Para perajin rata-rata memproduksi kendang jimbe untuk melayani pesanan dari Cina.
Ketika terjadi pandemi yang berawal dari Cina, otomatis permintaan kendang jimbe ikut berhenti karena ada pembatasan ekspor.
"Begitu ekspor dibuka lagi, permintaan kendang jimbe dari Cina datang lagi," katanya.
Tapi, kata Wondo, tidak semua perajin kembali mendapat pesanan kendang jimbe dari Cina.
Pengepul atau buyer yang mengekspor kendang jimbe ke Cina lebih selektif.
Para perajin yang dianggap kualitas produksinya bagus tetap mendapat pesanan kendang jimbe dari Cina.
"Buyer sendiri yang memilih perajin. Kalau produksinya dianggap bagus tetap dapat pesanan. Yang tidak dapat pesanan, akhirnya berhenti produksi," katanya.
Selain itu, menurutnya, soal perubahan harga juga membuat beberapa perajin memilih tidak mengirim kendang jimbe ke Cina.
Sejak terjadi pandemi, harga kendang jimbe yang diekspor ke Cina ikut turun.
Kendang jimbe diameter 40 cm yang biasanya dibeli dengan harga Rp 75.000 turun menjadi Rp 60.000.
"Saya tetap jalan, yang penting masih ada sisa dari biaya produksi. Kalau berhenti, pekerja saya menganggur," katanya.
Selama ini, Wondo memang tidak memproduksi kendang jimbe dalam jumlah besar.
Produksinya stabil sekitar 600 kendang jimbe per minggu.
Sebenarnya, permintaan kendang jimbe dari buyer lebih dari itu.
"Saya menjaga kualitas, tidak mengejar kuantitas. Saya bisa memperbanyak produksi, tapi pasti berpengaruh ke kualitas. Produksi sedikit tidak apa-apa yang penting pesanan lancar terus," ujarnya.