Hikmah Ramadan 2021
Ketua Komisi MUI Jatim, Moh Ersyad: Puasa dan Kerukunan Umat Beragama
Di penghujung Ramadan kali ini sudah seharusnya kita mengisi keseharian dengan aktivitas ibadah terbaik.
Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah dan Hubungan antar Umat Beragama MUI Jatim, Moh Ersyad
SURYAMALANG.COM - Di penghujung Ramadan kali ini sudah seharusnya kita mengisi keseharian dengan aktivitas ibadah terbaik.
Amal yang berhubungan dengan ibadah mahdlah yakni murni berhubungan dengan Allah SWT, maupun yang menyentuh kehidupan sosial.
Hal tersebut penting untuk terus digelorakan sebagai bentuk syukur karena kita diberikan kesempatan dan kurnia demikian agung yakni hidup di bulan penuh berkah ini.
Rasa syukur tersebut tentu saja harus semakin ditingkatkan dalam konteks keberadaan umat Islam yang berada di Indonesia.
Mengapa? Karena sudah sepantasnya dan seharusnya selalu bersyukur tiada kira karena diberikan hidup di tengah warga negara Indonesia.
Indoensia merupakan negara dengan keragaman yang sangat kompleks di dalamnya.
Pasalnya, di negeri yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau itu hidup 260 juta manusia dengan latar belakang ratusan suku dan bahasa, serta puluhan agama dan kepercayaan.
Di negeri yang kita huni sekarang, kita sebagai umat muslim bebas melaksanakan ibadah dengan aman dan nyaman, tidak ada larangan dari siapa pun.
Hampir tidak ada daerah yang tidak ada masjid maupun mushala. Adzan berkumandang keras di semua masjid dan langgar, tidak ada aturan negara yang melarang.
Hari besar agama Islam dihormati bahkan sampai meliburkan jam kerja kantor dan sekolah: hari raya Idul Fitri, Idul Adha, peringatan Maulid Nabi, Isra’ dan Mu’raj, tahun baru hijriah, dan lain sebagainya.
Terdapat sinergi antara aturan agama dan negara. Belum lagi tentang peribadatan haji di Makkah yang dimediatori oleh pemerintah, penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan lain-lain, hingga urusan menikah dengan adanya KUA, undang-undang perkawinan, pengadilan agama dan sejenisnya.
Semua ini kita akui atau tidak adalah sesuatu yang sangat mendukung keberislaman di atas bumi pertiwi ini.
Menyadari Kemajemukan
Sudah menjadi fakta bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai penduduk majemuk, tidak hanya terdiri dari satu agama, satu suku, dan satu ras saja, tapi multiagama, multisuku, dan multiras.
Sementara ini, kita diberikan pertolongan oleh Allah untuk hidup yang relatif damai, rukun berdampingan tanpa ada perseteruan berarti.
Perlu diketahui bahwa Rasulullah Muhammad SAW dalam menjalani kehidupannya baik di Makkah maupun di Madinah juga di tengah kondisi sosial masyarakat yang majemuk.
Mereka ada yang muslim dan kafir. Di Makkah, Rasulullah dicemooh, dihina, diludahi, dilempari batu saat salat, dianggap berbohong, dituduh sebagai tukang sihir, dan lain sebagainya.
Karena tidak ada perintah dari Allah, Rasulullah bertahan dalam kondisi demikian selama 13 tahun, tanpa melawan.
Begitu pula saat di Madinah. Masyarakat Madinah juga tidak seratus persen muslim. Kabilah dan suku pun beragam.
Semuanya bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah. Bahkan, dalam kisah yang masyhur, saat Rasulullah kembali ke rahmatullah, ada satu pakaian zirah atau baju perang milik Rasul yang masih digadaikan kepada seorang Yahudi.
Artinya, Rasulullah bisa berdampingan dengan mereka dalam urusan tatanan sosial kemasyarakatan. Adapun urusan tauhid, sudah jelas bahwa Rasulullah selalu mengajak mengesakan Allah , tidak hanyut atau terbawa dengan masyarakat sekitar.
Akan tetapi dalam ranah berkehidupan dalam masyarakat, Rasulullah ketika berkuasa, tidak lantas menumpas habis orang kafir yang ada.
Ketika ditawari malaikat untuk menimpakan gunung Uhud kepada orang-orang yang membangkang, Rasulullah tidak berkenan.
Kata Rasul, barangkali nanti, apabila tidak orang tuanya yang masuk Islam, anak-anaknya kelak akan masuk Islam.
Padahal, Rasulullah bisa saja berdoa sebagaimana yang dilakukan Nabi Nuh supaya umatnya tenggelam, atau tertimpa bencana besar.
Itulah keistimewaan Nabi Muhammad, tidak melakukan hal tersebut.
Melalui akhlak Nabi-lah, Umar bin Khattab yang semula sangat memusuhi Islam, Khalid bin Walid yang ganas melawan Islam, begitu pula Wahsyi, seorang budak yang membunuh paman Nabi Muhammad saat perang Uhud, akhirnya juga masuk Islam di kemudian hari.
Tak hanya itu, Umar bin Khattab juga menjadi mertua Rasulullah, juga menjadi amirul mukminin, khalifah kedua setelah Rasulullah tiada.
Khalid bin Walid di kemudian hari justru menjadi panglima perang umat Islam waktu itu.
Belum lagi Abu Thalib, paman Nabi yang secara lahiriah belum beriman hingga wafat.
Selama hidupnya, Abu Thalib justru sangat akrab, malah menjadi pelindung dakwah-dakwah Nabi Muhamamd.
Hingga ajal menjemput, tidak ada sejarahnya Nabi Muhammad membenci atau memusuhi sang paman atas dasar kekafirannya.
Paman yang lain, Abu Lahab, diperangi bukan murni karena tidak iman kepada Allah, melainkan karena ia memerangi Nabi Muhammad.
Pada masa Rasulullah, terjadinya peperangan bukan murni karena perbedaan keyakinan.
Buktinya, dalam konsep kewarganegaraan di antaranya dikenal dengan istilah kafir harbi yang menyerang keselamatan jiwa orang muslim; ada pula kafir dzimmi yang wajib mendapat perlindungan pemerintah lantaran taat pada aturan masyarakat yang berlaku dan tidak melawan orang Islam.
Kafir dzimmi layak mendapatkan hak-hak jaminan keselamatan dari orang muslim.
Terjadinya perang Badar bukanlah berawal dari permusuhan muslim dan non-muslim, tapi kelompok Nabi Muhammad yang sedang ingin mengambil hak-haknya yang dirampas kafir Quraisy di Nakhlah, tepatnya di dekat sumur Badr.
Sekitar seribu pasukan kafir Makkah menyerang Nabi Muhammad yang tidak bersiap perang dengan jumlah teman sekitar 312 orang saja dengan pasukan berkuda sekitar dua orang.
Karena dari awal, kelompok Nabi Muhammad bukan dalam rangka siap perang. Meskipun satu melawan tiga hingga empatorang, Allah memberikan kemenangan kepada Nabi Muhammad beserta para sahabatnya.
Berikutnya adalah perang Uhud. Perang Uhud tidak berawal murni dari sentimen agama, tapi karena kafir Makkah ingin membalas dendam kekalahan yang mereka derita dalam perang Badar.
Belum lagi misalnya perang Khandaq, atau perang parit. Nabi Muhammad berserta orang-orang Madinah mengalami embargo ekonomi, kehidupan Madinah dibuat paceklik oleh orang kafir dari luar.
Pada saat orang Madinah akan diserang, atas usul Salman Al-Farisi, Nabi dan para sahabat bergotong royong membuat parit, mengelilingi kota Madinah dengan tujuan kuda perang yang dibawa musuh, ketika hendak masuk Madinah, pasti akan terjun ke parit terlebih dahulu sehingga mudah dikendalikan.
Selain embargo, ada pula perang yang dipicu lantaran orang kafir mengingkari janji perdamaian yang dibuat, dan lain sebagainya.
Artinya, peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah tidak murni karena sentimen agama. Dari segi keyakinan, muslim di Indonesia memang harus yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah agama yang benar.
Namun, dalam tataran sosial, kita perlu berinteraksi atau bermuamalah dengan baik kepada siapa saja, apa pun keyakinannya. Demikian lah yang dicontohkan di masa Rasulullah.
Menjaga Indonesia
Dengan adanya contoh seperti ini hendaknya kita semua sebagai warga negara Indonesia, mari, jangan mudah terprovokasi dengan sentimen-sentimen keagamaan, suku maupun ras.
Kita menjalankan syariat agama di Indonesia terlindungi undang-undang, kita diberi kebebasan. Oleh karena itu, marilah terus jaga Indonesia.
Jika kita menjaga Indonesia, secara otomatis sedang melindungi umat muslim se-Indonesia untuk bebas melaksanakan ajaran agamanya.
Namun apabila kita mudah tersulut emosi sesaat sehingga mudah terprovokasi dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, apabila terjadi perang saudara, yang rugi adalah kita semua.
Kita tidak bisa bebas leluasa menjalankan ibadah, semua diawasi, dikekang, ada jam malam dan lain sebagainya.
Kasus Papua belakangan ini, seharusnya memberikan pelajaran bagi kita, sekecil apa pun perbedaan pandangan, sebagai masyarakat sipil biasa, jangan mudah melawan dengan jalan-jalan inkonstitusional.
Mari kita bersatu dalam bingkai keislaman kita yang terwadahi dengan wadah rumah bernama Indonesia.
Karenanya yang mendesak dilakukan saat ini adalah perlunya menjaga kerukunan di tengah kompleksitas perbedaan yang sudah menjadi keniscayaan ini.
Dengan demikian kerukunan dalam kebinekaan ini harus terus kita jaga sebagai wujud dari implementasi ajaran agama juga sebagai komitmen anak bangsa untuk melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa ini.
Hakikatnya, tidak ada agama yang menghendaki perpecahan, mengajarkan permusuhan, apalagi mengajak saling bertikai.
Oleh karenanya, Islam memandang kebinekaan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah. Sekalipun mampu, Allah tidak menjadikan segenap manusia secara seragam, melainkan beragam.
Hal itu didasarkan berdasar atas firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 99: Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
Maksud manusia diciptakan secara beragam itu bukan untuk saling menegasikan, saling berperang, melainkan untuk saling mengenal, saling kolaborasi, saling kerja sama, untuk menjalankan amanah dan mandat Allah kepada manusia sebagai penguasa yang bertanggung jawab di muka bumi ini.
Karena itu, Islam memberikan jaminan akan tumbuh kembangnya kebinekaan. Hal tersebut tentu saja berujung kepada mengajak seluruh pemuka agama untuk bersama menjaga kedamaian dan kerukunan di Bumi Pertiwi.
Saatnya seluruh pemuka agama untuk saling bergandengan tangan, bekerja sama untuk menciptakan Indonesia dan dunia yang damai, tenteram, dan rukun.