Nasional
UPDATE Nasib Hervina Guru yang Dipecat via WA Karena Curhat Soal Gaji di Medsos, Kepsek Akan Dicopot
UPDATE Nasib Hervina Guru yang Dipecat via WA Karena Curhat Soal Gaji di Medsos, Kepsek Akan Dicopot
SURYAMALANG.COM - Berikut adalah update nasib Hervina (34) guru honorer SD Negeri 169 Sadar, Kecamatan Tellulimpoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Hervina yang sebelum dipecat karena mengunggah nilai gaji di media sosial, kini sudah kembali diizinkan untuk mengajar.
Seperti diketahui, Hervina dipecat sekolahnya dengan cara yang kurang sopan, yakni dipecat via telepon.
Menyikapi kasus ini, DPRD Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, menyatakan petisi permintaan untuk mencopot Hamsinah, kepala sekolah (Kepsek) yang memecat Hervina tetap diproses.
"Petisi pencopotan kepala sekolah tetap kami tindak lanjuti sebab kemarin ada 37 warga desa yang mengajukan tanda tangan," kata Ketua DPRD Bone, Irwandi Burhan, saat dihubungi Kompas.com dikutip SURYAMALANG.COM, Kamis (18/2/2021).
Laporan warga terkait Hamsinah, kata Irwandi, sudah diserahkan ke Inspektorat Dinas Pendidikan Bone untuk diselidiki.
Muhammad Rakib, perwakilan warga Desa Sadar yang memberikan petisi ke DPRD Bone, menuding Hamsinah jarang datang ke sekolah.
"Alasan kami jelas, sebab kepala sekolah jarang masuk kantor."
"Desa kami adalah desa terpencil di mana akses harus melalui kabupaten tetangga, sementara kepala sekolah tidak memiliki rumah di desa kami jadi otomatis jarang masuk kantor," kata Rakib saat dihubungi.
Kabar tentang Hervina, warga Dusun Lakariki, Desa Sadar, Kecamatan Tellulimpoe, ini menjadi viral usai dipecat lantaran mengunggah rincian gajinya selama empat bulan hanya sebesar Rp 700.000 di media sosial.
Pemecatan itu dilakukan suami dari kepala sekolah tempatnya mengajar dan dilakukan melalui pesan singkat.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Guru Honorer Batal Dipecat, DPRD Bone Tetap Lanjutkan Petisi Pencopotan Kepala Sekolah

Hervina Guru Honorer Dipecat via WhatsApp
Mengabdi selama belasan tahun sebagai guru honorer, Hervina (34) dipecat dengan cara arogan karena curhat di media sosial.
Hervina adalah guru honorer di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yang mengajar di SD Negeri 159 Sadar, Dusun Lakariki, Desa Sadar, Kecamatan Tellulimpoe.
Dikutip SURYAMALANG.COM dari Kompas.com, Hervina dipecat karena mengunggah besaran gaji sebesar Rp 700 ribu di media sosial.
Hervina pun tak menyangka jika unggahannya di media sosial berbuntut pemecatan terhadapnya.
"Saya sangat gembira karena baru menerima gaji (rapel) sejak empat bulan lalu kemudian saya posting ke media sosial," kata Hervina saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/2/2021).
Namun, kegembiraan tersebut sirna selang beberapa jam dirinya mendapat pesan singkat dari Jumarang selaku suami ibu Kepala Sekolah SD Negeri 168 Sadar yang berisi pemecatan.
"Mulai sekarang kamu berhenti mengajar, cari saja sekolah lain yang bisa gaji kamu lebih banyak," demikian isi pesan singkat yang dituturkan Hervina.
Pemecatan terhadap Hervina yang hanya melalui pesan singkat WhatsApp ini kemudian viral di media sosial.
Kepala SD Negeri 169 Sadar, Hamsinah menjelaskan pemecatan Hervina karena banyaknya tenaga pengajar di sekolahnya.
"Tidak ada hubungannya pemecatan ini dengan postingan di media sosial."
"Saat ini sudah ada dua orang CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) yang baru masuk mengajar, jadi kuota tenaga pengajar sudah lebih," kata Hamsinah.
Pernyataan Hamsinah ini dibantah oleh Kepala Desa Sadar Andi Sudi Alam.
Dia berharap dinas pendidikan untuk terus menambah tenaga pengajar di desanya yang selama ini kekurangan guru.
"Di desa saya ada dua sekolah dan guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) hanya empat orang jadi selebihnya adalah guru honorer dan pengalaman kami selama ini guru honorer adalah ujung tombak pendidikan sebab guru PNS jarang masuk mengajar karena desa ini adalah desa terpencil," kata Andi Sudi Alam kepada sejumlah awak media.
Dari pantauan Kompas.com, Desa Sadar merupakan daerah terpencil yang terletak 120 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Bone.
Akses menuju desa ini harus melalui Kabupaten Soppeng atau Kabupaten Barru dengan melewati pegunungan dan akses jalan belum teraspal.
Kasus Hervina saat ini dalam penanganan Dinas Pendidikan Kabupaten Bone.
Hervina telah diundang ke gedung Dewan Perwakilam Rakyat Daerah (DPRD) Bone untuk mengadukan nasib yang menimpanya.
"Kami selaku pimpinan akan mencarikan solusi dan akan mempertemukan kedua pihak," singkat Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bone Andi Syamsiar.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Guru Honorer Ini Dipecat gara-gara Unggah Gaji Rp 700.000 di Medsos

Kisah Guru di Pedalaman Kalimantan, Jalan Kaki 10 Km per Hari dan Diganggu Hewan Liar Demi Mengajar
Berta Bua'dera (48) guru honorer di SD Filial 004, Kampung Berambai, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur mengajar dalam keterbatasan selama 11 tahun.
Ia harus berjalan 10 Km setiap hari demi mengajar; melintasi lembah dan bukit, serta diganggu binatang liar di hutan saat berjalan kaki menuju sekolah.
Sekolah tempatnya mengajar terletak di pinggir Samarinda bersebelahan dengan Desa Bangunrejo, Kecamatan Tenggaron Sebrang, Kutai Kartanegara.
Sebagian besar kawasan itu masih hutan. Selama 11 tahun, Berta menyusuri hutan menaiki bukit dan menuruni lembah untuk berangkat ke sekolah yang berjarak 5 kilometer dari rumahnya: pergi dan pulang sejauh 10 km.
Namun, saat ini ia tinggal di rumah pondok kayu yang dipinjami warga yang kasihan melihat Berta menempuh perjalanan 10 kilometer setiap hari.
Di rumah yang lama, Berta terbiasa bangun pukul 03.30 Wita.
Ia kemudian ke dapur dan menyiapkan bekal yang akan dibawa ke sekolah serta sarapan dan makan siang suami dan anaknya.
Berta meninggalkan rumah sekitar pukul 04.30 Wita saat sang suami, Yusuf, masih beristirahat.
Biasanya Yusuf bangun tidur pukul 06.00 Wita.
Sambil menenteng tas kecil dan kotak bekal, ibu satu anak ini berjalan kaki membelah kesunyian.
Lulusan SPG
Berta adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang setingkat dengan SMA.
Sebelum menjadi guru, ia bekerja di salah satu perusahaan kayu di Samarinda.
Namun, pada tahun 2005, perusahaan itu tutup dan karyawan dirumahkan, termasuk Berta.
Ia pun menganggur dan sang suami bekerja sebagai buruh bangunan.
Mereka tak lagi bisa membayar kontrakan di Samarinda. Pasangan suami istri itu kemudian pindah ke kebun di Kampung Berambai.
“Daripada bayar kontrakan, kami pindah ke kebun di sini (dekat Kampung Berambai). Kebetulan ada ipar yang juga berkebun di sini. Dia panggil kami ke sini,” kenang Berta.
Selama empat tahun, Berta membantu suaminya mengurus kebun. Pada tahun 2009, dia mendengar kabar bahwa SD yang terletak di Kampung Berambai butuh tenaga pengajar.
Walaupun jaraknya jauh, ia tetap melamar dan diterima sebagai pengajar. Gaji pertama, ia mendapatkan uang Rp 150.000 per bulan. Dua tahun kemudian gaji yang diterimanya naik menjadi Rp 400.000.
“Sampai sekarang gaji saya Rp 1 juta per bulan,” tutur wanita asal Toraja, Sulawesi Selatan, ini.
Berta mengaku, gajinya tak mencukupi kebutuhan hidup keluarga, apalagi biaya sekolah anak.
Ia pun mencari penghasilan tambahan dengan menjual hasil kebun di pasar malam.
“Setiap malam Senin saya jualan sayur, ubi-ubian, pisang, lombok di pasar malam di Desa Bangun Rejo (desa tetangga). Kalau makan ada saja, enggak ada beras bisa makan ubi, tapi biaya anak sekolah ini agak sulit,” keluhnya.
Kondisi ini dipersulit sejak ada pandemi Covid-19 dan pasar malam pun ditutup. Terpaksa ia harus menjual hasil kebun ke sejumlah pasar tradisional di Samarinda dan Tenggarong.
“Yang kami sulit itu menyekolahkan anak-anak. Kalau makan, apa saja bisa kami makan dari hasil kebun,” tuturnya
Kendati dengan kisah sedihnya, Berta tak berharap belas kasihan.
Ia mengaku ikhlas menjalani profesinya sebagai guru demi mencerdaskan generasi bangsa.
Bertemu monyet hingga ular kobra di jalan
Untuk sampai ke sekolah, Berta melewati kebun dan kawasan tanpa hutan. Setelah melewati kebun, ia memasuki kawasan tanpa hutan.
Kiri kanan jalan hanya terlihat rerumputan dan pepohonan. Suasana sepi, hanya terdengar suara burung dan nyanyian hutan.
Sesekali ia melewati jalur menanjak, menuruni bukit, dan melintasi bebatuan.
“Kalau tidak hati-hati, bisa jatuh,” Berta mengingatkan saat kami menanjaki jalan berbukit.
Ketika hujan, kata Berta, jalan tanah ini licin dan lengket.
Biasanya, ia menggunakan payung ke sekolah ketika hujan. Tak jarang, Berta menemui ular kobra, monyet, bahkan orangutan.
“Monyet paling sering ketemu. Orangutan dan ular jarang-jarang, tapi ular di sini rata-rata berbahaya, ular kobra. Tapi, syukur sejauh ini saya aman saja,” harap Berta.
Awal mengajar pada 2009, Berta jalan kaki bersama anaknya, Emanuel.
Saat itu Emanuel masih berusia lima tahun. Tiap pagi Berta membawanya ke sekolah.
Keduanya menyusuri jalan sejauh 5 kilometer ini sampai sang anak masuk SD hingga lulus di sekolah itu.
Kini, Emanuel sudah duduk di bangku SMK dan pindah tinggal di Samarinda bersama tante atau adik Berta.
Karena itu, hanya Berta seorang diri yang kini masih bolak-balik dari rumah ke sekolah.
Menuju sekolah, Berta mengaku butuh waktu satu setengah sampai dua jam jalan kaki.
Ia biasanya berangkat dari rumah pukul 04.30 Wita dan tiba di sekolah pukul 07.30 Wita.
Selesai mengajar, Berta pulang sekitar pukul 12.00 Wita atau 13.00 Wita.
Ia akan tiba di rumahnya sekitar pukul 16.00 Wita sampai 17.00 Wita.
Bekal nasi yang ia bawa kadang dimakan langsung di sekolah setelah jam pulang.
“Kalau jalan sudah terlalu capek kadang lapar, saya makan di perjalanan. Istirahat sebentar makan dulu, baru lanjut jalan lagi,” tutur Berta.
“Karena jalan siang itu lebih cepat capek ketimbang pagi hari. Karena itu, sampai rumah agak lambat,” kata Berta.
Begitu tiba di rumah, Berta mengaku langsung tertidur karena lelah. Ia sudah tak sempat membantu suami di kebun ataupun mengurusi dapur.
“Setelah bangun baru masak-masak,” ucap Berta.
Rumah tanpa penerangan
Saat ini Berta dan suaminya tinggal di pondok milik warga yang jaraknya kurang 2 kilometer dari sekolah.
Tak ada listrik di rumah ini, keduanya menggunakan penerangan lampu pelita di malam hari.
“Sebenarnya masih jauh juga, tapi daripada lima kilo, lebih baik satu kilo lebih," tutur Berta.
Pondok yang kini ditempati Berta bersama suaminya terbuat dari kayu.
Tampak banyak anjing peliharaan yang menjadi penjaga pondok. Suami Berta membuka kebun ubi-ubian di sekitar pondok.
Menuju pondok ini, Berta masih menyusuri jalan yang sama, tetapi lebih dekat dari jarak sebelumnya.
Dia memotong jalan melintasi bukit bebatuan, menuruni tanjakan, dan melintasi beberapa kebun warga.
“Di tempat yang batu-batu itu ada ular. Sepertinya berada di lubang-lubang batu. Saya pernah lihat besar sekali. Saya paling takut lewat di situ, tapi itu cuma-cuma satu-satunya jalan,” terang Berta.
Beratnya medan ini kadang membuat Berta putus asa. Berta mengaku sempat terlintas di benaknya ingin berhenti mengajar dan fokus membantu suami menjual hasil kebun di pasar.
Namun, saat membayangkan wajah anak muridnya, Berta kembali luluh. Ia tak tega meninggalkan anak-anak di sekolah tersebut.
“Saya kadang capek jalan kaki. Makin tua, sudah tidak kuat lagi, saya hampir menyerah, tapi kasihan anak-anak,” kenang Berta.
Karena alasan itu, Berta bertahan mengajar hingga saat ini, meski tiap hari harus berjalan kaki menuju sekolah.
Mengajar di tiga kelas
Di sekolah itu, Berta mengajar murid kelas I, II dan III. Jumlah murid tiga kelas ini tujuh orang, yang terdiri dari kelas I tiga orang, kelas II satu orang, dan kelas III tiga orang.
Murid tiga kelas ini digabung dalam satu ruang kelas dan Berta ditunjuk sebagai wali kelas.
Sementara itu, tiga kelas lainnya, yaitu IV, V, dan VI, wali kelasnya adalah Herpina (27).
Sekolah ini hanya punya dua guru honor, yakni Berta dan Herpina, dengan jumlah 17 murid.
Karena gedung sekolah hanya punya dua ruang kelas, masing-masing ruang ditempati tiga kelas.
Tempat duduk para murid dipisah berdasarkan tingkatan kelas. Melihat kondisi sekolah tempat Berta mengajar jauh dari kesan layak.
Terlihat seng atap ruang kelas yang penuh karat ditambah keramik dan fondasi bagian belakang gedung yang sudah retak.
Bangunan berusia 25 tahun ini jadi satu-satunya bangunan beton di kampung ini.
Sekolah ini induknya di SDN 004 di Kota Samarinda. SD Filial dibangun Pemkot Samarinda untuk kegiatan belajar mengajar anak-anak di kampung ini.
Sebab, letak kampungnya jauh dari sarana pendidikan. Jarak Samarinda menuju kampung ini sekitar 25 kilometer.
Kampung yang dihuni sejak 1982 memiliki luas sekitar 11 hektar.
Kini, sudah ada 64 kepala keluarga yang bermukim di kampung ini yang rata-rata berprofesi bertani dan berkebun.
Tahun 2000-an, Pemkot Samarinda memasukkan kampung jadi wilayah administrasi Samarinda karena beberapa RT dinilai lebih dekat.
Pemkot Samarinda juga membuka jalan penghubung menuju kampung ini dari Samarinda melewati jalur Batu Besaung.
Namun, belakangan proyek semenisasi jalan disetop dan muncul tarik ulur perebutan wilayah dengan Pemkab Kutai Kertanegara
Konflik berakhir pada 2012 setelah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak kala itu mengeluarkan SK Nomor 136/590/BKPW-C/I/2012 tentang kepemilikan wilayah oleh Pemkab Kutai Kartanegara.
Keputusan ini memberi konsekuensi nasib SDN Filial.
Aset gedung sekolah dipunyai oleh Pemkot Samarinda, tetapi lahan milik Pemkab Kutai Kertanegara.
Sampai saat ini kasus itu masih menggantung. Pemkot Samarinda mengaku khawatir perbaikan gedung sekolah karena aset berdiri di lahan Pemkab Kukar.
Terlepas dari polemik kepemilikan lahan, letak sekolah yang jauh dan akses masuk yang sulit membuat guru-guru yang mengajar di sekolah ini tidak bertahan lama. Berta mengaku, ia tak bisa berharap banyak dari pemerintah soal peningkatan status.
“Mau tes PNS umur sudah tua. Tidak ada kesempatan lagi, jadi jalani saja saat ini,” ungkap Berta pasrah.