Hikmah Ramadan - Dari Gunung Cahaya Menuju Lailatul Qodar
PERUBAHAN besar sedang dipersiapkan dan peradaban mulia dipancangkan dari sebuah pegunungan.
Oleh: Suparto Wijoyo
(Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & SDA MUI Jawa Timur)
PERUBAHAN besar sedang dipersiapkan dan peradaban mulia dipancangkan dari sebuah pegunungan.
Terdapat tanda-tanda sepermulaan bahwa gunung sejatinya bukan sekadar gumpalan tanah melainkan kristalisasi nilai yang memadatkan materi untuk menjadi paku bumi.
Berbagai referensi dapat dirujuk dan berlembar ayat boleh disimak bahwa gunung-gunung itu memanglah peneguh bumi. Gunung itu peredam guncangan sekaligus pembuncah kesuburan, karenanya dari erupsinya, bumi memanen larva bagi kehayatan tetumbuhannya.
Dengannya itulah sumber pangan tersedia dan seluruh umat manusia maupun flora-fauna dengan segala jenis primata mampu menjalankan peran kehayatannya.
Ada ruang dialog sekaligus menantang daya pikir manusia dengan ungkapan telak: "adakah dalam ciptaan-Ku ini yang tidak seimbang"?
Bertadaruslah Alquran agar dapat memanen banyak hikmah, mengingat firman Tuhan itu manifestasi paling kasat mata (“positivisme”) nan paling komprehensif atas ajaran-Nya.
Gunung itu menyimpan misteri sekaligus kekayaan inspiratif membangun sejarah. Gunung merupakan makhluk yang pernah ditawari menjadi 'khalifah' untuk memakmurkan bumi bersama dengan hamba-hamba lain sebelum Allah SWT menciptakan manusia.
Semua menjawab penuh santun tentang 'ketidaksanggupannya' menjadi khalifah fil ard, pemimpin di dunia. Namun rekam jejak historisnya, ternyata gunung diikutsertakan Tuhan dalam mendesain peradaban mulia (akhlakul karimah).
Dari Gunung Cahaya
Salah satu gunung yang darinyalah perubahan peradaban yang penuh keagungan itu dikonstruksi Tuhan. Itulah Jabal Nur, Gunung Cahaya, gunung yang berjarak sekitar 2 mil saja dari Makkah.
Gunung ini tampak seperlemparan pandang terlihat sederhana, tetapi sangat memukau bagi yang jeli menelisik dengan mata sukmanya.
Di puncak Jabal Nur inilah ada tebing dalam lereng yang sulit diraih yang menyediakan 'ruang pewahyuan': Gua Hira. Sebuah gua yang sempit dan jauh dari tingkat kenyamanan kamar-kamar kaum modernis, apalagi dibandingkan dengan room hotel berbintang.
Gua Hira hanya berukuran: panjang 1,8 meter dan lebar 0,8 meter. Di sinilah Kanjeng Nabi Muhammad SAW, Muhammad bin Abdullah, satu-satunya manusia yang mendapatkan gelar Al-Amin (jujur-terpercaya) dari bangsanya itu 'menyatukan diri bersama alam'.
Beliau menempuh jelajah hening, ruang sunyi, sisi tepi, dan pusat energi yang imun dari gemerlap duniawi.