Mencicipi Mi Ayam Buatan Bule Belanda di Warung Telolet, Sleman

Anda akan melihat suasana berbeda saat menikmati mi ayam di warung Bakso Mi Ayam 'Telolet' di Jalan Moses Gatotkaca, Mrican, Sleman.

Editor: Zainuddin
KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA
Charlotte Peeters memasak mi ayam di warung Bakso Mi Ayam 'Telolet' di Jalan Moses Gatotkaca, Mrican, Caturtunggal, Depok, Sleman. 

SURYAMALANG.COM - Anda akan melihat suasana berbeda saat menikmati mi ayam di warung Bakso Mi Ayam 'Telolet' di Jalan Moses Gatotkaca, Mrican, Caturtunggal, Depok, Sleman.

Penjual mi ayam ini adalah perempuan asal Belanda bernama Charlotte Peeters.

Selain memasak mi ayam, perempuan kelahiran Belanda ini juga mengantarkan pesanan ke pembelinya.

Dia pun sangat ramah dan murah senyum kepada siapa pun.

Charlotte Peeters juga mahir berbahasa Indonesia.

Charlotte Peeters dan suaminya, Arya Andika Widyadana memang memiliki usaha di bidang pariwisata.

Namun saat ini sepi karena pandemi Covid-19.

"Kami harus mencari pemasukan yang lain untuk bisa survive," ujar Charlotte Peeters, Kamis (21/1/2021).

Sebenarnya Charlotte Peeters dan suaminya sudah berencana membuka usaha kuliner.

Saat usahanya terdampak pandemi, mereka memutuskan untuk merealisasikan membuka warung makan bakso mi ayam.

"Suami kan suka bakso dan saya suka mi ayam. Akhirnya kami membuat keputusan membuka warung mi ayam bakso. Kami buka mulai 17 Agustus 2020," ungkapnya.

Meskipun suka mi ayam, Charlotte Peeters tidak begitu senang dengan mi ayam manis.

Sebab, rata-rata mi ayam di Yogyakarta yang pernah dinikmatinya cenderung memiliki rasa manis.

Makanya Charlotte Peeters mencoba berkali-kali memasak mi ayam untuk menemukan resep yang khas.

"Saya belajar masak mi ayam, dan sampai sekarang masih belajar. Saya sering merasa kurang di sini, masih ada revisi soal rasa."

"Jadi mi ayam kami lebih gurih, untuk input rasa Belanda dan tidak ada rasa Indonesia," ungkapnya.

Awalnya Charlotte Peeters mematok harga Rp 5.000 untuk semangkok mi ayam.

Kemudian harganya berubah menjadi Rp 7.000 per mangkok sejak sekitar sebulan lalu.

Harga satu mangkok mi ayam ini terhitung murah.

Charlotte Peeters sengaja memasang harga murah agar terjangkau bagi masyarakat.

Terlebih lagi, di kala pandemi ini juga berdampak bagi perekonomian masyarakat.

"Kami sendiri merasakan dampak pandemi seperti apa. Paling penting untuk kami harga murah. Semua orang bisa datang untuk makan, tapi walaupun murah rasanya harus enak," jelasnya.

Harga itulah yang juga menjadi pertimbangan memilih membuka warung mi ayam dan bakso.

Sebab, jika memilih makanan lain belum tentu bisa memberi harga yang murah per mangkoknya.

Penamaan telolet ini datang dengan sendirinya.

Nama itu dipilih karena lucu dan mudah diingat oleh orang.

"Waktu kami buka memang cari nama, nah sempat kepikiran bikin nama mi ayam bakso Amsterdam atau apa tetapi kami berpikir otomatis ekspektasi orang harus ada rasa Belanda."

"Akhirnya enggak tau aja tiba-tiba kami dapat telolet dan kami berdua cocok dengan itu dan lucu aja," urainya.

Penerapan Pembatasan Secara Terbatas Kegiatan Masyarakat (PSTKM) di Sleman menyebabkan penurunan pembeli.

Meski pembeli menurun, Charlotte Peeters dan suaminya tetap terus menjalankan usahanya.

Hingga akhirnya, warung mi ayam baksonya menjadi viral di media sosial.

Sejak itu, pembeli di warungnya mulai naik kembali.

"Setiap hari omzet antara Rp 700.000-Rp 800.000 selama sepekan ini. Tetapi sebelumnya anjlok. Sehari hanya Rp 150.000. Pembatasan secara terbatas itu dampaknya terasa langsung."

"Tetapi paling penting kami jangan sampai give up, lanjut terus," tegasnya.

Sebelum viral di media sosial, pembeli yang datang ke warungnya sering kali kaget.

Mereka kaget karena melihat yang memasak mi ayam dan mengantarkan seorang bule.

"Saat saya sendiri sedang masak kan tidak langsung keliatan, nah waktu keluar (mengantar makanan) reaksi pertama kaget."

"Tapi saya suka membuat mereka nyaman berbincang-bincang. Sejak viral, banyak orang datang sehingga tidak kaget lagi saat melihat mbak bule masak mi ayam," bebernya.

Charlotte Peeters masih mempunyai darah Indonesia.

Neneknya merupakan warga negara Indonesia asal Sumatera.

"Kakek Belanda, dan nenek saya dari Sumatera. Dia lahir di Lampung. Papa saya lahir di Sorong. Kurang lebih usia 10-12 tahun pertama kali ke Indonesia, kemudian 2003, 2006, waktu itu tidak setiap tahun, tapi beberapa kali," ucapnya.

Sehingga, sejak kecil Charlotte Peeters sudah mengenal Indonesia.

Bahkan, baginya Indonesia menjadi rumah kedua.

"Dari kecil sudah kenal dengan Indonesia, sudah merasa rumah kedua. Semakin tua malah rasa itu semakin kuat," ungkapnya.

Setelah itu, Charlotte Peeters kembali datang ke Indonesia tepatnya Yogyakarta tahun 2009.

Dia datang untuk belajar bahasa Indonesia. Sebab, dia akan bekerja di Indonesia.

"Awal mula di Indonesia, datang untuk kerja, tetapi sebelumnya harus belajar Bahasa Indonesia, nah ini mengapa datang ke Yogya. 2009 mulai menetap lalu menikah baru 13 Desember 2011," ujarnya.

Saat ini, Charlotte Peeters dan suaminya Arya Andika Widyadana dianugerahi dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki.

"Saya masih warga negara Belanda, tapi saya boleh bilang saya punya KTP. Karena sudah punya visa KITAP saya boleh terima KTP," jelasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Bule Asal Belanda Jualan Mi Ayam di Yogya, Harganya Rp 7.000 Semangkuk", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/01/22/05550011/kisah-bule-asal-belanda-jualan-mi-ayam-di-yogya-harganya-rp-7000-semangkuk?page=all#page2

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved