Sang nabipun mengingatkan ummatnya melalui sabdanya yang memperingatkan bahwa musuhmu yang paling berbahaya adalah hawa nafsu yang ada di antara lambungmu, lalu anakmu yang keluar dari tulang rusukmu, istrimu yang kamu gauli, dan sesuatu yang kamu miliki (HR. Al Baihaqi). Itulah perhiasan dunia yang membuat manusia terbuai akan indahnya dunia yang berkelindan dengan keinginan untuk hidup kekal dan abadi sebagaimana yang dilukiskan oleh Ibnu Sina dalam Risalah al-Thayrnya.
Dalam roman yang dotulis oleh Ibnu sina tersebut dikisahkan Ketika sekawanan burung tertangkap oleh pemburu dan dimasukkan kedalam sangkar yang indah serta dilengkapi dengan berbagai jenis makanan dan minuman yang digemari burung-burung tersdebut, maka sekawanan burung itu menjadi terbiasa dan akhirnya jadi tidak tahu lagi bahwa diluar sangkarnya ada dunia yang lebih luas dan lebih indah yang dapat membuat mereka lebih Bahagia. Manusia yang terperangkap dalam jeratan nafsunya juga mengalami amnesia bahwa ada kehidupan surgawi yang menanti dirinya Ketika bisa terbebas dari sangkar kemewahan fatamorgana dunia.
Dalam gambaran yang lebih extrim, manusia yang dikuasai dan dikendalikan oleh hawa nafsunya diibaratkan seperti Binatang yang hina. Firman suci Tuhan pun menegaskan bahwa apakah kalian tidak melihat betapa banyak orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atas hal tersebut, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahaminya, mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu. (QS. Al-Furqan: 43-44)
Demikian bahanya hawa nafsu tersebut apabila menguasai diri manusia sehingga haruslah diperangi dan dikendalikan. Ramadan merupakan momentum tahunan yang dijadikan sebagai wahana manusia untuk berperang dan mengendalikan hawa nafsunya sehingga jiwa manusia akan dikuasai oleh jalan ketakwaan yang membebaskan manusia dari belenggu nafsunya serta membawa diri manusia kepada jalan kebahagiaan dan keselamatan tidak hanya dikehidupan dunia yang singkat ini, akan tetapi lebih dari itu akan membawa manusia menuju puncak kenikmatan kehidupan kekal akhirat Ketika dihamparkan karpet merah oleh Tuhan yang merajai segalanya dengan seruan agungnya Masuklah kalian wahai orang-orang yang telah melakukan Ibadah Puasa Ramadhan dengan selamat dan penuh ketenangan melalui Pintu al-Rayyan yang memang dikhuskan bagi orang yang berpuasa.
Akan tetapi Gambaran orang yang sukses dalam menjalankan ibadah puasa sepanjang Ramadhan tidak tampak pada realitas kehidupan kebanhyakan masyarakat. Puasa Ramadhan yang seharusnya menumbuh kembangkan sikap dan prilaku terpuji seperti tersemainya sikap tawadhu, qona’ah, sabar, jujur, Amanah, wara’, peduli kepada sesama serta sifat-sifat terpuji yang lain tampak remang-remang.
Justru yang tampak jelas dan terang benderang adalah sikap hedonis yang mempertontonkan kerakusan manusia yang dikuasai hawa nafsunya. Realitas yang ada dimasyarakat menunjukkan bahwa Ketika berlebaran Hasrat untuk mengkonsumsi makanan dan hidangan lezzat merupakan keharusan. Hal ini bisa dilihat dari beragam menu makanan lezzat dan nikmat yang tersaji Ketika lebaran. Aneka kue lebaran juga terhidangkan dengan berbagaimacam variannya.
Tidak hanya sebatas makanan, Hasrat memperindah tampilan dengan pakaian dan celana baru dari brand ternama juga menjadi bagaian dari tradisi lebaran kebanyakan masyarakat.
Tampilan yang sudah maksimal tersebut masih dirasa kurang apabila tidak dilengkapi dengan perhiasan, handphone yang terbaru juga alat transportasi yang digunakan semuanya mengarah kepada sikap ujub dan takabbur atas kondisi yang dipertontonkan. Momentum Lebaran dijadikan sebagai festival untuk mempertontonkan kesuksesan duniawi yang sungguh sangat menyipang dari tujuan puasa itu sendiri.
Melihat realitas ini, lebaran yang dikatan sebagai Iedul Fitri yang dimaknai Kembali kepada kesucian yang bebas dari noda dosa seakan tenggelam oleh gegap gempinya pertunjukan yang mempertontonkan lakon pamer kesuksesan duniawi. Hal ini dapat terjadi karena penghayatan terhadap nilai-nilai spiritual puasa tidak dilakukan.
Puasa yang dilakukan hanya sebatas menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum mulai munculnya fajar subuh hingga tenggelamnya matahari diwaktu magrib. Puasa yang dilakukan tidak dibersamai dengan menahan diri dari sifat hasud, iri, dengki, ujub, riya’ takabbur dan semisalnya. Puasa yang demikian itu tentunya tidak akan membawa kepada iedul fitri karena pada hakekatnya mereka tidak melakukan puasa. Mereka hanya mengatur pola dan merubah jam makan serta minum saja tanpa jihad untuk berperang dalam mengendalikan nafsunya secara substantif.
Menjadi Pribadi yang Fitri
Ada ungkapan yang menarik dari Imam Ali bin Abi Thalibyang mengatakan setiap hari di mana kamu tidak melakukan maksiat kepada Allah SWT adalah hari raya. Selaras dengan ungkapan tersebut lebih lanjut dikatan bahwa Idul Fitri bukan milik mereka yang berpakaian baru,akan tetapi milik mereka yang ketaatannya semakinmeningkat.
Idul fitri juga bukan juga milik mereka yang membaguskan busana dan kendaraannya, akan tetapi milik mereka yang diampuni segala dosa-dosanya. Dengan demikian ciri pribadi yang iedul fitri adalah mereka yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah serta semakin meningkat ketaatannya kepada Allah setelah ramadhan berlalu.
Predikat Muttaqien merupakan gelar teologis yang disematkan kepada mereka yang telah menjalani puasa. Firman sucipun menegaskan bahwa kewajiban puasa yang juga diwajibkan atas ummat terdahulu bertujuan untuk membentuk pribadi yang bertaqwa. Begitu istimewanya pribadi yang bertaqwa tersebut sehingga Allah SWT secara khusus menyiapkan surga yang digambarkan seluas langit dan bumi.