Berita Malang Hari Ini
Kasus Hukum 4 Warga Kota Batu Tebang Pohon Perhutani, Pakar Dorong Restorasi Justice Diprioritaskan
Pengajar hukum pidana Universitas Widyagama Malang, Zulkarnain menilai restorasi justice tetap jadi prioritas sebagai penyelesaian kasus tebang pohon
Penulis: Benni Indo | Editor: Dyan Rekohadi
SURYAMALANG.COM, MALANG - Kasus hukum antara Perhutani dan empat orang warga Dusun Brau, Desa Gunungsari, Kota Batu mendapat perhatian tersendiri dari akademisi bidang hukum.
Pengajar hukum pidana Universitas Widyagama Malang, Zulkarnain menilai restorasi justice tetap perlu didorong sebagai prioritas penyelesaian kasus itu.
Terkait isu persyaratan menanam 10 ribu bibit pohon pinus di dalam kesepakatan penyelesaian kekeluargaan atau restorasi justice kasus itu, Zulkarnain menyebut perlu mengedepankan asas kepantasan.
Baca juga: Kronologis 4 Warga Kota Batu Terjerat Kasus Tebang Pohon Perhutani, Syarat Damai 10 Ribu Bibit Pinus
Kewajiban menanam 10 ribu bibit pohon pinus yang dibebankan kepada para warga yang terlibat kasus itu dinilai terlalu berlebihan.
"Hutan itu kalau misal ditebang, salah satu solusinya reboisasi, maka kemudian ada pemberatan bagi yang melanggar. Misal menebang empat pohon, diganti yang lebih banyak. Nah, tetapi ganti yang lebih banyak itu logis dan pantas."
"Kasus yang menyebabkan kematian saja kadang bisa restorasi justice. Kalau empat pohon yang ditebang minta ganti 10 ribu bibit, pertanyaannya apakah bibitnya ada? Kalaupun ada, mau ditanam di mana?" katanya.
Dalam konteks kasus yang menimpa empat orang warga Dusun Brau, Desa Gunungsari, Kota Batu, perlu dilihat secara pantas.
Zulkarnai mempertanyakan, apakah penebangan empat pohon itu menimbulkan efek yang besar terhadap masyarakat atau tidak?
"Jika dilihat dari segi orang tidak punya hak untuk menebang itu jelas salah. Kemudian, efeknya besar atau tidak?"
"Kalau misalnya efeknya berat dan orangnya tidak mau ditertibkan untuk menimbulkan efek jera, bisa dipidana. Meski begitu, juga perlu diperhatikan, apakah juga tidak dipikirkan misalnya sebagai contoh memberi denda Rp 1 miliar kepada orang yang cari makan saja susah?" ungkapnya.
Zulkarnain menyarankan agar persoalan itu bisa diselesaikan melalui upaya restorasi justice maupun mediasi penal.
Zulkarnain mengatakan, hukum pidana adalah senjata pamungkas, apabila upaya lain belum bisa terselesaikan.
Dipaparkannya, dalam berbagai kasus, ada beberapa alternatif lain yang dikembangkan untuk menyelesaikan kasus pidana, seperti diskresi.
Diskresi dalam konteks hukum ialah kewenangan penyimpangan yang diperbolehkan oleh hukum. Dari kewenangan itu, ada namanya restorasi justice (RJ).
"Artinya RJ ialah mengembalikan pada kondisi semula. Sekiranya ada sengketa, anggap saja belum ada sengketa. Itu namanya RJ, namun karena ada justicenya di belakang, maka yang melakukan adalah pihak berwenang. Maka kemudian, Aparat penegak hukum melakukan RJ dengan cara para pihak dipertemukan dan didamaikan. Aparat sebagai mediator," tegasnya.
Zulkarnain mendorong pihak terkait agar mendudukan hukum pada porsinya.
Zulkarnain juga mengingatkan, hukum bukan soal ketersinggungan, ketersudutan atau yang lainnya.
Menurutnya, setiap masyarakat berhak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan hukum.
Maka seseorang bisa melakukan upaya atas konsekuensi yang dianggapnya terlalu memberatkan atau berlebihan.
"Kadang yang diputus pengadilan saja masih bisa ada upaya hukum, bisa melakukan peninjauan kembali. Apalagi ini masih dalam proses upaya penyelesaian, jadi banyak alternatif yang lebih pantas dan berkeadilan ya boleh saja dilakukan. "
"Siapapun tidak boleh merasa tersinggung atau tersudutkan. Maka dilihat kepantasannya juga, yang penting tujuan hukum itu memberikan efek jera, baik masyarakat pelakunya ataupun umum," urainya.
Diberitakan sebelumnya, empat orang warga Kota Batu menghadapi persoalan hukum karena diduga melakukan penebangan pohon di kawasan hutan RPH Punten BKPH Pujon.
Berdasarkan informasi yang dihimpun di lapangan, empat orang tersebut ialah Rudiyanto, Wijayadi, Abdul Rohim dan Suedi. Mereka ialah warga Dusun Brau, Desa Gunungsari, Kota Batu.
Upaya perdamaian sudah dilakukan, bahkan telah ditandatangani.
Belakangan, kesepakatan perdamaian tersebut dibatalkan sepihak oleh Perhutani.
Kepala Sub Seksi Hukum dan Komunikasi Perusahaan Perum Perhutani KPH Malang, Hadi Mustofa menyatakan batalnya kesepakatan perdamaian tersebut karena adanya isu miring yang menerpa pihaknya pasca kesepakatan.
Hadi tidak mengetahui siapa pihak yang menyebarluaskan isu miring tersebut.
Ia mengatakan, isu miring tersebut terdengar hingga ke pimpinan di Jakarta seperti Penegak Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI serta Direktur Utama Perhutani.
"Setelah kesepakatan itu, informasi jadi bias ke mana-mana. Salah satunya, ada suara bahwasannya kami mengkriminalisasi atau semacam memberatkan para warga," ujar Hadi saat ditemui di Kantor Perum Perhutani KPH Malang, Jl Dr Cipto, No 14.
Salah satu indikasi yang memberatkan warga ialah kewajiban menanam 10 ribu bibit pohon pinus.
Menurut Hadi, keharusan menanam 10 ribu bibit tersebut bukan memberatkan para warga, melainkan sebagai bentuk konsekuensi atas tindakan mereka.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/suryamalang/foto/bank/originals/DOsen-hukum-dari-Universitas-Widyagama-Malang-Zulkarnain.jpg)