Kisah Inspiratif Dosen Muda UGM Rifky, Pernah Gagal UN tapi Lulus dari Oxford dan Harvard
Meski pernah gagal dalam UN, namun siapa sangka Rifky, begitu panggilan akrab dosen muda UGM ini bisa lulus dari Oxford dan Harvard
SURYAMALANG.COM - Kegagalan bukan akhir segalanya. Inilah yang dialami dosen muda UGM, Muhammad Rifky Wicaksono, SH, MJur (Dist), LL.M.
Meski pernah gagal dalam Ujian Nasional (UN) saat SMA, namun siapa sangka Rifky, begitu panggilan akrab dosen muda UGM ini bisa lulus dari universitas terkemuka dunia, yakni Oxford University dan Harvard University.
Pria kelahiran Yogyakarta 28 tahun silam ini berhasil lulus dengan mengantongi dua penghargaan Dean’s Scholar Prize karena mendapatkan nilai tertinggi untuk dua mata kuliah, yaitu Mediation dan International Commercial Arbitration.
Dia juga mendapatkan predikat Honors untuk tesisnya yang merumuskan "theory of harm" baru untuk hukum persaingan usaha Indonesia dalam menganalisis merger di pasar digital.
Baca juga: Bank Indonesia Buka Lowongan Besar-Besaran Hingga 14 Juni 2021, Begini Cara Pendaftarannya yang Sah
Tahun ini, dosen yang akrab disapa Rifky menjadi satu-satunya orang Indonesia yang lulus dari program Master of Laws Harvard Law School atau lebih dikenal sebagai almamater mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.
"Alhamdulillah, sangat bersyukur bisa menyelesaikan studi dalam waktu 10 bulan dan wisuda kemarin Mei," ucap dia melansir laman UGM, Kamis (10/6/2021).
Sebelumnya, Rifky juga berhasil menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Magister Juris dari University of Oxford pada 2017 melalui beasiswa Jardine Foundation.
Di kampus itu, dia mengharumkan nama bangsa dengan meraih penghargaan Distinction yang merupakan predikat akademik tertinggi untuk studi magister hukumnya.
Sebuah pencapaian yang luar biasa dan tentunya melalu perjuangan yang tidak mudah menyabet dua gelar dari dua kampus terbaik dunia.
Namun siapa sangka di balik pencapaian akademisnya, ada kisah kegagalan saat menempuh studi. Dia sempat gagal dalam Ujian Nasional (UN) saat SMA.
Rifky menceritakan, dirinya terlalu terlena menyiapkan diri mengikuti lomba debat internasional.
Sehingga membuat dirinya lengah untuk belajar, berjuang, dan bekerja keras mempersiapkan UN.
"Gagal UN waktu itu menjadi salah satu titik balik kehidupan saya. Saya belajar bahwa kesuksesan tidak bisa instan dan hanya mengandalkan bakat. Perjuangan kita saat menjalani proses itu ternyata lebih penting," tutur dia.
Saat tidak lulus UN di SMA, bilang dia, rupanya menjadi peringatan dari Tuhan untuk menyadarkannya dalam memaknai arti kesuksesan.
Dia akhirnya sadar jika bakat dan kecerdasan saja tidak cukup untuk menghantarkan pada kesuksesan.
"Bakat dan kecerdasan tidak cukup menjadikan seseorang sukses kalau tidak diasah. Tetap harus berjuang, bekerja keras, dan berdoa," tegas dia
Belajar dari kejadian itu, membuat Rifky berjuang dan bekerja lebih keras. Alhasil, dia bisa masuk FH UGM pada tahun 2010.
Setelah lama menimba ilmu di UGM, dia akhirnya lulus di tahun 2014 dengan nilai IPK nyaris sempurna, yakni 3,95.
Setelah lulus dari UGM, dia diterima bekerja di firma hukum ternama, yakni Assegaf Hamzah and Partners.
Setelah bekerja selama satu tahun, Rifky memutuskan untuk kembali mengabdikan diri di almamater tercinta menjadi asisten dosen.
Pasalnya, Rifky ingin berkontribusi dalam mendidik generasi masa depan FH UGM yang cemerlang dan berintegritas.
Lalu pada 2016, dia mencoba peruntungan mengikuti seleksi beasiswa Jardine Foundation yang berhasil meluluskannya studi S2 di Oxford pada 2017.
Selepas lulus dari Oxford, dia menjadi dosen tetap di FH UGM.
Kemudian, dia kembali memutuskan untuk kembali memperdalam ilmu dengan mendaftar S2 ke Harvard pada tahun 2020.
Jalan untuk menembus Harvard tidak mudah, termasuk memperoleh jalur beasiswa bagi yang sudah pernah S2.
Umumnya bantuan beasiswa hanya diberikan bagi mereka yang belum pernah mengambil studi S2.
Namun, kondisi tersebut tidak mematahkan semangatnya untuk terus berusaha.
Baca juga: Skema Formula Gaji PNS Dirombak, Berapa Besaran Kenaikannya, Simak Berikut!
Hasil tak pernah mengkhianati usaha. Belajar dari kegagalannya dulu, dia dengan gigih mengejar mimpinya.
Akhirnya, dia berhasil memperoleh beasiswa pendidikan dari Harvard.
"Saya akhirnya juga bisa lulus dari Harvard, tapi belum pernah menginjakkan kaki disana. Gelarnya dari Harvard, tetapi kuliah dari rumah di Maguwoharjo Sleman," ungkap dia sambil tertawa.
Situasi saat kuliah di Harvard, sambung dia, pada masa pandemi Covid-19. Sehingga memaksa sebagian besar kampus di dunia menutup kuliah tatap muka dan diganti secara daring, termasuk Harvard.
Kuliah online
Dia mengaku kuliah secara daring atau online mempunyai tantangan berat.
Hal terberat yang dirasakannya adalah adanya perbedaan waktu yang cukup besar antara Indonesia dengan Amerika sekitar 11-12 jam.
Oleh sebab itu, mau tidak mau dia harus menyesuaikan diri mengikuti waktu perkuliahan di Amerika.
Selain itu, dia mengatakan beban kuliah di Harvard juga cukup tinggi.
Dia mencontohkan, untuk bacaan wajib mahasiswa setiap minggunya sekitar 300-400 halaman.
Namun, dengan pengalaman sebelumnya yang diperoleh saat menempuh studi di Oxford sangatlah membantu.
"Menantangnya kalau sekarang adalah bagaimana menyeimbangkan dengan peran sebagai suami dan ayah, berbeda saat dulu di Oxford masih single," terang dia.
Dia berpesan kepada generasi muda, agar terus berani bermimpi dan jangan takut gagal. Justru, dari kegagalan bisa banyak belajar dan menjadi lebih baik.
"Saya sempat gagal UN pas SMA. Justru kegagalan bukan musuh kita. Musuh sebenarnya adalah ketakutan atas kegagalan. Maka beranilah bermimpi, sebab kemajuan bangsa ada ditangan orang yang bermimpi besar dan rela jatuh bangun," pungkas dia. (Kompas.com)
Baca juga: Kepala Desa di Jember Ketahuan Main Narkoba , 4 Kades Diringkus Anggota Polda Jatim Sekaligus
Baca juga: Heboh Amanda Manopo Pamit dari Twitter dan Instagram Jadi Sorotan Pakar, Sebut Tiga Kemungkinan
