Pemilihan Presiden 2024

Jika Jokowi Tetap Salahgunakan Kekuasaan, Protes Akademisi Terus Bergulir dan Semakin Besar

Sejak UGM bersuara, tidak sedikit pihak yang menganggap gerakan kampus sebagai gerakan pesanan dari paslon yang maju pada Pemilu 2024. 

Penulis: sulvi sofiana | Editor: Yuli A
web
ILUSTRASI 

SURYAMALANG.COM, SURABAYA - Semakin banyak kaum intelektual dari kampus-kampus berwibawa yang  mengecam penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran azas-azas demokrasi oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Sementara, para pejabat dari sebagain kampus partikelir cenderung memuji-muji Jokowi tanpa syarat.

Baca juga: Institut Injil Indonesia di Kota Batu Deklarasi Damai, Anggap Jokowi Sudah Bekerja Baik

Fenomena seruan moral dari kaum intelektual itu, menurut Ucu Martanto, SIP MA, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, bukan bentuk politik praktis untuk mengarahkan publik terhadap salah satu paslon. 

Mereka justru sedang menunjukkan kritik atas penyalahgunaan kekuasaan yang dapat memicu kerusakan demokrasi.  

“Sejarah keberadaan perguruan tinggi di Indonesia tidak cuma melahirkan intelektual, tetapi juga menjadi rujukan bagi penguasa terkait persoalan kebijakan publik. Kalau misal penguasa sudah keluar dari jalurnya, perguruan tinggi yang kemudian bersuara. Dalam konteks negara ini, saya kira suara dari perguruan tinggi harus didengar. Saya pribadi melihat suara-suara yang disampaikan oleh para akademisi sebagai bentuk ketulusan mereka,” ujar Ucu.

Ucu menduga gerakan lebih besar akan muncul apabila pemerintah tidak mendengar saran-saran dari para akademisi, apalagi kontestasi pemilu kian dekat. 

Ucu Martanto, SIP MA, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Ucu Martanto, SIP MA, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya


Jika skandal kekuasaan tidak segera direspons dan diselesaikan oleh pemerintah, gelombang protes akan terus bergulir dan berkembang semakin besar. 


Hal tersebut tentu berdampak lebih luas baik secara politik maupun ekonomi. Ucu pun menyarankan agar pemerintah segera merespon suara dari para akademisi.


“Kata politik sebetulnya memiliki dua makna berbeda, yaitu the political dan the politics. The Political berarti sebuah tatanan untuk kebaikan bersama, sedangkan the politics merujuk pada politik sehari-hari atau biasa disebut politik praktis. Politisi itu menjalankan politik praktis dalam kesehariannya, misal di ranah dewan atau legislatif. Di sisi lain, akademisi bukan berada di ranah itu, tetapi di ranah the political. Saya menegaskan bahwa suara-suara kampus menyasar ranah the political,” terang Ucu.  

Sejak UGM bersuara, tidak sedikit pihak yang menganggap gerakan kampus sebagai gerakan pesanan dari paslon yang maju pada Pemilu 2024. 

Namun, Ucu meyakini bahwa gerakan dari kampus tidak merupakan gerakan pesanan. Bagi Ucu, para akademisi yang saat ini sedang menyuarakan hal yang lebih besar dibandingkan sekedar politik praktis.

“Kami saat ini bersuara mengenai tatanan politik, tetapi mereka menganggap suara kami sebagai bentuk dukungan kepada paslon tertentu. Jadi, tidak nyambung kalau gerakan para akademisi dicap sebagai politics, padahal kami bergerak di level the political. Tentu ada pihak-pihak yang mencoba untuk mengkerdilkan gerakan dari para akademisi”, tegasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved