Berita Batu Hari Ini
Pengacara SPI Kota Batu Bantah Pengakuan Alumnus yang Jadi Korban Kekerasan
Pengacara Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Recky Bernadus Surupandy membantah keterangan adanya tindak kekerasan terhadap pelajar.
Penulis: Benni Indo | Editor: Zainuddin
SURYAMALANG.COM, BATU – Pengacara Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Recky Bernadus Surupandy membantah keterangan adanya tindak kekerasan terhadap pelajar.
Hal itu disampaikan Recky menjawab pertanyaan adanya pengakuan seorang narasumber terkait pengalamannya pahitnya kepada media massa.
"Itu sama sekali tidak benar, maka dari itu saya juga tengah mengumpulkan bukti-bukti, keterangan-keterangan," kata Recky kepada SURYAMALANG.COM, Kamis (3/6/2021).
Dia mengatakan, kalau yang disampaikan narasumber mengenai pengalaman pahitnya itu benar, maka tidak menunggu sekarang, sudah sedari dulu SPI bubar.
"Jika memang terjadi kekerasan seksual, fisik dan eksploitasi ekonomi pasti juga bakalan dikeroyok oleh warga," jelasnya.
Di sisi lain, Recky juga menyebut adanya sejumlah pelajar yang dikeluarkan karena melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut antara lain mencuri.
"Nah, apakah yang mengadu saat ini adalah salah satu siswa yang kami keluarkan karena pelanggaran? Maka dari itu harus pilah-pilah lagi," terangnya.
Tindak kekerasan seksual sering terjadi tanpa banyak diketahui orang. Selain itu juga ada faktor relasi kekuasaan yang membuat korban tidak berani buka suara.
Menanggapi hal itu, Recky menegaskan kalau SPI bukan sekolah yang tertutup.
"Sekolah itu bukan sekolah yang tertutup untuk akses informasi dari pihak luar. Dalam arti, di situ juga ada pegawai-pegawai dari luar yang bekerja."
"Anak-anak bisa berkomunikasi secara langsung. Bahkan juga bisa berkomunikasi dengan tamu-tamu. Kalau memang benar terjadi hal seperti itu, apa sulitnya untuk mengadu kepada mereka," jelasnya.
Recky mengatakan, kliennya masih belum mendapat panggilan dari Polda Jawa Timur untuk dimintai keterangan.
Recky menegaskan juga kalau pihaknya berkomitmen menolak kekerasan terhadap anak. Jika ada orang yang merasa dirugikan atau menjadi korban atas suatu perbuatan pidana, maka ia berhak untuk melakukan upaya ke jalur hukum.
"Namun juga wajib menyertakan bukti-bukti karena hal itu yang akan diuji," terangnya.
Saat ini, Recky tengah mengumpulkan sejumlah alat bukti sebagai bahan perlawanan terhadap laporan Komnas PA ke Polda Jatim beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, bukti-bukti yang dikumpulkan cukup kuat.
"Insyallah bukti yang kami kumpulkan kuat dengan didukung keterangan-keterangan lain," terangnya.
Sebelumnya, seorang alumni SPI bercerita, bahwa keterangan yang disampaikan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait tidak sepenuhnya salah.
"Saya pernah sekolah di SPI lalu lulus dan bekerja di sana," ujarnya.
Dengan tertatih-tatih, ia bercerita pengalaman buruknya selama berada di SPI.
Ia menceritakan bagaimana rasanya mendapat tindak kekerasan dan eksploitasi ekonomi.
"Selama sekolah di sana saya pernah mengalami kekerasan. Saya ketakutan untuk menceritakan."
"Kami memang mengalami kekerasan. Apa yang diberitakan adalah benar. Iya itu benar beritanya," ungkapnya.
Keputusannya keluar dari SPI juga didasari atas tindakan kekerasan yang ia alami.
Ia pun mengaku tidak menerima gaji meski dianggap sebagai pekerja di sana.
"Saya keluar karena ada yang tidak beres. Mula dari kerja dan gaji. Kalau orang kerja itu maksimal 8 jam, di sana lebih dari itu. Sangat lebih."
"Gaji tidak mencukupi tidak apa, tapi karena saya manusia, saya butuh istirahat. Saya merasa kerja rodi di sana," bebernya.
Tak hanya itu, diungkapkannya, sistem SMA SPI ada yang tidak benar. Siswa diminimalisir untuk berinteraksi dengan orang luar.
Seolah-olah, SPI membentuk lingkungan tersendiri untuknya. Bahkan ia menceritakan pernah diajak ke Surabaya oleh pemilik sekolah ketika ada try out di sekolahnya.
"Jujur saya takut komentar lebih dalam. Saya tahu semuanya," terangnya.