Berita Tulungagung Hari Ini

Bendungan Waringin Sapta di Sidoarjo Abad Ke-11 Disebut Pengaruhi Desa Ringinpitu di Tulungagung

Nama Desa Ringinpitu Kecamatan Kedungwaru di Tulungagung dikaitkan dengan nama bendungan Waringin Sapta di Sidoarjo abad ke-11 Masehi.

Penulis: David Yohanes | Editor: Yuli A
david yohanes
Arkeolog UM, Dwi Cahyono, saat diundang sebagai narasumber sarasehan "Napak Tilas Adegipun Desa Ringinpitu" yang memakai Dana Desa 2022 pada 3 Desembe 2022. 

SURYAMALANG.COM, TULUNGAGUNG - Arkeolog Universitas Negeri Malang (UM) kelahiran Tulungagung, Dwi Cahyono, mengaitkan nama Desa Ringinpitu Kecamatan Kedungwaru di Tulungagung dengan nama bendungan Waringin Sapta di Sidoarjo abad ke-11 Masehi.

Ringin berarti beringin, pitu berarti tujuh. Waringin juga berarti beringin, sapta berarti tujuh.

Tafsir itu disampaikan Dwi Cahyono saat diundang sebagai narasumber sarasehan "Napak Tilas Adegipun Desa Ringinpitu" yang memakai Dana Desa 2022 pada 3 Desembe 2022.

Menurut Dwi Cahyono, sesuai prasasti Kamalagyan bertarikh 1037, Raja Kahuripan, Airlangga, menguatkan tanggul di wilayah Sidoarjo.

Dalam bahasa Jawa kunoi, nama bendungan itu adalah Waringin Sapta.

"Jadi itu bukan pembangunan tanggul baru. Tapi penguatan tanggul lama, karena berkali-kali jebol," terang Dwi menduga, beringin digunakan untuk menguatkan tanggul," kata Dwi Cahyono.

Setelah dilakukan penimbunan, lalu ditanami beringin agar akarnya membalut timbunan baru.

Keberhasilan Airlangga membangun Waringin Sapta ini yang diduga menginspirasi daerah-daerah lain.

Secara khusus wilayah Sungai Brantas Tulungagung yang saat ini di sekitar Pulotondo.

Di lokasi ini aliran Sungai Brantas terus berpindah-pindah, dan mengancam persawahan warga.

Di lokasi ini lalu dibangun tanggul untuk mencegah aliran brantas pindah, masuk ke persawahan atau permukiman.

"Karena terinspirasi Waringin Sapta yang dibuat Airlangga, maka dinamakan Ringin Pitu (tujuh beringin)," sambung Dwi.

Masih menurut Dwi, Desa Ringinpitu menjadi bagian peradaban lembah Sungai Brantas, yang dalam nama kuno disebut Sigarada.

Wilayah ini mendapat pengaruh sangat kuat dari Gunung Kelut.

Aliran Brantas kerap membawa pasir lahar dingin dari Kelut, hingga jejaknya masih bisa dilihat di kawasan persawahan.

"Ada dua kelokan tajam Sungai Brantas, yaitu di sekitar Pulotondo dan di daerah Kucen Karangrejo. Karena itu keberadaan tanggul sangat penting, karena sungainya terus bergerak," papar Dwi.

Usia peradaban Ringinpitu dan sekitarnya diduga juga sezaman dengan Airlangga.

Hal ini dikuatkan dengan temuan Prasasti Pinggirsari dan Tapan dari era sebelum Jayabaya.

Lalu ada prasasti Pulotondo yang berasal dari era Jayabaya.

Di era Kerajaan Kadiri, kerajaan ini menegakkan hegemoni atas Sungai Brantas.

Daerah di sepanjang alirannya dikuatkan dengan wilayah perdikan.

Dengan demikian perdikan-perdikan ini memberikan dukungan kepada Kadiri.

"Karena Sungai Brantas adalah jalur transportasi utama. Perdikan atau sima itu penting untuk menjaga hegemoni Kadiri atas Sungai Brantas," ungkap Dwi.

Tidak heran saat itu banyak ditemukan desa perdikan yang berbatasan langsung dengan Sungai Brantas.

Permukiman warga pun berkembang di sepanjang aliran Sungai Brantas, Ringinpitu satu di antaranya.

Upaya pengungkapan berdirinya Desa Ringinpitu dinilai Dwi sebagai gerakan pemicu.

Ke depan di harapkan banyak desa Lembah Brantas yang akan menggali sejarahnya.

Sehingga ke depan akan terungkap sejarah Lembah Brantas Tulungagung secara utuh.

"Ini gerakan awal untuk membangunkan dari ketidaksadaran historis. Jika semua desa melakukannya, maka desa-desa di tepi Brantas akan bangkit," pungkas Dwi.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved