai habitat pelepasliaran lutung jawa.
Seperti kawasan hutan lindung di Kondang Merak, Malang Selatan.
Habitat berikutnya yang masih disiapkan saat ini yakni kawasan hutan lindung Coban Talun dan Tahura Raden Soerjo di Gunung Biru - Anjasmara.
Lutung Jawa adalah hewan endemik Jawa, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Barat.
Namun saat ini populasinya menghadapi tantangan, yakni semakin berkurangnya hutan heterogen yang menjadi tempat tinggalnya.
Dari data internal, Iwan mengatakan, pada 2010 ada 2700 ekor lutung.
“Data terbaru belum selesai, namun kalau melihat kondisinya, hutan semakin menyusut bisa dibayangkan sendiri,” terangnya.
Lutung Jawa berada dalam salah satu rangkai makanan. Maka perlu dilindungi agar kelestarian satwa terjaga.
Namun kenyataannya, saat ini para pemburu mudah masuk ke kawasan hutan yang banyak lutungnya.
“Kalau mau menangkap anak lutung, harus membunuh ibunya karena si anak digendong terus,” jelas Iwan.
Maka dari itu, ia berharap kesadaran masyarakat agar dapat menjaga ‘ikon’ Pulau Jawa tersebut.