SURYAMALANG.COM, MALANG - Ada beberapa penjelasan mengenai hukum puasa ramadhan untuk ODP dan PDP Covid-19.
Menurut Prof Mudofir Abdullah, Rektor UIN Surakarta ada dua hal yang perlu dicermati menyangkut kondisi ODP atau OTG.
Selain hukum puasa ramadhan untuk ODP dan PDP Covid-19 simak juga ulasan mengenai kewajiban puasa lain.
Jadwal puasa Ramadhan sendiri diperkirakan jatuh pada Jumat (24/4/2020).
Puasa mejadi ibadah yang wajib hukumnya bagi umat muslim sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. Al-Baqarah (2):
183].
Mengutip TribunJakarta.com judul 'Ramadan di Tengah Pandemi Covid-19, Apakah Wajib Hukumnya Bagi ODP dan PDP Menjalani Puasa?'
Berikut penjelasan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, Prof Mudofir Abdullah tentang hukum puasa bagi Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pantauan (PDP).
Dalam tayangan video khusus pada Tribunners (pembaca Tribunnews.com) Prof Mudofir Abdullah menjelaskan jika semua perlu dicermati sesuai kondisi per individual.
Menurut Prof Mudofir Abdullah ada dua pandangan yang bisa dicermati.
"Ada dua pandangan ya. Jika ODP nya lemah dan perlu menjaga stamina tubuhnya dan harus mengonsumsi vitamin atau jamu rutin yang hukumnya tak wajib puasa," kata Prof Mudofir Abdullah dalam penjelasan yang disampaikan di Kampus IAIN Surakarta pada Jumat (17/4/2020).
Sebaliknya mereka yang menunjukkan gejala ringan secara fisik atau bahkan tanpa gejala atau yang dinamakan Orang Tanpa Gejala (OTG) bisa melaksanakan ibadah puasa dan hukumnya wajib.
"Bagi ODP yang masih segar, apalagi tidak menunjukkan gejala, wajib puasa. Tetap menjaga protokol kesehatan seperti dianjurkan pemerintah untuk menekan penularan covid-19 ini," kata Prof Mudofir Abdullah.
Ditekankan Prof Mudofir Abdullah jika Islam menekankan bahwa menjaga fisik dan jiwa yang sehat lebih haq atau utama.
Sementara itu, Dalam buku Tuntunan Ibadah Pada Bulan Ramdhan yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah terbitan 2020 Islam memberikan keringanan dan Boleh Meninggalkan Puasa dengan syarat.
- Siapa saja yang hukumnya tak wajib berpuasa Ramadan?
a. Orang yang sakit biasa di bulan Ramadhan.
b. Orang yang sedang bepergian (musafir).
Dasarnya : “Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ...” [QS. al-Baqarah (2): 184].
c. Orang yang kondisi kekebalan tubuhnya tidak baik, hukumnya disamakan dengan orang yang sakit.
d. Tenaga kesehatan yang sedang bertugas dapat meninggalkan puasanya dan menggantinya di hari lain di luar bulan Ramadhan.
Dasarnya : "Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,..." [QS. al-Baqarah (2) ayat 195].
Majels Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam bukunya [2020:30] menerangkan, ayat tersebut menunjukkan larangan kepada umat Islam untuk menjatuhkan diri pada kebinasaan (keharusan menjaga diri/jiwa).
Tenaga medis yang menangani pasien Covid-19 membutuhkan kekebalan tubuh ekstra dan kesehatan baik fisik maupun non-fisik.
Dalam rangka itu ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa apabila dikhawatirkan jika tetap berpuasa justru akan membuat kekebalan tubuh dan kesehatannya menurun, sehingga mengakibatkan terpapar Covid-19 lebih besar dan berujung pada ancaman kematian.
- Pengganti Puasa
Orang yang boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah 1 mud ( 0,6 kg) atau lebih makanan pokok, untuk setiap hari.
a. Orang yang tidak mampu berpuasa, misalnya karena tua dan sebagainya.
b. Orang yang sakit menahun.
c. Perempuan hamil.
d. Perempuan yang menyusui.
Dasarnya : “Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [QS. al-Baqarah (2): 184].
- Hukum Niat Puasa 1 Bulan Penuh
Hal pertama yang harus diketahui oleh setiap Muslim yang akan melaksanakan ibadah puasa adalah niat.
Niat merupakan salah satu rukun yang harus dilaksanakan agar ibadah puasa menjadi sah.
Redaksi Tribunnews.com, mengutip dari berbagai sumber kitab Fiqh Puasa diantaranya dari kitab Al Fiqhul Manhaji All Madzhabil Imam Syafi’i karangan Dr Musthofal Khin, Dr Musthofal Bugho dan Ali Asy Syarbaji.
Juga kitab Ath Thaqrirotus Sadidah Fil Masailil Mufidah karangan Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Al Kaf menjelaskan sebagai berikut:
1. Niat puasa Ramadan harus disebutkan bahwa ini adalah berpuasa untuk bulan Ramadan untuk membedakan apakah dengan puasa sunnah.
2. Wajib berniat setiap hari karena puasa setiap hari itu ibadah yang terpisah. Tidak cukup niat satu kali untuk sebulan menurut pendapat yang mu’tamad.
Tetapi disunnahkan berniat sekali untuk satu bulan karena ada dua faidah:
1. Sahnya puasa hari yang lupa tabyit niat di dalamnya menurut madzhab Imam Malik.
2. Mendapat pahala yang penuh jikalau meninggal sebelum penuh sebulan, karena mengambil ibarat dari niatnya.
Niat itu dalam hati, dan tidak disyaratkan dilafadzkan, tetapi disunnahkan melafadzkannya untuk membantu hati .
Tabyit niat (niat puasa di malam hari), yaitu antara tenggelamnya matahari hingga terbitnya fajar.
Makan dan jima’ atau berhubungan badan dan semisalnya setelah niat itu tidak membatalkan niat.
Waktu yang utama untuk berniat puasa adalah sepertiga atau separuh malam yang akhir
Lafadz niat puasa Ramadan yang mencukupi menurut pendapat yang mu’tamad adalah:
نويت صوم رمضان
Artinya: “Saya berniat puasa Ramadan”
Lafadz niat puasa Ramadan yang sempurna sebagai berikut:
نویت صوم غد عن أداء فرض الشهر رمضان هذه السنة لله تعالی
Artinya: “saya berniat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta’ala."