"Fenomena ini memperlihatkan bahwa dasar struktur masyarakat dalam konteks demografi sedang bergerak. Mereka yang lahir tahun 80-an ke bawah, semakin kecil, di atas itu semakin membesar," katanya.
Ia menilai, saat ini masyarakat semakin dewasa dalam memperhitungkan sosok pemimpin. Mereka tidak lagi berbicara masalah latar belakang kedaerahan.
"Kelihatannya, bahwa ikatan primordial di bidang etnis, mengalami penolakan," katanya.
Meski begitu, ia mengakui bahwa isu primordial tak bisa lepas begitu saja pada pemilu, terutama yang berkaitan tentang agama.
Oleh karenanya, sebut dia, kandidat pemimpin masih harus ditopang dengan berbagai hal pendukung, seperti program dan pengalaman.
"Apalagi, pemimpin nasional berlatar belakang dari luar Jawa juga bukanlah baru. Contohnya adalah nama Hamzah Haz serta Jusuf Kalla yang pernah menjadi Wakil Presiden. Figur-figur tersebut justru membuktikan adanya faktor elektoral. Munculnya kandidat pemimpin yang berasal dari luar Jawa, justru bisa jadi penyeimbang," tuturnya.
Menurutnya, keberadaan media massa dan media sosial turut mempengaruhi cara kandidat dalam bersosialisasi.
"Para calon pemimpin ini harus menarik bagi pemilihnya. Ini menarik, karena milenial memiliki kecenderungan untuk tak terlibat secara langsung dalam politik," katanya.
Pengajar FISIP Unair Airlangga Pribadi Kusman mengatakan, kalangan elite partai politik (parpol) harusnya tidak hanya menggunakan jargon, tetapi juga persoalan yang riil atau dekat dengan milenial.
Misalnya, realitas ekonomi politik bahwa milenial sebagian besar saat ini masuk dalam arus besar ekonomi digital. Tiga puluh tiga juta tenaga kerja digital di Indonesia sebagian besar kalangan milenial dan sekarang sedang menghadapi tantangan krisis," kata Airlangga.
Selama ini, persoalan tersebut belum banyak tersentuh optimal oleh kalangan elit politik. Padahal kalangan milenial mendambakan pemimpin yang paham betul persoalan mereka.
Airlangga meyakini isu primordialisme pada Pemilu 2024 bisa berpotensi rontok.
"Meskipun tak dapat dipungkiri primordialisme memang tak selalu berkonotasi buruk. Namun, memang penting untuk diskusi kapasitas dan kemampuan figur," ujarnya.
Sebagai informasi, diskusi tersebut dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi Tribun Jatim Network Tri Mulyono. Acara ini bertujuan mengkaji potensi penggunaan isu primordial pada Pemilu 2024, termasuk dampaknya terhadap elektoral.
Vice General Manager Business Harian Surya Adi Widodo sebagai pihak yang membuka acara berharap diskusi tersebut bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat.