Rekor MURI Dokter FK Unair, dr Firas Farisi Buat 68 Publikasi Jurnal Ilmiah Terindeks Scopus

Rekor MURI diberikan sebagai dosen fakultas kedokteran dengan jumlah publikasi ilmiah internasional terbanyak selama studi doktor ilmu kedokteran.

Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM/NUR IKA
REKOR MURI - Penyerahan Rekor MURI di FK Unair kepada Dokter Firas Farisi Alkaff, Ph. D yang menerima rekor MURI usai menerbitkan sebanyak 68 artikel ilmiah teindeks scopus selama masa studi doktoral di Belanda, Minggu (11/8/2025). 

SURYAMALANG.COM, SURABAYA - Catatan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) didapatkan seorang dokter Fakultas Kedokteran  Universitas Airlangga (Unair) Surabaya secara pribadi. 

Adalah Dokter Firas Farisi Alkaff, Ph. D berhasil mencatat prestasi nasional yang diakui MURI itu karena penelitiannya.

Ia menerima penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) usai menerbitkan sebanyak 68 artikel ilmiah teindeks scopus selama masa studi doktoral di Belanda.

Rekor MURI diberikan sebagai dosen fakultas kedokteran dengan jumlah publikasi ilmiah internasional terbanyak selama studi doktor ilmu kedokteran.

“Bidang doktoral saya terkait tranplantasi ginjal. Dari 68 jurnal, 20 persennya meneliti soal transplantasi ginjal,” ujar Dokter Firas Farisi Alkaff usai menerima rekor MURI di FK Unair, Senin (11/8/2025).

Selama menerbitkan jurnal, dokter berusia 31 tersebut, mengaku tidak mudah.

Ia menemui banyak kesulitan dan harus berlama-lama di laboratorium.

68 jurnal itu dikerjakan selama 5.5 tahun selama menempuh Studi Dokter Ilmu Kedokteran (S3) di Groningen Belanda.

“Memilih Groningen Belanda, karena itu transplantasi ginjal besar. Saat ini lebih dari 5.000 pasiennya. Harapannya ilmunya kan sudah cukup matang, ketika Indonesia bersedia transplantasi ginjal, nah bagaimana keberlanjutan, saya sudah ada ilmunya,” ungkapnya.

Dalam perjalanannya, ia juga mengaku banyak tantangan. Apalagi selama pandemi Covid 19 yang memaksa menyita waktu dan tidak bisa menjalankan aktivitas.

Bahkan ada jurnal yang selesai dalam waktu empat tahun.

Sementara paling cepat diselesaikan selama 6 bulan hingga 1 tahun.

Selain itu juga menerima penolakan saat submit jurnal ilmiahnya. 

Namun hal itu bukan mematahkan semangat dr. Firas. Ia juga mengaku tak menganggap proses tersebut sebagai beban.

“Saya merasa penelitian bukan sebuah beban dalam hidup saya, kedua tidak jarang hasil penelitian tidak sesuai hipotesa, penolakan submit, itu bukan sebuah kegagalan. Jangan berkecil hati tentang itu,” ungkapnya.

Halaman
12
Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved